Â
Di negeri amplop
Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya, malu
Samson tersipu-sipu, rambut keramatnya ditutupi topi rapi-rapi
David Copperfield dan Houdini bersembunyi rendah diri
Entah andaikata Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya
Amplop-amplop di negeri amplop
mengatur dengan teratur
hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
memutuskan putusan yang tak putus
membatalkan putusan yang sudah putus
Amplop-amplop menguasai penguasa
dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
mencairkan dan membekukan
mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa napsu.
Orang sakti bisa mati
Di negeri amplop
amplop-amplop mengamplopi
apa saja dan siapa saja
(Puisi karya KH. Mustofa Bisri/Gus Mus)
Indonesia, negeri yang kaya dengan sumber daya alam melimpah, budaya yang sangat beragam, modal sosial yang kuat, serta kekuatan agama yang signifikan. Secara geologis, Indonesia memiliki kekayaan mineral dan energi yang luar biasa. Selain itu, keanekaragaman hayati Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, dari hutan tropis yang luas hingga laut yang kaya akan biota laut. Di sisi lain, keragaman budaya yang dimiliki Indonesia merupakan aset yang tak ternilai, mulai dari berbagai suku, bahasa, hingga tradisi yang unik dan beragam.
Namun, perjalanan menuju bentuk ideal sebagai negara-bangsa yang sejahtera masih terseok-seok hingga hari ini. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai kesejahteraan tersebut tidaklah mudah. Salah satunya adalah fenomena "amplop" atau praktik pemberian uang suap yang menjadi simbol uang dan relasi kekuasaan yang mengalahkan aturan, hukum, dan undang-undang. Fenomena ini menjadikan bangsa ini tertatih-tatih bahkan di era reformasi yang diharapkan membawa perubahan signifikan.Â
Reformasi dengan misi utama bersihkan KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) yang diharapkan dapat membersihkan praktik-praktik yang menyimpang dari era sebelumnya itu, ternyata belum mampu sepenuhnya dijalankan, bahkan kondisinya lebih parah. Sulit sekali menghilangkan budaya "amplop" karena sudah mengakar sangat dalam dan menyebar. Lebih parahnya karena "penyakit" ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumprah.Â
Pada era 1990 an seorang teman mendorong saya untuk mendaftar sebagai PNS dengan membayar sekian puluh juta. Baginya ini bukan suap tapi semacam modal dagang dan pandangan seperti semakin tumbuh subur pada era sekarang, persis seperti yang digelisahkan Gus Mus dalam syair-syair puisinya.
Menurut Prof. Dr. Emil Salim, seorang pakar ekonomi dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Indonesia memiliki segala potensi untuk menjadi negara maju. Namun, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah menghambat perkembangan tersebut. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat malah tersedot ke kantong pribadi para elite.Â
Bahkan di lingkungan pendidikan yang idealnya berperan menjadi benteng penjaga moral, tidak luput dari kejahatan ini dan sudah dianggap lumprah. Korupsi yang merajalela ini tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara. Menurut data World Economic Outlook edisi Oktober 2023 di situs web IMF. PDB perkapita Indonesia sebesar (US $) 5.108. Bandingkan dengan Thailand 7. 297, Malaysia 13.034, Brunai 34.383, dan apalagi Singapura 87.884.
Kondisi ini semakin ironis ketika kita melihat perbandingan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kedua negara ini berhasil memanfaatkan temuan ilmu dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan warganya dengan signifikan. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti China dan negara-negara Eropa yang telah jauh lebih dulu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sementara Indonesia masih terjebak dalam lingkaran korupsi yang menggerogoti sendi-sendi pembangunan, negara-negara tersebut terus melaju dengan perkembangan pesat.
Dr. Syafi'i Ma'arif, seorang cendekiawan muslim terkemuka, mengungkapkan bahwa sebagai negara dengan mayoritas muslim dan memiliki kementerian khusus agama, Indonesia seharusnya lebih agamis dan berintegritas. Namun, kenyataannya justru kalah dalam hal tersebut dibandingkan dengan negara-negara yang dikenal lebih liberal atau bahkan komunis.
Bahkan  Muhammad Abduh (1849-1905), seorang cendekiawan asal Mesir sudah sejak lama berkata, "dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-Islam wa lam aro al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-'arobi, roaitu al-muslimiin, wa lam aro al-Islam". (aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim.Â
Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam). Abduh mengatakan ini karena selama tinggal di Perancis ia melihat negara ini lebih bersih, rapi, dan disiplin. Berbeda dengan keadaan negeri kelahirannya, Mesir. Â Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang seberapa efektif nilai-nilai agama diajarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di negeri-negeri dengan penduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia.
Ironi ini semakin tampak jelas ketika melihat bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi kanker bangsa dengan stadium akhir. Dari "kepala" hingga "ujung kaki", dari nilai yang fantastis hingga recehan dalam "amplop-amplop" kecil, korupsi merajalela di berbagai tingkat pemerintahan dan masyarakat. Korupsi tidak hanya menghambat pembangunan tetapi juga merusak moral dan integritas bangsa. Kondisi ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana korupsi menyebabkan kemiskinan, dan kemiskinan pada gilirannya memicu lebih banyak korupsi.
Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan kembali pada jati diri bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kepemimpinan yang kuat, amanah, dan berintegritas adalah kunci utama dalam mewujudkan solusi tersebut. Pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama.Â
Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Todung Mulya Lubis, seorang pakar hukum dan aktivis anti-korupsi, tidak ada jalan lain selain memerangi korupsi dengan tegas dan tanpa pandang bulu. Reformasi hukum dan penguatan institusi penegak hukum adalah langkah penting untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Dengan kepemimpinan yang kuat dan komitmen untuk memberantas korupsi, Indonesia dapat memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Inilah tantangan besar bagi bangsa ini, namun juga peluang emas untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa bangkit dan bersaing dengan negara-negara lain di kancah global.Â
Tantangan ini tidak hanya memerlukan keberanian dan ketegasan dari pemerintah tetapi juga partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam melawan praktik korupsi.
Jika kita bisa bersama-sama melawan korupsi dan menguatkan integritas serta moral bangsa, maka Indonesia memiliki peluang besar untuk bangkit dari keterpurukan. Ini adalah tugas besar namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Kita harus optimis bahwa dengan usaha bersama, Indonesia bisa mencapai cita-cita sebagai negara yang sejahtera, adil, dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H