Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

freedom, togetherness, networking, collaboration, immolation

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Welcome back, Corruptors

15 Maret 2015   22:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:36 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat seriusnya pemerintah dalam menindak para pelaku kejahatan narkoba dengan hukuman mati, saya pernah menduga pemerintah akan melebarkan sikap tegasnya ini untuk membidik para koruptor. Sebagai rakyat jelata saya cukup optimis dan yakin pemerintah akan segera melibas para koruptor. Kenapa saya punya keyakinan seperti ini? Ya karena para predator uang rakyat itu semakin ganas perilakunya. Semakin dibasmi semakin  'bersemi'. Persis seperti kata pepatah, "Hilang Satu Tumbuh Seribu". Kayak nyamuk di musim kemarau beberapa waktu lalu. Sorenya si kawanan nyamuk dibasmi habis tapi menjelang pagi mereka datang menyerbu lagi. Seperti itulah keberadaan makhluk jahat bernama koruptor predator.

Maka tepatlah kalau presiden menolak memberi grasi pada para terpidana mati itu. Sikap tegas presiden ini telah menumbuhkan optimisme baru bahwa hukum masih ada dan keadilan masih cukup tegak di negeri ini. Bahkan kali ini pemerintah cukup nyali untuk tetap berdiri tegap demi menjaga kehormatan dan kedaulatan bangsa meski harus menghadapi sejumlah protes dari beberapa negara. Di antaranya adalah Australia dan Brazil yang paling rewel.

Tapi sayang. Pemerintah melalui menteri hukum dan HAM Yasonna H Laoly memandang terpidana korupsi berhak mendapat remisi dengan alasan agar tidak ada diskriminasi terhadap para narapidana.  Sepintas lalu alasan ini cukup masuk akal tetapi sekaligus menunjukkan ketidak pekaan menteri Yasonna terhadap kondisi negara yang sedang dalam keadaan darurat korupsi di samping darurat narkoba. Padahal kata Abdullah Hehamahua dan kita setuju bahwa korupsi Indonesia sudah termasuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan alasan : 1. korupsi Indonesia bersifat transnasional (banyak koruptor yang kirim  uang ke luar negeri dan 'sukses' jadi orang terkaya di sana), 2. korupsi Indonesia kebanyakan berbentuk suap yang pasti tak ada tanda buktinya sehingga butuh penelusuran yang super sulit, 3. dampak korupsi yang bikin bangsa ini terlilit hutang lebih dari 1000 triliun dan harus lunas pada periode 2021-2042 cicilan tahap ketiga sejak  2011 - 2016 dan 2016 - 2021. Padahal selama itu tidak menutup kemungkinan negara ini punya hutang baru lagi akibat korupsi-korupsi baru. Dan semua beban super berat dampak korupsi itu harus ditanggung oleh seluruh rakyat yang gak tahu menahu urusan kongkalikong orang-orang besar di atas sana. Itu sebabnya sangat pantas kalau koruptor kakap itu dieksekusi mati bukan malah dijanjikan remisi.

Entah apa yang harus saya buat alasan untuk memperkuat dugaan bahwa hingga hari ini masih terkesan kuat pemberantasan korupsi di negeri tercinta masih biasa-biasa saja padahal korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Gak ada gregetnya sekuat memburu penjahat narkoba dan terorisme. Bahkan tidak setega seperti mereka yang menangkap, menuntut, mengadili dan memenjarakan nenek-nenek yang dituduh mencuri kakao dan beberapa batang pohon jati. Para koruptor juga merasa diberi peluang untuk mempraperadilan-kan KPK dan lain-lain peristiwa aneh yang kemudian di'baca' rakyat sebagai upaya kriminalisasi KPK. Bahkan ada sebagian orang KPK sendiri yang sudah merasa kalah pada satu momen penegakan hukum dan lain sebagainya. Maka janji remisi Yasonna Laoly bagi narapidana korupsi seperti mempertegas keriuhan aneh itu dengan bentangan spanduk besar di mana-mana bertuliskan : Mari silahkan korupsi, masuk penjara, menyulap bilik terali besi jadi kamar mewah dan wangi, pura-pura bersikap baik selama di penjara agar kelak dapat remisi bahkan bebas murni.

Selamat datang kembali koruptor. Enam belas tahun sudah sejak 1998 semangat reformasi digelorakan. Tapi nyatanya kalian cukup stamina plus muka tebal sehingga gak mampu ditembus reformasi bahkan jangan-jangan revolusi mental juga gak mampu menyentuhmu. Saya jadi teringat tokoh Umar bin Abdul Aziz (Khalifah Bani Umayah 717-720). Selama masa pemerintahannya yang belum genap 3 tahun tetapi sanggup mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tak satupun yang mau menerima zakat apalagi sedekah. Kesuksesan ini dikarenakan sang khalifah yang menyukai hidup sederhana. Tokoh serupa yang saat ini masih di depan mata adalah Jose Mujica (presiden Uruguay) yang rela menyumbangkan 90% dari $ 12. 000 (Rp 150-an juta) gajinya sebagai presiden untuk rakyatnya dan dia sendiri hanya butuh $ 700 (Rp 9 juta-an) saja untuk biaya hidupnya plus mobil tua pribadinya produksi tahun 1980-an.

Silahkan cari pemimpin negara saat ini yang serius dengan pilihan hidup sederhana sekelas Umar bin Abdul Aziz dan Jose Mujica yang bahkan masih hidup di suatu masa di mana hampir seluruh pemimpin negara jauh dari gaya hidup sederhana, pasti sulit kita temukan. Malah ada pejabat yang gak malu lagi menuntut tunjangan ini-itu di luar gajinya yang berkali lipat gaji Jose Mujica. O.....ternyata masih kurang. Ya.....sudah! sikat saja uang rakyat. Selamat datang kembali tuan-tuan koruptor. Selamat menikmati hidup di negeri kaya yang tak bertuan di sana.

______________

Rujukan :

1. Viva News. com. 13 Maret 2015

2. ROL, 23 Februari 2012

3. Merdeka.com, 9 September 2014

4. Sejarah Peradaban Islam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun