Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu faktor yang sering diabaikan, yaitu rendahnya budaya literasi siswa, yang menurut saya sangat fundamental sebagai salah satu faktor pemicu semakin maraknya tindakan bullying. Permasalahan bullying yang terjadi di sekolah seolah-olah mengesampingkan pentingnya infrastruktur. Memang benar bahwa kemegahan infrastruktur sekolah tidak selalu menjamin kualitas pengajaran. Namun, banyak orangtua lebih memilih melihat kemegahan infrastruktur sebagai indikator kualitas lembaga pendidikan karena hal tersebut lebih terlihat nyata. Mereka juga seringkali menganggap biaya mahal sebagai jaminan kualitas, dengan anggapan bahwa "harga tidak akan berbohong" atau "ada harga ada rupa". Namun, kenyataannya bullying juga sering terjadi di lembaga pendidikan dengan infrastruktur yang sederhana atau bahkan minim. Oleh karena itu, tidak bisa kita jadikan alasan bahwa lembaga dengan fasilitas mewah tidak akan terjadi bullying, apalagi di lembaga dengan fasilitas yang kurang memadai.
      Kita harus menyadari bahwa potensi bullying atau kekerasan bisa terjadi di lingkungan manapun, oleh karena itu penting untuk menciptakan ekosistem yang baik. Siswa seringkali kesulitan untuk menemukan teladan di lingkungan sekitarnya. Ibu adalah sekolah pertama (al-ummu madrasatul-ula) bagi anak-anaknya, dan jika ibu dapat mempersiapkannya dengan baik, maka generasi yang akan datang pun akan terdidik dengan baik pula. Namun, peran ibu sebagai madrasah atau sekolah bagi anak-anaknya seringkali terabaikan.. Mayoritas orangtua mempercayakan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya kepada sekolah, entah karena tidak mampu, tidak peduli, atau karena kesibukan sehingga menitipkan anak-anak di sekolah menjadi pilihan yang praktis dan pragmatis, terutama sekali di sekolah-sekolah berasrama (boarding school atau pesantren)..
      Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengisi ruang imajinasi anak didik dengan narasi tentang pahlawan yang dekat dengan diri mereka sendiri, seperti ibu, ayah, guru, dan pahlawan nasional dari bangsa sendiri.
      Belakangan ini, penelitian mengenai hubungan antara budaya literasi dengan tindakan kekerasan semakin banyak dilakukan. Semakin tinggi budaya literasi di masyarakat, semakin rendah tindakan kekerasan dalam masyarakat tersebut, dan sebaliknya. Contohnya, penelitian di sekolah dasar menunjukkan bahwa siswa yang gemar membaca cenderung tidak melakukan bullying. Film "Freedom Writers" mengisahkan keberhasilan seorang guru dalam mengelola kelas yang sulit menjadi kelas yang penuh toleransi, solidaritas, dan prestasi hanya dengan menggunakan kisah dan buku sebagai senjata.
      Kisah nyata yang juga telah difilmkan yaitu kisah Malcolm X, yang dulunya seorang berandalan putus sekolah namun berhasil menjadi cendekiawan dan politisi karena kegemarannya membaca, juga menjadi contoh nyata betapa pentingnya budaya literasi. Sebaliknya, orang yang kurang membaca cenderung memiliki perilaku agresif dan cenderung melakukan kekerasan sebagai respons terhadap tantangan. Budaya literasi dapat menjadi indikator perilaku seseorang. Dari pengamatan kami sebagai fasilitator gerakan literasi sekolah (GLS), siswa yang terlibat dalam gerakan literasi sekolah cenderung memiliki perilaku yang santun dan positif. Gaya bicara mereka teratur dan pilihan kata-katanya juga baik dan tepat. Dalam kasus ini kita seringkali melihat  ada beberapa murid MTs/SMP yang memiliki pengetahuan lebih dewasa dari usia mereka. Dapat diduga hal karena kegemarannya membaca buku atau setidaknya mereka terbiasa mencerna pembicaraan orang dewasa secara penuh perhatian.
      Namun, sayangnya, mayoritas siswa di Indonesia tidak terbiasa dengan hal tersebut dan belum mampu menganalisis informasi dengan baik. Fenomena hoax yang marak belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan informasi yang benar dan palsu, sehingga mudah tertipu. Membangun budaya literasi di lembaga pendidikan adalah solusi tepat untuk mengeliminasi perilaku bullying. Gerakan literasi sekolah yang didorong oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah tepat, namun perlu revitalisasi dan pengembangan berkelanjutan agar tetap relevan dan tidak tertinggal oleh kemajuan teknologi informasi.
      Namun, penting untuk diingat bahwa kemahiran literasi bukanlah jaminan untuk mengatasi bullying. Literasi hanyalah alat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Di tangan orang yang tidak bermoral, kemahiran literasi justru dapat digunakan untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu, isi dari bacaan juga harus diperhatikan, agar pesan moral dan nilai-nilai yang baik dapat tersampaikan dengan jelas. Perpustakaan sekolah, yang seringkali terpinggirkan, seharusnya menjadi pusat gerakan literasi sekolah. Perpustakaan dapat menjadi "jantung sekolah" yang menjaga relevansi dan menjadi benteng moral untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah.
      Dengan mengutamakan budaya literasi dan pengembangan perpustakaan sekolah, diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, santun, dan penuh toleransi. Selain itu, memperkuat nilai-nilai moral dan keagamaan dalam kegiatan literasi juga dapat memberikan landasan yang kuat untuk mencegah perilaku kekerasan. Melalui pendekatan ini, diharapkan kita dapat membentuk generasi yang berakhlak mulia dan menghormati sesama sehingga bullying dapat dieliminasi dari lingkungan pendidikan kita.
Pembentukan budaya literasi di sekolah
Â
      Pencegahan bullying melalui budaya literasi di sekolah sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif bagi semua siswa. Dengan memperkuat budaya literasi, kita dapat mengajarkan nilai-nilai positif seperti empati, toleransi, dan kerjasama kepada para siswa sehingga mereka dapat menghormati perbedaan dan menghindari perilaku bullying.
      Membentuk sosial yang aman dan inklusif di lingkungan sekolah merupakan hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya bullying. Dengan menjadikan budaya literasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di sekolah, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif para siswa. Melalui kegiatan membaca, menulis, dan berdiskusi, siswa dapat belajar menghargai perbedaan dan memahami bahwa setiap individu memiliki nilai yang sama pentingnya.
Peran pendidikan dalam pencegahan bullying
Â
      Pendidikan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah bullying di sekolah. Dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya menghormati orang lain dan tidak melakukan tindakan kekerasan, kita dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua. Budaya literasi juga dapat menjadi langkah pencegahan kekerasan di media, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya berpikir kritis dan bijaksana dalam menggunakan teknologi.
      Kita juga dapat menggunakan budaya literasi sebagai sarana untuk mengajarkan siswa tentang dampak negatif dari bullying dan mengembangkan keterampilan sosial mereka agar dapat mengatasi konflik dengan cara yang positif. Dengan memperkuat nilai-nilai seperti keadilan, persamaan, dan tanggung jawab, kita dapat membantu menciptakan generasi yang lebih peduli dan empati terhadap sesama.
Kerjasama sosial dalam mencegah kekerasan
Â
      Kerjasama sosial merupakan kunci dalam mencegah bullying di sekolah. Dengan melibatkan semua pihak, termasuk siswa, guru, orangtua, dan masyarakat sekitar, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif para siswa. Budaya literasi juga dapat membantu dalam pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya bekerja sama dan saling menghormati.
      Dengan mendorong siswa untuk berkolaborasi dalam kegiatan literasi, seperti klub buku, diskusi sastra, dan penulisan karya tulis, kita dapat memperkuat ikatan sosial antar siswa dan mencegah terjadinya isolasi dan intimidasi. Melalui kerjasama sosial yang baik, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua.
Pemanfaatan media sebagai sarana edukasi
Â
      Media memiliki peran yang sangat penting sebagai sarana edukasi dalam pencegahan bullying di sekolah. Dengan menggunakan media dengan bijak, kita dapat mengajarkan siswa tentang cara berkomunikasi yang baik dan menghindari konten yang merugikan. Budaya literasi sosial juga dapat membantu dalam mencegah kekerasan dan bullying, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya memilah informasi dan berpikir kritis.
      Kita dapat memanfaatkan media sebagai sarana untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang pentingnya menghormati perbedaan dan memahami bahwa setiap individu memiliki nilai yang sama pentingnya. Melalui kampanye sosial, video pendek, dan artikel online, kita dapat menyebarkan nilai-nilai positif kepada masyarakat luas dan membangun kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua.
Langkah-langkah konkret dalam pencegahan bullying
Â
      Pendidikan sosial mengenai bullying merupakan langkah konkret dalam mencegah terjadinya kekerasan di sekolah. Dengan mengajarkan siswa tentang dampak negatif dari bullying dan cara mengatasi konflik secara positif, kita dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua. Budaya literasi sosial juga dapat membantu dalam pencegahan kekerasan, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya menghargai perbedaan dan memahami bahwa setiap individu memiliki nilai yang sama pentingnya.
      Menggunakan media sebagai sarana untuk membangun budaya literasi sekolah merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan aman. Dengan memanfaatkan teknologi secara positif, kita dapat menyebarkan pesan-pesan tentang pentingnya menghormati orang lain dan tidak melakukan tindakan kekerasan. Melalui kampanye online, video edukasi, dan artikel media, kita dapat menciptakan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif.
      Mempopulerkan budaya baca-tulis di sekolah juga merupakan langkah konkret dalam pencegahan bullying. Dengan mendorong siswa untuk membaca dan menulis, kita dapat meningkatkan keterampilan literasi mereka dan memperkuat nilai-nilai positif seperti empati, toleransi, dan kerjasama. Melalui kegiatan membaca buku, menulis cerita, dan berdiskusi, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang kreatif dan inklusif bagi semua.
      Membukukan karya tulis siswa dan guru sebagai reward anti bullying juga merupakan langkah konkret dalam pencegahan kekerasan di sekolah. Dengan memberikan penghargaan kepada para siswa dan guru yang aktif dalam mengembangkan budaya literasi dan mencegah bullying, kita dapat memotivasi mereka untuk terus berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang produktif, supportif, aman dan nyaman bagi semua. Melalui penghargaan dan pujian, kita dapat memperkuat ikatan sosial antar siswa dan guru serta menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif demi kemajuan bersama. Untuk itu semua, keberadan perpustakaan menjadi sangat penting. Oleh sebab itu perpustakaan harus didesain secara khusus agar lebih menarik, menyenangkan, nyaman dan memicu produktifitas pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H