Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Reuni SMA: Ternyata Masa SMA Saya Sungguh "Eksklusif"

17 Oktober 2019   18:35 Diperbarui: 18 Oktober 2019   02:58 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Serasa Balik ke Masa Putih Abu-abu Lagi. Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)

Dulu, saya selalu beranggapan kalau masa SMA itu adalah masa tersuram dalam hidup saya. Kenapa? Karena, di saat anak-anak seusia saya kala itu atau bahasa kerennya ABG (Anak Baru Gede) asyik menghabiskan masa remajanya dengan bergaul, nongkrong, ngeceng, tebar pesona, ikut bimbingan belajar di luar sekolah, terlibat cinta monyet, lha, saya malah menghabiskan waktu hampir 10 jam setiap harinya--kecuali hari Minggu tentu saja--di sekolah.

Padahal zaman saya sekolah dulu itu sama sekali tidak berlaku yang namanya full day school lho. Cuma lagi apes saja, pemerintah memberlakukan kelas unggul sebagai kelas percontohan di tiap-tiap sekolah negeri, khususnya di Padang, kota tempat saya menghabiskan masa sekolah saya.

Kalau dipikir-pikir, saya juga heran dengan maksud pemerintah memberlakukan kelas unggul di sekolah negeri pada saat itu (saya masuk SMA tahun 1995). Pasalnya, kriteria untuk bisa masuk kelas unggul itu hanya dilihat dari NEM (Nilai Ebtanas Murni) semata. Lha, kok? Heuheu, plis atuh lah. Jangan tanya saya kenapa bisa begitu. Coz saya hanya menjalani saja, tanpa tahu apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. Ya anggap saja saya ini sebagai salah satu kelinci percobaan pemerintah saat itu. 

Dan selama masa percobaan itu--alhamdulillah, saya masuk kelas unggul itu selama tiga tahun alias selama masa SMA, ternyata saya bisa melewatinya dengan selamat sentosa, sehat walafiat, hingga tiba waktu kelulusan. Fiuh. 

Tak mudah memang untuk menjadi anak (yang terdampar dalam) kelas unggul itu. Kenapa? Karena setiap pembagian raport per Cawu (Catur Wulan atau empat bulan sekali) itu, kita betul-betul dievaluasi dan diseleksi ulang. Masih bisakah kita berada di dalam kelas unggul atau harus rela didepak keluar? Hm... terlihat sadis ya? Ah, gak juga. Buktinya, tak sedikit teman-teman yang akhirnya dapat bernapas lega setelah didepak dari kelas unggul. 

Bahkan, mereka yang sebelumnya berada di kelas biasa saja, karena nilai mereka bagus atawa juara kelas, maka mereka kudu wajib harus masuk kelas unggul, tapi mereka menolaknya. Hahaha... Kenapa coba? Ya iyalah, mereka tak bakalan tahan juga keules, tiap hari kudu belajar selama 10 jam, dari pagi sampai sore, dengan guru dan teman-teman yang itu-itu saja. Stres, stres dah tuh. 

Tapi kalau dipikir ulang, kok saya bisa bertahan tiga tahun berada di kelas unggul itu ya? Bahkan, masih bisa masuk dalam sepuluh besar di kelas lagi. Ya, wallahu alam.

Selama tiga tahun terdampar di kelas unggul, apa sajakah yang terjadi di sana?

Oh, tentu banyak, Kisanak. Kami kan cuma labelnya saja yang "Kelas Unggul". Kelakuan masih normal kok layaknya abegeh pada umumnya. Acara contek-menyontek? Tentunya pernahlah asal gak ketahuan guru. Iseng baca komik di kelas? Sering malah. Sampai pernah, komik sewaan taman bacaan dirampas guru karena saya tak memperhatikan guru menerangkan di depan kelas. Izin keluar kelas dengan alasan mau ke toilet juga tak jarang kami lakukan. Padahal itu hanya alasan semata. Ujung-ujungnya malah mampir ke kantin yang kebetulan terletak tepat di sebelah kelas kami. Wkwkwk cekakak. 

Kalau cinta monyet bagaimana? Apakah anak-anak kelas unggul mengalaminya juga? Ya iyalah, teutep. Dan berhubung kelas kami "ekslusif", maka ada beberapa yang terlibat cinlok (cinta lokasi) dengan teman sekelas. Namun sayangnya, tak ada satupun yang benar-benar menjadi pasangan halal.

Setelah 21 Tahun Berlalu

Berpose di depan Cafe Pancious, Pasific Place Mall. Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)
Berpose di depan Cafe Pancious, Pasific Place Mall. Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)

Sabtu lalu, tanggal 12 Oktober 2019, bertempat di Cafe Pancious, Pasific Place Mall, Jakarta, kelas unggul SMA 10 Padang angkatan 95 akhirnya, untuk pertama kalinya mengadakan reuni (kecil-kecilan) untuk teman-teman yang berada di daerah Jabodetabek dan sekitarnya. 

Sebenarnya ada banyak teman-teman yang bermukim di sana. Tapi mungkin karena kesibukan masing-masing, yang bisa hadir hanya tujuh orang saja. Eh, sebentar. Sebenarnya ada delapan orang peserta. Tapi H-2, mendadak satu orang mengundurkan diri karena mengalami musibah, abang kandungnya meninggal dunia. Akhirnya hingga hari H, hanya tujuh orang saja yang bisa menghadiri acara reuni tersebut.

It's okey. Meskipun hanya dihadiri oleh tujuh orang--ditambah dua orang additional persons, hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangat kami untuk meet up dan mengenang lagi masa-masa SMA kami yang penuh dengan hm... apa ya, nano-nano deh pokoknya.

Dan ternyata ekspektasi saya itu gak salah, Sodara-sodara. Malah kenyataannya melebihi ekspektasi. Kok bisa? Ya bisalah. Meskipun kami telah mem-booking kafe tersebut jauh-jauh hari, tapi tetap dong, yang di-booking itu hanya satu space saja. Secara yang datang juga kurang dari sepuluh orang.

Nah, pas hari H, kenapa jadi satu kafe itu kami yang menguasai ya? Sebodo teuing sama orang-orang di sekitar kami yang tengah menikmati makan siang. Heboh sorangan pokokna, ceuk urang Sunda mah. Untungnya sih gak ada pengunjung yang komplain (atau kami yang gak tahu?) maupun sampai diusir oleh manajemen kafenya. 

Memang apa sih yang bikin reuni itu terasa heboh benar? Sampai-sampai tak memedulikan situasi sekitar?

Serasa Balik ke Masa Putih Abu-abu Lagi. Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)
Serasa Balik ke Masa Putih Abu-abu Lagi. Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)

Ya, karena kami serasa kembali ke masa putih abu-abu lagi. Meskipun berlabel "anak kelas unggul", tapi bukan berarti kami katrok dan gak gaul ya. Ups. Padahal mah dulu sering kali disindir sama anak-anak dari kelas lain kalau anak kelas unggul itu (sok) eksklusif, gak mau bergaul dan membaur dengan kelas lain. Hiks. Sedih juga dibilang gitu lho, Guys.

So, menyesal dong sudah nyemplung dan menyelam ke dasar kelas unggul selama tiga tahun itu?

Tentunya tidak, Sodara-sodara. Saya pribadi sama sekali tidak menyesal bila dulu selama SMA pernah terdampar ke dalam kelas berlabel "Kelas Unggul". Karena apa? Karena tanpa adanya kelas unggul, kami takkan bisa seperti ini.

Dua puluh satu tahun telah membuktikan. Lulusan kelas unggul banyak yang sukses. Ada yang jadi dokter bedah, dokter gigi, dokter umum, dosen, guru, PNS, pegawai BUMN, pengusaha sukses, pegawai swasta, ibu rumah tangga plus dan banyak lagi. Semua itu tentunya membuat saya sebagai alumnusnya merasa bangga. Walaupun yaaa... apalah saya hingga detik ini dibandingkan dengan teman-teman sekelas yang lain.

Uh, yeach. Kelas unggul itu benar-benar ekslusif ternyata.

***

Ini dia foto-foto selama reuni kecil-kecilan berlangsung. Sengaja saya satukan dalam sebuah video biar memudahkan saja.


Reuni Angkatan 95 Smunten Padang

Keterangan:

Fotografer : Om Kumis. Hatur nuhun pisan, Om.

Musik latar: I Miss U Like Crazy, by The Moffatts.

Party props by: @piccolinashop

Venue: @pancious.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun