Pendidikan merupakan pilar fundamental bagi terciptanya demokrasi yang sehat. Sebagai alat pembebasan dan pencerahan, pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk individu yang berpikir kritis dan memiliki pemahaman mendalam tentang hak, tanggung jawab, serta nilai-nilai demokrasi. Socrates, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, sangat memahami pentingnya peran pendidikan dalam menjaga kualitas demokrasi. Dengan metodenya yang terkenal, yaitu "ironi sokratis," Socrates mendorong siswanya untuk berpikir kritis dan menemukan kebenaran melalui dialog yang mendalam.
Socrates mengajarkan bahwa "Pikiran-pikiran yang kuat membahas ide, pikiran rata-rata membahas peristiwa, pikiran yang lemah membahas orang." Ini menunjukkan pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengisi kepala siswa dengan informasi, tetapi juga menyalakan api pemikiran kritis dan inovatif. "Pendidikan adalah menyalakan api, bukan mengisi wadah," sebuah pernyataan yang menekankan esensi pendidikan dalam membangun masyarakat yang berpikiran maju.
Dalam konteks demokrasi, Socrates percaya bahwa hanya mereka yang mampu berpikir secara rasional dan mendalam yang seharusnya diizinkan untuk memberikan suara. Dalam pandangannya, kebebasan memberikan suara dalam demokrasi harus disertai dengan tanggung jawab intelektual. Di sinilah peran pendidikan menjadi urgen, yaitu dalam membentuk warga negara yang bukan hanya tahu hak-haknya, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menilai kebijakan publik dan pemimpin politik.
John Dewey, seorang filsuf dan pendidik Amerika, mengemukakan bahwa pendidikan adalah instrumen utama dalam proses demokrasi. Ia berpendapat bahwa "pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan sekadar persiapan untuk kehidupan." Menurut Dewey, pengalaman belajar yang mendalam dan partisipatif di sekolah menjadi model bagi praktik demokrasi dalam masyarakat. Jika sekolah dikelola secara otoriter, ini dapat menciptakan pola pikir yang tidak kritis dan menerima otoritas tanpa pertanyaan, yang pada akhirnya melemahkan demokrasi.
Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf asal Brasil, juga menekankan pentingnya pendidikan kritis dalam membebaskan masyarakat dari penindasan. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire berargumen bahwa pendidikan harus menjadi alat bagi kaum tertindas untuk memahami kondisi mereka dan berjuang untuk kebebasan. Pendekatan pendidikan yang membebaskan ini akan memungkinkan orang untuk menjadi partisipan aktif dalam proses demokrasi, bukannya sekadar penerima pasif kebijakan yang dibuat oleh elit.
Noam Chomsky, seorang intelektual dan kritikus sosial, menegaskan bahwa sistem pendidikan yang sehat harus mempersiapkan individu untuk mempertanyakan kekuasaan dan otoritas. Menurutnya, tanpa pendidikan yang mempromosikan pemikiran kritis dan kebebasan intelektual, demokrasi mudah terperangkap dalam manipulasi dan kontrol oleh kelompok-kelompok berkepentingan. Chomsky percaya bahwa partisipasi publik yang terinformasi dan kritis adalah kunci untuk menjaga integritas demokrasi.
Demokrasi yang sehat tidak hanya ditentukan oleh prosedur formal seperti pemilihan umum, tetapi juga oleh kualitas partisipasi warga negara yang berpengetahuan dan berpikiran kritis. Oleh karena itu, pendidikan yang dirancang dengan pendekatan demokratis dan membangun kecerdasan kritis sangat diperlukan. Pendidikan yang otoriter dan tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir hanya akan melahirkan demokrasi yang lemah dan rentan terhadap manipulasi suara mayoritas, sesuatu yang sangat tidak disukai oleh Socrates.
Seperti yang dikatakan oleh Socrates, "Saya tidak bisa mengajari seseorang apa pun. Saya hanya dapat membuat mereka berpikir." Ini adalah inti dari pendidikan demokratis yang seharusnya kita kembangkan: menciptakan ruang bagi siswa untuk berpikir, bertanya, dan memahami secara mendalam, sehingga mereka dapat berkontribusi secara bermakna dalam demokrasi yang sehat.Â
Demokrasi tanpa pendidikan yang kritis dan reflektif akan kehilangan rohnya, menjadikan suara rakyat sekadar angka tanpa makna yang sebenarnya. Sayangnya, inilah yang saat ini berlaku. Bahwa suara mayoritas apapun wujudnya telah dijadikan instrument justifikasi satu-satunya untuk berkuasa.
Pentingnya pendidikan dalam mendukung demokrasi yang sehat juga dapat dilihat dari pengalaman berbagai negara. Di beberapa negara dengan demokrasi yang rapuh, sistem pendidikan seringkali dimanfaatkan untuk memperkuat kontrol dan indoktrinasi oleh rezim yang berkuasa. Hal ini dapat dilihat dari pembatasan kebebasan akademik, penyensoran kurikulum, menjadi kepanjangan tangan mobilisasi politik praktis, dan penekanan pada loyalitas buta terhadap pemerintah.