"Kayaknya gue bakal ambil cuti dua minggu deh," ujarku kepada Hendra, tetangga sebelah rumah kontrakanku sekaligus merangkap sebagai teman curhatku juga. Sore ini kami tengah menikmati ngopi ganteng (istilah Hendra) di kedai kopi Robista, seperti biasa.
Hendra yang sedang menyesapi iced matcha green tea latte pesanannya hanya memandangiku, heran. "Dalam rangka apa lu sampe ambil cuti segala? Ada sodara lu yang hajatan?"
"Dudul. Lu pikir orang ambil cuti itu cuma buat menghadiri sodara yang lagi hajatan doang?" jawabku sambil melemparkan tisue bekas donat karamel yang baru saja kutelan habis. Tapi sayang, Hendra berhasil menghindar. Sehingga tisue itupun hanya mendarat sukses ke bawah kursi laki-laki romantis (rokok, makan plus ngopi gratis) yang duduk di depanku ini.
"Nah, nah, nah. Jangan-jangan... lu itu mo dijodohkan ya? Secara, udah hampir kepala empat tapi masih betah aja menjomlo."
Keningku mengernyit. Makin ngawur saja nih bocah.
"Gue ambil cuti itu cuma pengen rileks sejenak aja, Dudul. Kan lu tau sendiri gimana stressnya gue waktu nanganin proyeknya Mr. Chou. Dan alhamdulilah, Mr. Philips pengertian banget. Beliau langsung saja meng-acc permohonan gue buat cuti dua minggu tanpa banyak pertimbangan. Uh, yeah. Lega banget gue."
Hendra melirik ke arahku. Kemudian, "Enaknya yang bisa ambil cuti. Gue mah boro-boro. Udahlah kerja rodi, gaji gak seberapa, status gak jelas, tiap tahun kudu bayar outsourcing lagi biar bisa diperpanjang kerja." Hendra meratapi nasibnya sendiri. Membuat diriku iba melihatnya.
"Hush, udahlah. Setiap orang itu kan udah melakukan perjanjian dengan Tuhan saat baru dilahirkan. Itu dia makanya setiap bayi akan menangis kejer saat pertama kali melihat dunia." Panjang lebar aku berusaha menghibur sahabat terbaikku ini. Tapi apa yang terjadi?
"Terus, apa hubungannya nasib gue dengan bayi yang baru lahir?"
Gubrak! Rasanya aku benaran pengen nyungsep saja ke kolong meja.
"Oke, lupakan soal gue. Sekarang balik lagi ke persoalan cuti lu. Mau lu habiskan ke mana cuti lu yang dua minggu itu? Ke Bali ya? Ikuuut...."
Aku malah tertawa ngikik. "Gue mo ke Karawang. Lu mo ikut?"
"Apa? Karawang? Gak keren amat tempat liburan lu?" Hendra terlihat ilfil.
"Bodo." Kuleletkan lidah ke arah Hendra. "Gue ke Karawang itu sekalian mo lihat-lihat rumah peninggalan Aki gue. Secara, ama anak-anaknya gak boleh dijual. So, gue disuruh bokap untuk mendisain ulang rumah tersebut. Rencananya sih mo direnovasi. Sehingga setiap tahun bisa dijadikan rumah berkumpulnya anak cucu cicitnya mendiang Aki."
Mendengar penjelasanku itu, kulihat Hendra hanya melongo sambil geleng-geleng kepala.
***
Estilo putih baru saja kuparkirkan di halaman samping rumah mendiang Aki. Mang Subur beserta istri, yang sehari-hari tinggal dan mengurusi rumah ini buru-buru keluar untuk menyambutku.
"Hayu masuk, A," ajak Mang Subur seraya mengambil alih koper yang kubawa dari Jakarta.
"Aduh, Mang. Gak usah repot-repot. Itu koper biar saya bawa sendiri aja." Aku mencoba mengambil lagi koper yang keburu dipegang oleh Mang Subur, tapi malah sengaja dijauhkan.
"Udah atuh lah. A Noval pasti cape kan abis dari perjalanan jauh. Sok atuh, istirahat heula. Tuh, Bi Isah udah menyiapkan uli goreng dan teh manis anget di dalam."
Akhirnya aku pasrah saja digiring masuk oleh Mang Subur ke dalam rumah.
Sesampainya aku di dalam rumah...
Hm, rumah ini masih sama seperti lebaran tahun lalu, terakhir kali aku ke sini. Hanya saja sedikit kusam, karena penghuni aslinya telah pergi meninggalkannya dua tahun silam. Pun cat tembok rumah ini sudah saatnya harus diganti. Dan soal renovasi dan disain ulang rumah? Hm, entahlah. Aku belum ada ide. Mungkin setelah seminggu berada dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitar sini barulah akan muncul hendak diubah seperti apakah disain rumah tua yang menurutku tampak artistik ini.
"Emangnya rumah ini mau direnovasi ya, A?" tanya Mang Subur.
Aku hanya mengernyitkan dahi. Menatap heran ke arah Mang Subur. Dari mana dia tahu?
Seolah paham apa yang ada di kepalaku, Mang Subur pun menjelaskan semuanya. "Tadi malam papahnya A Noval nelepon Mamang. Katanya Aa sengaja ambil cuti buat mendisain ulang rumah ini."
"Oh. Iya sih, Mang. Tapi saat ini saya sama sekali belum ada ide. Entahlah kalo seminggu kemudian."
"Lama juga teu nanaon atuh, A. Mamang sareng Bi Isah mah malah senang bila ada keluarga almarhum yang datang berkunjung."
Akhirnya malam ini kuhabiskan dengan ngobrol ngalor-ngidul bareng Mang Subur dan Bi Isah di ruang tengah.
***
"Kunaon ieu, Mang? Itu orang-orangan sawah kembali meneror saya. Lama-lama bisa gila saya. Euis bahkan udah minta saya untuk pindah rumah aja. Lha, saya kudu pindah ke mana, Mang? Kasih solusi atuh."
Ini adalah hari ketiga aku berada di desa ini. Dan di pagi yang cerah ini aku malah telah mendapat kabar tentang teror orang-orangan sawah di rumah Kang Idrus, orang yang selama ini dipercaya Aki untuk mengurus sawah-sawahnya.
"Kumaha kejadiannya, Kang? Hayu, kita cerita di saung belakang aja."
Segera kurangkul pundak Kang Idrus dan membawanya ke saung belakang rumah Aki. Dan di sanalah Kang Idrus menceritakan asal muasal dia mendapat teror oleh orang-orangan sawah yang ada di sawahnya Aki yang kebetulan jaraknya tak jauh dari rumah Kang Idrus.
 "Hampir setiap malam saya, istri dan kedua anak saya mendengar suara-suara menyeramkan dari arah sawah. Saya pikir tadinya itu perbuatan orang iseng. Eh pas saya datangi langsung ke sumbernya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa orang-orangan sawah yang ada di sawah itu melayang-layang sambil menunjuk ke arah saya."
Eh, ini benaran serius? Keningku berkerut. "Terus, dia bilang apa, Kang?"
"Intinya mah dia akan membuat sawah Abah Dahlan gagal panen kalo aja sawah itu tidak segera dijual ke developer perumahan."
"Dijual ke developer perumahan?" Kembali, keningku berkerut. Seingatku, Papah dan kedua adiknya sama sekali tidak ada niat untuk menjual sawah warisan Aki. Lantas, kenapa tiba-tiba bisa ada teror seperti ini? Pasti ada yang tidak beres.
"Oke. Ntar malam saya nginep di rumah Kang Idrus aja ya. Saya penasaran pengen membuktikan sendiri tentang teror orang-orangan sawah itu."
Mang Subur dan Kang Idrus pun akhirnya hanya bisa berpandangan saja.
***
Jelang tengah malam di rumah kediaman Kang Idrus.
"Maneh teh keukeuh masih tetap bertahan nya, Idrus? Henteu takut apa dengan ancaman dan teror-teror selama ini?"
Suara teror orang-orangan sawah terdengar sampai ke dalam rumah Kang Idrus. Membuatku penasaran dan ingin melihat langsung. Namun dicegah oleh Kang Idrus.
"Jangan ambil resiko atuh, Aa. Akang teh gak tanggung jawab bila terjadi sesuatu ama A Noval."
"Tapi, Kang. Teror ini harus segera dihentikan. Saya curiga, bisa jadi ini teror dari developer perumahan. Kan Akang sendiri yang bilang kalo sawah-sawah di sekitar sini sudah banyak yang beralih nama menjadi milik developer. Nah, feeling saya mengatakan kalo teror ini sengaja dilakukan agar keluarga besar saya pun bersedia juga menjual sawah warisan Aki Dahlan ini," ujarku seraya menatap laki-laki yang hanya terpaut beberapa tahun di atasku itu. Kang Idrus pun mengangguk pasrah dan bergegas keluar rumah untuk menemaniku menuju ke sawahnya Aki.
Dan benar saja. Beberapa orang-orangan sawah tampak terbang melayang-layang memutari Kang Idrus dan aku yang telah berada di sawah. Mata mereka tampak merah menyala. Tampang mereka menyeramkan. Dan dengan tangan jeraminya, seseorang dari mereka bermaksud hendak menyenggolku. Tapi sayang, hal itu meleset. Dan akibatnya, dengan amarah tinggi, kembali teror itupun dilontarkan.
"Kamu siapa anak muda? Jangan coba-coba ikut campur di sini!"
Meskipun dengan hati yang kebat-kebit, kuberanikan diri untuk melawan orang-orangan sawah yang berjumlah sekitar setengah lusin.
"Saya Noval dan sudah seharusnya saya ada di sini. Kalian tau, ini adalah sawah Aki Dahlan, kakek saya sendiri. Dan sebagai ahli waris beliau, saya tekankan sekali lagi bahwa sawah ini tidak akan pernah dijual. Kini dan seterusnya."
Suaraku tampaknya membuat kaget orang-orangan sawah yang masih saja setia mengelilingiku. Tapi kemudian...
"Hahaha... Besar juga nyalimu, anak muda. Tidak adakah rasa takut di hatimu akan ancaman kami?"
"Tentu saja tidak!" jawabku lantang. "Ketahuilah, siapapun Anda yang ada dibalik teror-teror ini, tolong hentikan kekonyolan ini. Sudah tak zamannya lagi membuat kerusuhan dengan teror-teror seperti ini. Saya bisa melaporkan Anda ke pihak berwajib. Tolong, camkan itu!"
Dan usai aku mengakhiri bicaraku, orang-orangan sawah yang sejak tadi mengelilingiku dan Kang Idrus perlahan pergi dan menghilang entah ke mana. Membuatku dan Kang Idrus saling bertukar pandang. Kemudian kami pun berangkulan dan menangis lega karena telah berhasil mengusir teror dari orang-orangan sawah itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H