Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Matematika Gak Butuh Kata-kata

27 Maret 2016   14:49 Diperbarui: 27 Maret 2016   15:40 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

 

 

 

[/caption]

[caption caption="(Sumber gambar : www.mahad-aly.sukorejo.com)"]

[/caption]

Di banyak tempat, kegiatan membaca dan menulis ternyata masih dipandang sebagai "barang mewah" di satu sisi, dan di sisi lain justru dipandang sebagai "kesia-siaan". Mengapa? Silahkan! masing-masing anda pasti punya jawabannya.

Tapi berdasarkan pengalaman yang saya pungut dari berbagai obrolan dengan teman, dua kategori di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

Membaca sebagai “barang mewah”. Dapat disebut seperti ini karena menurut mereka yang tidak pernah atau jarang membaca, membaca membutuhkan waktu khusus dan di tempat yang khusus pula. Mereka yang ada dalam kelompok ini merasa terlalu sibuk dengan tugas-tugas rutinnya sehingga tidak sempat lagi membaca. “Boro-boro baca, waktu saya habis buat bekerja, saya sudah sangat lelah karena harus menempuh perjalanan jauh pergi-pulang antara rumah dan tempat kerja”. Begitu di antara alasannya mengapa mereka gak sempat lagi membaca.

Selain itu mereka juga mengeluhkan harga buku yang mahal sehingga belanja buku tidak menjadi prioritasnya di samping belanja sandang (pakaian), pangan (makanan) dan lain-lainnya.

Begitu juga kegiatan menulis sebagai “barang mewah”. Hal ini karena menulis ternyata masih dianggap sebagai keahlian khusus dan eksklusif bagi para sastrawan dan ahli bahasa saja. Sedangkan seorang ahli matematika merasa tak bisa menulis karena pekerjaannya lebih sering “bermain” dengan angka yang tidak membutuhkan kata-kata. Begitulah berbagai alasan yang ada dan masih hidup di pikiran sebagian orang.

Setidaknya itulah tiga alasan yang bisa ditemukan pada sebagian orang. Mungkin anda pernah juga mendengar alasan-alasan lainnya. Tapi dari tiga alasan itu saja bisa menjadi virus yang mematikan bagi semangat membaca dan menulis pada masyarakat yang kondisinya sedang mengalami tragedi nol buku seperti yang disebut oleh Taufik Ismail. Mengapa Taufik menyebut begitu? Karena berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1997 dia menemukan fakta anak-anak SMA Indonesia yang tidak pernah sekalipun membaca buku sastra. Sementara anak-anak SMA di Malaysia tela membaca 6 judul, Singapura 6 judul, Brunai 7 judul, Russia 12 judul, Kanada 13 judul, Jepang 15 judul, Perancis 30 judul, Belanda 30 judul, Amerika Serikat 32 judul dan siswa SMA Indonesia 0 judul.

Tragedi nol buku yang diungkap Taufik Ismail di tahun 1997 itu benar-benar terjadi. Setidaknya apa yang telah ditemukan PISA (Program for International Student Assessment) tentang perbandingan prestasi literasi siswa internasional pada tahun 2015 yang menempatkan siswa Indonesia berada pada peringkat 69 dari 76 negara. Tepat sekali apa yang pernah dikatakan Taufik 19 tahun atau hampir dua dasawarsa yang lalu. Inilah tragedi dan benar-benar telah terjadi.

Anak-anak SMA Indonesia  yang 19 tahun yang lalu pernah menjadi subyek penelitian Taufik Ismail itu sekarang kira-kira telah berusia 37 tahun. Inilah usia produktif dan sangat mungkin di antara mereka sekarang telah menduduki posisi-posisi strategis di berbagai lembaga pemerintah dan suasta, telah menekuni berbagai bidang tugas dan pekerjaan. Maka sungguh masuk akal kalau kondisi bangsa ini sekarang masih terseok-seok untuk bangkit dari keterpurukannya. Kondisi buruk yang sejak lama telah disadari dan meledak pada tahun 1998 yang kemudian melahirkan kesadaran kolektif untuk mereformasinya.

Hingga sekarang bangsa ini belum tegap benar berdirinya untuk menatap ke depan yang jauh lebih besar dan banyak tantangannya. Masih ada virus di sana sini yang berpotensi mengancam immunitas bangsa yang sebetulnya telah mulai mampu berjalan lagi. Kondisi ini seharusnya bisa memicu kesadaran dan keinginan yang sangat kuat untuk saling membantu, sling bergandengan tangan, saling menopang dan bukan saling melemahkan demi masa depan bersama yang lebih baik.

Kesadaran kolaboratif semacam itu harus diupgrade terus menerus dengan langkah awal memaksakan diri sebagai seorang pembelajar seumur hidup. Inilah jihad besar (jihad al-akbar) yang paling tepat, relevan dan amat sangat mendesak saat ini. Bukankah Rasulullah juga telah berkata bahwa menjadi pembelajar itu tanpa batas usia dan baru berhenti ketika ajal telah sampai. Apalagi Qur’an pertama sekali juga menyinggung masalah ini, Iqra’. Maka semestinya keharusan belajar tidak perlu menunggu waktu, apalagi menunggu terjadi tragedi yang lebih buruk dari yang terjadi sekarang.

Berdasarkan alasan ini maka sebenarnya kegiatan membaca bukanlah kemewahan. Membaca bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Bagi yang merasa sibuk bekerja, lihatlah mereka yang lebih sibuk dan ternyata masih sempat membaca. Karena baginya membaca itu bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaannya. Maka di manapun dan kapanpun ada waktu luang digunakan untuk membaca walaupun sebentar. Tak ada alasan apapun baginya untuk tidak membaca. Kalau gak sempat baca di rumah ya di jalan, di terminal, di stasiun, di kendaraan, dan lain-lain. Pokoknya di mana saja. Kalau gak mau beli buku ya pinjam teman, pinjam di perpustakaan, numpang baca di toko buku, dan lain-lain. Baginya membaca bukan kemewahan tapi sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

Kegiatan menulis juga bukan hak eksklusif para sastrawan, ahli Bahasa, dan para penulis terkenal. Siapapun berhak dan pasti bisa menulis. Wong menulis itu hanya bentuk lain dari berbicara. Aneh kalau ada yang mengaku, “Saya lebih enak ngomong dari nulis”. Padahal seharusnya yang dikatkan, “Lebih enak menulis”. Alasannya kalau Cuma ngomong akan tidak meninggalkan jejak. Sedangkan tulisan akan bisa disimpan lebih lama dan bisa dibaca orang lain di kemudian hari, bahkan hingga bertahun-tahun lamanya hingga penulisnya telah meninggal sekalipun. Para penulis sejatinya akan hidup selamanya dengan karya-karyanya.

Menulis bukan hak eksklusif seseorang sehingga gak perlu ada istilah yang menyebut orang tertentu sebagai seorang penulis. Wong menulis itu sebenarnya bisa dilakukan semua orang. Bagi yang pandai berbicara, ya tinggal pindahkan saja apa yang dibicarakan dalam bentuk tulisan. Seorang ahli matematika atau guru matematika juga tidak perlu “bunuh diri” dengan berkata, “Saya gak bisa nulis seperti orang sosial. Saya orang eksak yang lebih terbiasa dengan angka-angka”. Benarkah? Lalu bagaimana cara menjelaskan angka-angka itu kepada orang lain dan kepada diri sendiri kalau tidak dengan kata-kata atau tulisan? Dan Ya…Tuhan….benarkah matematika tidak butuh kata-kata? Sedangkan Engkau Sang Matematikawan Agung pun ternyata juga telah menurunkan berbagai kitab suci yang tersusun dalam bentuk teks atau kata-kata. Teks-teks suci ayat-Mu itu ternyata juga Engkau pagari dengan prinsip-prinsip matematika sehinggga otentisitasnya gak mungkin ditiru, dipalsukan, dan digugat orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun