Sebagai guru saya tidak ingin terikat oleh dua hal. Pertama, tidak ingin terikat oleh ruang kelas dan lingkungan sekolah tempat saya bertugas. Kedua, Ketika dalam kelas pun saya tidak ingin terpenjara oleh pikiran dan kemauan sendiri. Dua keputusan ini saya ambil sesuai pengalaman yang mendorong saya bersikap demikian. Dua hal inilah yang ingin saya tuturkan dengan tujuan agar tidak tersimpan terus di memori bahkan kelak mengendap di alam bawah sadar saya. Juga agar bisa diambil manfaatnya bagi siapapun. Adapun beberapa pengalaman tersebut dapat saya uraikan dalam beberapa sub judul sebagai berikut.
“Mendobrak” Ruang-Ruang Kelas
Ruang-ruang kelas yang terdapat di sekolah-sekolah konvensional dibuat semata-mata untuk mempermudah teknis pembelajaran, Misalnya agar pembelajaran menjadi lebih fokus karena para murid dan guru tidak terganggu oleh berbagai hal di luar kelas. Selain itu, adanya jenjang kelas dari yang terendah hingga tertinggi dapat membantu para murid mudah mengikuti pembelajaran sesuai dengan tahapan kemampuan berfikirnya.
Selanjutnya, hal “dobrak-mendobrak” ruang kelas yang pernah saya lakukan dengan penuh antusias adalah terkait dengan cara yang saya lakukan dalam menyajikan materi ajar. Misalnya, saya pompa minat baca murid-murid tentang materi “Pentingnya Tata Tertib” dalam buku teks dengan memberitahukan bahwa setelah itu mereka akan saya ajak nonton bareng (nobar).
Ketika kegiatan membaca selesai, mereka saya kondisikan atau saya minta membayangkan sedang berada di dalam pesawat ruang angkasa dan siap terbang menjelajahinya. Setelah mereka siap dan suasana telah hening, segera saya tayangkan video tatasurya dari laptop ke layar yang telah terpasang di depan kelas melalui proyektor yang juga telah terpasang permanen di plafon kelas. Selain itu, mereka juga saya ajak menyimak video migrasi burung yang jumlahnya jutaan dan video prosesi tawaf mengelilingi ka’bah.
Setelah “pengembaraan” ke luar kelas melalui tayangan video, ada beberapa murid yang saya minta untuk menceritakan pengalamannya selama menonton dan mengkaitkannya dengan materi ajar. Terakhir saya tinggal memberikan ulasan kecil dan evaluasi tentang apa yang sudah tepat dan apa yang perlu dioptimalkan lebih lanjut. Hal terpenting dari kegiatan ini adalah antusisme mereka selama mengikuti pembelajaran seperti layaknya “Nonton Bareng” hingga tak terasa waktunya habis.
Tahun-tahun berikutnya. Ketika peralatan seperti proyektor yang tidak lagi berfungsi dengan baik, kabel-kabel VGA maupun HDMI yang berfungsi menghubungkan laptop dengan proyektor belum sempat diganti yang lebih baik dan lain-lain, yang saya lakukan adalah memompa harga diri mereka sebagai manusia yang ditakdirkan Tuhan sebagai masterpiece-Nya yang paling istimewa.
Saya ingatkan kepada mereka tentang video proses terciptanya manusia yang bermula dari jutaan sel sperma yang berenang-renang dan seolah berlomba untuk menembus ovum dalam rahim ibu. Nyatanya hanya ada satu sel sperma yang berhasil menyatu dengan ovum dan selanjutnya berproses selama 9 bulan dalam kandungan ibu untuk menjadi manusia. “Nah!..itulah kita” Saya katakan begitu kepada mereka. “…kita telah ditakdirkan menjadi makhluk pilihan Tuhan yang terbaik”. Kata saya lebih lanjut.
Mereka juga saya kenalkan tentang potensi yang terpendam dalam dirinya. Kalau selama ini mereka sudah familiar dengan potensi bernama IQ (Intelligence Quotient), sebetulnya ada lagi potensi yang mereka miliki bernama AQ (Adversity Quotient). Yakni potensi yang apabila diaktifkan dapat membuat seseorang memiliki daya tahan menghadapi kondisi sulit, ketidak nyamanan, serba kekurangan bahkan penderitaan. AQ akan membuat seseorang berkreasi untuk mengatasi situasi dan kondisinya yang kurang menguntungkan agar dirinya tetap survivemenjalani lika-liku hidup.
Tentu saja kegiatan itu membutuhkan waktu khusus karena materi yang disampaikan juga materi yang membutuhkan perhatian khusus dan cara penyajian yang khusus pula. Sebetulnya ada videonya yang dapat digunakan untuk lebih memperjelas dan lebih menarik perhatian muri-murid. Tetapi berhubung peralatannya kurang mendukung, maka penjelasan tentang AQ bisa sekaligus dipraktikkan agar berfungsi sebagai software yang memungkinkan mereka bisa seakan menyaksikan “video” melalui imajinasinya.
Saya percaya kekuatan visualisasi melalui imajinasi tidak kalah menariknya dengan visualisasi melalui proyektor. Bahkan imajinasi jauh lebih kompatibel dengan kebanyakan orang, kalau tidak ingin mengatakan semua orang, baik anak-anak maupun dewasa atau bahkan orangtua. Sebab dengan imajinasinya setiap orang bebas memvisualisasikan tentang apa yang didengarnya.