Dalam artikel sebelumnya, kami menyinggung pemikiran Socrates yang menarik, bahwa pikiran yang tinggi membahas ide, pikiran rata-rata membicarakan peristiwa, dan pikiran rendah membicarakan orang. Pernyataan ini sangat relevan ketika kita mengamati proses pemilihan pemimpin di berbagai level, yang sayangnya seringkali lebih fokus pada pembicaraan mengenai sosok calon pemimpin ketimbang ide-idenya. Kecenderungan ini menyebabkan diskursus publik lebih banyak dipengaruhi oleh kesamaan identitas calon, bukan visi dan gagasannya. Hal ini menjadi salah satu tanda bagaimana demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang ideal, dapat terjebak dalam praktik-praktik yang membahayakan substansi dari proses demokrasi itu sendiri.
Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The End of History memandang demokrasi sebagai puncak dari pencarian manusia akan ideologi. Namun belakangan mengoreksinya setelah melihat realitas politik yang membuat dia terkejut. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada November 2016 bagi Fukuyama  merupakan ironi bagi Amerika, sebuah negara yang sebenarnya telah memiliki sistem demokrasi yang kuat, namun ternyata bisa terjebak dalam politik identitas yang ekstrem. Trump berhasil memanfaatkan sentimen anti-imigran dan narasi populisme untuk memenangkan pemilu, sebuah kemenangan yang mencerminkan bahwa politik identitas masih menjadi alat yang efektif dalam demokrasi, bahkan di negara sebesar Amerika sekalipun.
Dalam bukunya Identity: The Demand For Dignity and The Politics of Resentment (2018), Fukuyama menyoroti bagaimana identitas telah menjadi faktor utama dalam politik modern, menggantikan perdebatan ide dan kebijakan. Ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pemilihan calon pemimpin kerap kali didasarkan pada identitas suatu agama, suku, usia muda danlain-lain. Fenomena ini jelas memperlihatkan bahwa fokus masyarakat dalam memilih pemimpin lebih condong pada identitas, bukan ide-ide besar yang seharusnya menjadi dasar demokrasi yang sehat.
Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, juga menyoroti isu akuntabilitas dalam demokrasi. Mengutip pandangan Fukuyama, Anwar menegaskan bahwa kehebatan demokrasi tidak semata-mata ditentukan oleh hasil pemilu. Kemenangan dalam pemilu tidak otomatis mencerminkan keadilan atau kemurnian demokrasi. Demokrasi harus diukur dari sejauh mana para pemimpin yang terpilih dapat mempertanggungjawabkan tindakan mereka berdasarkan kaidah etik dan moral. Ini berarti, akuntabilitas demokrasi bergantung pada karakter moral para pemimpin dan masyarakatnya (CT Corp Leadership Forum, 9/1/2023).
Di sinilah peran penting pendidikan dalam mencetak pemimpin masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat. Akuntabilitas dalam demokrasi hanya bisa dijaga jika pemimpin dan masyarakat memiliki nilai-nilai moral yang kokoh, karena demokrasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa kejujuran, integritas, dan komitmen terhadap kebaikan bersama. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengangkat kembali pentingnya menegakkan system etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya sudah pernah digagas sejak tahun 2009. Sekarang waktu yang tepat untuk membuat undang-undang tentang etika berbangsa dan Mahkamah Etika Nasional. Jimly juga mengingatkan bahwa saat ini semua jabatan lagi bermasalah sehingga UU tentang etika itu tidak hanya menyangkut pada penyelenggara negara tapi juga untuk seluruh jabatan public. (FGD. BPIP, 17/9/2024). Â
Oleh karena itu, dunia pendidikan harus menyadari tanggung jawabnya untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas utama. Pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada aspek akademik atau teknis semata, Pendidikan tidak boleh terseret menjadi semacam training center untuk mencetak para juara aneka lomba dan apa lagi dengan menyedot anggara cukup besar. Tetapi Lembaga pendidikan juga harus mengutamakan pembentukan karakter. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai moral yang kuat pada siswa, sehingga mereka kelak dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab, kritis, dan berintegritas.
Anwar Ibrahim menegaskan, "Demokrasi masih diragukan akuntabilitasnya bila hanya mengandalkan kemenangan berdasarkan suara terbanyak." Pernyataan ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh demokrasi modern, yaitu bagaimana membangun demokrasi yang tidak hanya sekadar prosedural, tetapi juga substansial, di mana karakter menjadi landasan utama dalam setiap keputusan politik.
Bagi dunia pendidikan, tantangan ini harus dijawab dengan serius. Pendidikan karakter tidak cukup hanya ditempuh melalui cara himbauan, nasihat, pidato, khutbah dan lain sebagainya, tetapi harus ada langkah-kongkrit dan sangat terperinci sehingga Pendidikan karakter bisa berjalan efektif dan efisien. Â Pendidikan harus mampu melahirkan generasi yang tidak hanya memahami hak-hak demokrasi, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk menjaga akuntabilitas dalam setiap proses demokrasi. Demokrasi yang sehat hanya dapat tercapai jika karakter menjadi pilar utama dalam sistem pendidikan kita.
Cipinang, 24 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H