“Tante Alyaaa....”
Seorang bocah perempuan berusia lima tahun berteriak keras seraya melambaikan tangannya ke arahku. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan muda berhijab dan laki-laki berkumis tipis yang tengah tersenyum padaku.
Senyumku pun merekah. Segera saja kuhampiri mereka. Kucium punggung perempuan berhijab biru muda dan laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Kemudian punggung tanganku pun dicium bocah perempuan yang menatapku penuh takjub.
“Tante Alya bawa oleh-oleh apa untuk Jasmine?” tanya bocah perempuan yang tak lain adalah Jasmine–keponakanku, sekaligus anak dari Kak Rose dan Bang Raul–dengan wajah polos.
“Jasmine?” Mata perempuan berhijab itu melotot ke arah si bocah. Kemudian perlahan menatapku. “Gimana tadi penerbangannya, Al? Lancar?” tanya perempuan berhijab itu yang tak lain adalah Kak Rose–kakak sulungku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Alhamdulillah lancar, Kak. Yaaa... walaupun sempat kena delay setengah jam.”
Laki-laki di sebelah Kak Rose–Bang Raul, suami Kak Rose–kemudian mengambil alih koperku dan mendorongnya menyeberangi terminal kedatangan domestik menuju tempat parkiran mobil.
Setelah meletakkan koperku ke dalam bagasi sebuah mini bus abu-abu, kami pun meluncur meninggalkan kawasan BIM.
Dalam perjalanan menuju rumah Kak Rose, aku memang lebih banyak diam. Pandangan sengaja kuarahkan ke luar jendela, menikmati suasana kota Padang yang telah lebih dari satu dekade kutinggalkan.
“Tante Alya udah berapa lama nggak pernah ke Padang?” Jasmine mulai mengusik keasyikanku. Segera saja kualihkan pandangan menatap bocah perempuan yang duduk manis di sampingku ini.