Hari-hari ini beberapa orang sedang membincangkan dan menyambut datangnya peringatan "Valentine Day". Sebagian umat Islam biasanya memperbincangkan peristiwa ini dari perspektif hukum. Bahwa secara hukum Islam, peristiwa ini haram untuk dirayakan.
Pandangan ini wajar adanya. Tinjauan hukum memang selalu berusaha untuk menunjukkan kebenaran dan kesalahan secara tegas atau jelas. Satu pihak ada yang membenarkan, di pihak lain ada yang menganggapnya salah. Maka wacana tentang persoalan hukum sebetulnya lebih mengarah pada cara pandang tentang kebenaran seperti ini : benar menurut siapa dan salah menurut siapa. Keduanya tak bisa digeneralisasikan. Bagi umat Islam yang mengharamkan perayaan Valentine Day, silahkan. Bagi umat Non Muslim yang merasa penting untuk merayakannya, ya silahkan saja. Yang penting keduanya tetap bisa saling menghargainya.
Sekarang coba kita alihkan sejenak cara pandang mengenai Valentine Day ini dari perspektif hukum ke perspektif sejarah. Baik dari sejarah Romawi dengan beberapa versinya maupun sejarah Islam. Kita berharap dari perspektif ini bisa diambil substansinya demi memupuk kemesraan cinta antar sesama manusia.
Pada sejarah Romawi kuno terdahulu, ada tata aturan pergaulan yang memisahkan secara ketat antara laki-laki dan perempuan. Hanya pada event-event tertentu mereka bisa saling bertemu. Misalnya pada eventi Festival Lupercalia yang digelar pada setiap tanggal 15 Februari. Pada acara ini nama-nama kaum perempuan mereka ditulis pada secarik kertas kecil dan diletakkan dalam kendi atau guci. Para lelaki akan mengambil satu dari nama-nama perempuan dalam guci itu dan menjadi pasangan selama festival berlangsung, ada pasangan yang bertahan hingga 1 tahun, bahkan ada di antaranya yang saling jatuh cinta dan menikah. Kisah ini secara substantif menunjukkan adanya kepedulian dan menganggap penting adanya aturan pergaulan antar muda-mudi menuju pernikahannya.
Pada versi sejarah “Romawi” berikutnya. Kata Valentine dalam “Valentine Day” diambil dari nama seorang pendeta Roma yang hidup sekitar abad ke 3, pada kekaisaran Claudius II.
Sebagai seorang pendeta, Valentine lebih konsern membangun peradaban berdasarkan cinta-kasih dalam sebuah keluarga. Untuk itu ia seringkali memfasilitasi pernikahan para pasangan. Bahkan tugas ini pada akhirnya harus ia lakukan secara diam-diam karena bertentangan dengan aturan Kaisar Claudius yang melarang pernikahan. Larangan ini dikarenakan Claudius adalah seorang raja yang harus terus membangun kekuatan bala tentaranya. Saat itu Claudius menerapkan aturan wajib militer bagi seluruh kaum laki-laki dan oleh karenanya mereka dilarang menikah. Peraturan ini ditentang kebanyakan kaum laki-laki. Mereka menolak menjadi anggota militer kerajaan karena tidak ingin terpisah dari keluarga dan orang-orang terkasihnya.
Dalam sejarah Islam juga ada momentum semacam Valentine Day yang dikenal dengan sebutan "Yaumul Marhamah" (Hari Kasih-Sayang). Peristiwa ini terjadi pada saat penaklukan kota Mekah oleh kaum Muslimin yang dipimpinan langsung oleh Rasulullah SAW.
Ketika beliau dan kaum Muslimin berhasil kembali masuk ke Mekah dengan mudah dan tanpa perlawanan dari kaum kafir yang dulu pernah membantai dan mengusirnya, beliau justru datang dengan menebar salam kedamaian dan bukan semangat balas dendam. Dalam pidatonya beliau menyatakan, "... hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa ..." (Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing).
Tidak hanya itu, bahkan Rasulullah juga membagi bagikan harta rampasan kepada mereka. Sementara pasukan Islam yang menyertai beliau tidak mendapat apa-apa. Mereka mengeluh dan memprotes. Mereka lalu dikumpulkan dan beliau bertanya: "Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?" Mereka menjawab; sekian tahun, sekian tahun. "Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?" Tanya Rasulullah lagi dan segera dijawab mereka, “Tentu saja sangat mencintai ya Rasulullah”. Rasulullah SAW lalu mengakhiri pertanyaannya: "Kalian memilih mendapatkan unta atau memilih cintaku kepada kalian?"
Kali ini mereka tidak mampu berkata-kata lagi dan hanya menangis haru kerana cinta Rasulullah SAW kepada mereka yang begitu besar dan tak bisa dibandingkan dengan dengan harta benda apapun. Inilah makna Hari Kasih-Sayang dalam sejarah Islam, yakni : Pertama, Islam melindungi kaum lemah, sekalipun mereka pernah memusuhi Islam.
Saat itu beliau dengan seluruh kebesarannya saat berhasil menaklukkan Mekah, tidak bertujuan untuk melawan kemanusiaan melainkan semata-mata untuk menata kembali ideologi yang bertentangan dengan harkat dan martabat mereka. Maka kaum musyrikin Mekah tetap beliau jamin keamanannya meskipun belum bersedia mengikuti jejaknya.
Kedua, Islam mengajarkan ketulusan cinta terhadap sesama manusia. Ketika seorang kafir bernama Fadhalah bin Umair hendak membunuh Rasulullah saat beliau sibuk membersihkan ka'bah dari berhala, beliau justru mendekatinya sambil bertanya, "Apakah yang sedang kaupikirkan Fadhalah?"
Fadhalah kaget dan menjawab, "Saya tidak memikirkan apa-apa, saya sedang teringat Allah ya Rasulullah" Beliau tersenyum mendengar ucapan Fadhalah yang mencoba menutupi niat jahatnya, seraya menepuk-nepuk punggungnya. Lalu beliau meletakkan telapak tangannya pada dada Fadhalah sambil berkata, "Mohon ampunlah kepada Allah ya Fadhalah" Tergetar tubuh Fadhalah merasakan kelembutan sikap seorang pemimpin yang baru saja berhasil menguasai Mekah dengan mudah. Inilah gambaran tentang “Yaumul Marhamah” atau Hari Kasih Sayang dalam sejarah Islam. Secara substantif, dapatkah kita ketahui titik temunya dengan sejarah “Valentine Day?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H