Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FF Fabel] Sepenggal Kisah Gio dan Uya

25 Oktober 2016   22:29 Diperbarui: 25 Oktober 2016   22:48 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: beritahati.com

#FFFabel
#BelajarBarengFC

Siang yang panas sekali di Pusat Penangkaran Buaya Cikole, Lembang. Dua ekor buaya rawa, Gio dan Uya, tampak keluar dari kolam dan berjemur di pinggiran untuk mendinginkan suhu tubuh mereka.

"Huh! Manusia itu sungguh makhluk yang menyebalkan." Tiba tiba saja Gio, si buaya kecil, berteriak dengan kerasnya.

"Lho, kenapa kau ini, Gio?" tanya Uya, buaya yang badannya lebih besar dan lebih dewasa dari Gio. Ditatapnya Gio dengan ekspresi heran.

"Apakah kau tak lihat kelakuan manusia di atas sana?" tunjuk Gio dengan mulutnya yang sedang menganga lebar.

Mata Uya mengarah ke atas dan menatap dua orang manusia berusia dua puluhan yang tengah asyik mencoret-coret buku dan sesekali memotret mereka dari atas. "Eh, mereka itu bukannya mahasiswa tingkat akhir yang sedang meneliti kehidupan kita di sini?"

"Nah, itu dia. Belagu banget gayanya. Apa tak ada kerjaan lain? Buat apa meneliti kehidupan kita? Kayak kehidupan mereka sudah benar saja." Gio merengut kesal. Ia memang tidak suka dengan kehadiran mahasiswa-mahasiswa itu di sini.

"Itulah beda manusia dengan kita," jawab Uya, kalem.

"Maksudmu apa?" Mata Gio menyilang merah menatap ke arah Uya.

"Manusia diberi kelebihan akal oleh Tuhan, yang dengan akal itu mereka memiliki tanggung jawab untuk mencari ilmu seluas-luasnya. Termasuk ilmu tentang kehidupan kita, para buaya rawa."

"Buat apa? Urus saja urusan mereka sendiri. Huh!"

Gio, si buaya kecil, karena kesal akhirnya menjauh dari Uya dan memilih kembali masuk ke dalam kolam. Dan sebelum memasukkan badannya, ia masih sempat berucap, "Asal kau tahu saja, aku itu paling benci saat mereka mengolok-olok kita dengan nyanyian Buaya Darat. Sehina itukah kita? Padahal kelakuan mereka itulah yang hina."

Uya yang mendengar kata-kata Gio pun tersentak.

"Hm... benar juga apa kata Gio. Manusia itu sering kali merasa dirinya paling suci, paling pintar dan paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk lainnya di muka bumi ini. Sehingga dengan teganya mereka memperolok-olok makhluk lain hanya untuk menyindir dan kesenangan semata. Huh!"

Dengan mulut ternganga dan kilatan mata merah, ingin sekali rasanya Uya menerkam mahasiswa-mahasiswa yang berada di atas kolam observasi ini.

***

Karawang, 25 Oktober 2016

Usai teringat buaya-buaya penangkaran di Cikole, Lembang. Heuheu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun