Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setoples Lidah Kucing Buat Aira

25 Juni 2016   15:06 Diperbarui: 15 Februari 2017   16:02 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kue Lidah Kucing (Sumber: kopiterakhir.blogspot.com)

Aira terbangun dari tidurnya, saat tercium aroma kue kering yang sedang dipanggang dari arah dapur. Sekilas diliriknya jam dinding yang menempel tepat di atas jendela kamarnya. Hah? Sudah lewat tengah malam? Buru-buru Aira melangkah keluar kamar. Dan benar saja. Dilihatnya Mama masih sibuk di dapur dengan adonan kue, cetakan dan oven panggang.

"Mama... udah jam dua belas lewat," ujar Aira seraya menghampiri Sang Mama dan duduk selonjoran di sampingnya. "Mama belum ngantuk, ya?"

Menyadari kehadiran Aira, Mama hanya tersenyum menanggapi. "Eh, anak cantik Mama belum tidur? Besok Aira masih sekolah, kan? Lagian besok bagi raport. Ayo ah, tidur. Biar nanti sahurnya semangat dan di sekolah pun nggak ngantuk," ujar Mama sambil tangannya tetap sibuk memegang mixer dan adonan kue. Tapi Aira hanya menggeleng.

"Emang Mama lagi bikin kue apa, sih?" tanya Aira mengalihkan pembicaraan. Matanya sengaja mengintip ke dalam oven panggang yang sedang menyala.

"Eh, itu kue lidah kucing pesanan Bu Edo."

"Lidah kucing, Ma?" Mata Aira berbinar kala mendengar kata "kue lidah kucing" terucap dari bibir mamanya.

Mama hanya tertawa pelan sambil mengelus-elus kepala putri semata wayangnya itu. Ya, sejak papanya Aira meninggal dua tahun silam, mau tak mau Mama harus siap memegang peran ganda, baik sebagai ibu maupun ayah yang harus banting tulang mencari nafkah buat menghidupi dirinya dan putri tercintanya itu. Dan jelang lebaran yang hanya tinggal sepuluh hari lagi, Mama pun kebanjiran orderan kue kering dari tetangga dan rekan-rekan kerja Papa dahulu.

"Tapi, Ma. Apa bikin kuenya nggak bisa dilanjutkan abis sahur aja? Sekarang waktunya Mama tidur. Biar nanti nggak telat bangun sahurnya." Aira menatap wajah lusuh Mama yang sepertinya kurang istirahat.

"Mama nggak papa kok, Sayang. Aira aja duluan sana yang tidur. Ini tanggung soalnya. Tinggal satu toples lagi." Mama tetap pada pendiriannya. Tangannya kini siap mencetak adonan kue di atas loyang khusus terbentuk seperti lidah kucing.

[caption caption="Loyang Kue Lidah Kucing (Sumber: resepkueterbaru.com)"]

[/caption]

Aira hanya memperhatikan Sang Mama dengan seksama.

"Oya. Aira mau Mama bikinin kue lidah kucing juga?"

Mata Aira kembali berbinar. "Mau, Ma," ujarnya sambil mengangguk mantap.

"Ya, udah. Kalo gitu sekarang Aira bobo. Nanti saat sahur, setoples lidah kucing buat Aira pasti udah tersedia di meja makan," janji Mama sambil memasukkan tiga loyang yang telah tercetak adonan lidah kucing ke dalam oven panggang yang masih menyala.

"Kalo Aira memilih temenin Mama di sini gimana?" Aira mengajukan opsi pilihan.

"Ya, nggak jadi Mama bikinin...." jawab Mama dengan santainya.

Aira pun bingung. Satu sisi ia kasihan melihat Mama harus bekerja seorang diri di pagi buta seperti ini. Tapi di sini lain, kegemarannya pada kue lidah kucing benar-benar tak bisa dicegah. Dengan berat hati akhirnya Aira memilih kembali ke kamarnya sambil tak lupa memberikan kecupan lembut di pipi mamanya.

"Aira tidur dulu ya, Ma."

***

Alarm hape Aira berbunyi tiga kali. Dan itu berarti waktunya bangun sahur. Segera ia keluar kamar menuju dapur. Eh, tapi kok dapur tampak gelap? Ah, mungkin Mama ketiduran saking capeknya memenuhi orderan kue lebaran.

Akhirnya, Aira membelokkan langkahnya menuju kamar Sang Mama. Dibukanya engsel pintu kamar mamanya yang tak pernah terkunci. Kemudian dinyalakannya lampu kamar dan tampaklah olehnya Mama yang masih tergolek di atas tempat tidur.

Aira pun mendekati mamanya seraya berbisik, "Mama, bangun sahur dulu, yuk."

Tapi tak ada reaksi apapun dari Sang Mama. Kembali Aira berbisik, "Ma, sahur dulu, yuk."

Tetap tak ada reaksi. Aira pun kemudian mengguncang tubuh dan menyentuh pergelangan mamanya. Eh?! Aira tampak terkejut. Kemudian tangannya beralih ke hidung Mama...

"Mamaaa...." Aira pun menjerit histeris.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun