Merayakan tahun baru Hijriyah seperti saat ini, mengingatkan kita pada sosok Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada masa ke-khalifahan Umar bin Khatab dan atas usulan Ali bin Abi Thalib.
Dalam musyawarah untuk menetapkan kalender itu Ali mengusulkan agar didasarkan pada momentum hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah (622 M). Sahabat senior lainnya yang turut hadir dalam musyawarah itu adalah Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.Di antara mereka sempat ada yang mengusulkan agar kalender didasarkan pada hari kelahiran Nabi SAW. atau pada hari pengangkatan Muhamad sebagai Rasul. Namun pada akhirnya mereka bersepakat untuk menerima apa yang diusulkan Ali bin Abi Thalib. Jadilah kalender tahun hijriyah dimulai dari bulan ketika Nabi dan kaum Muslimin melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, yakni bulan Muharram.Salah satu nama bulan di antara sebelas bulan lainnya yang memang telah berlaku di wilayah Arab saat itu. Dengan demikian nama-nama bulan pada kalender hijriyah yang berlaku hingga kini merupakan adopsi dari nama-nama bulan yang telah ada pada masa pra Islam yang dikenal dengan sebutan zaman Jahiliyah.
Kalau kita perhatikan, keputusan merekasungguh menarik. Padahal mereka adalah orang-orang terdekat Muhamad. Tetapi mereka tidak otomatis menjadikan kedua momen penting seperti “Hari Lahir” dan “Hari Kerasulan” sebagai hal yang tepat untuk penetapan kalender. Sebab andai kalender didasarkan pada hari kelahiran Nabi, akan sangat mudah dikesankan adanya kultus individu atau setidaknya kurang relevan dengan fungsi kalender yang mestinya berlaku umum. Apalagi jika hal itu didasarkan atas kerasulan Muhamad, tentu akan lebih terkesan sektarian. Meskipun menurut Qur’an, kerasulan Muhamad tidak ada kaitannya dengan sektarianisme melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Al-anbiya’, 107).
Lantas apa istimewanya dengan landasan pada peristiwa hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah? Tentu kita sudah tahu bahwa peristiwa hijrah merupakan sejarah titik balik kehidupan kaum Muslimin dari posisi sebagai umat yang tertindas dari kesewenang-wenangan bangsa Arab Jahiliyah menjadi suatu kaum yang mampu bangkit kembali dan berhasil membangun kekuatannya secara powerfull. Andai Muhamad dan kaum Muslimin mau membalas dendam atas penindasan yang pernah mereka alami, akan sangat mudah dilakukan pada saat mereka kembali ke Mekah dengan kondisi sangat kuat. Nyatanya pada peristiwa yang terkenal dengan sebutan “Futuh Mekah” (Penaklukan Mekah) ini Muhamad justru menyatakan dengan lantang bahwa hari itu merupakan hari kasih sayang dan bukannya hari pembantaian (Inna hadzal-yaum, yaumul-marhamah. La yaumul-malhamah). Para penduduk Mekah dijamin keamanannya dan tak akan ada perlakuan semena-mena terhadap mereka.
Demikian juga ketika mereka masih di Madinah. Mereka membangun masyarakat tidak serta merta dengan landasan agama dan berlaku bagi seluruh masyarakat Madinah. Muhamad justru memimpin masyarakat Madinah yang terdiri kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan kaum penyembah berhala dengan landasan suatu konstitusi bernama Shahifah Al-Madinah atau The Constitution of Medina (Montgomery Watt) atau Charter (R.A. Nicholson) atau Agreement (Philip K. Hitti) atau Piagam Madinah (Zainal Abidin Ahmad).
Suatu kontitusi yang disusun Muhamad bersama masyarakat Madinah yang plural pada 622 M., jauh sebelum konstitusi Amerika (1787), konstitusi Perancis (1795), bahkan mendahului konstitusi tak tertulis Inggris bernama Magna Charta (1215).
Suatu konstitusi yang memuat hak dan kewajiban seluruh masyarakat Madinah baik Muslim, Yahudi, Kristen, maupun kaum penyembah berhala. Dengan demikian persatuan dan kesatuan masyarakat Madinah dapat ditegakkan dan sekaligus menghentikan pertikaian panjang antar suku yang terjadi sebelumnya. Untuk mengikat kesatuan sesama Muslim Muhamad menerapkan aturan Ukhuwah Islamiyah dan demi menjaga keutuhan sesama penduduk, baik Muslim, Yahudi, Kristen dan lain-lainnya, Muhamad memberlakukan aturan Ukhuwah Wathaniyah.
Itulah mengapa daerah yang dulu bernama Yatsrib itu lalu diubah menjadi Madinah setelah Muhamad hijrah di sana dan membangun kehidupan masyarakat baru di bawah Konstitusi Madinah. Madinah berarti “Kota”. Tetapi bukan sekedar dalam arti kawasan melainkan suatu tempat menetap dan hidup bermasyarakat dengan landasan keadaban dan budaya luhur. Suatu negara dengan tata kelola pemerintahan yang adil bagi seluruh rakyatnya.
Berdasarkan sepenggal sejarah hijrah demikian, maka kita bisa memahami mengapa Umar dan para sahabat lainnya dapat menyetuji apa yang diusulkan Ali bin Abi Thalib agar penetapan kalender baru itu dimulai dari momentum hijrahnya Muhamad SAW bersama kaum Muslimin dari Mekah ke Yatsrib (Madinah) dan bukannya berdasarkan kelahiran atau diangkatnya beliau menjadi utusan Tuhan.
Betapa mereka memiliki pemikiran yang sangat luas dan langkah politik yang sangat strategis dalam membangun masyarakatnya. Padahal mereka adalah orang-orang terdekat Muhamad. Tetapi tidak serta merta menjadikan hari kelahirannya bahkan kerasulannya sebagai sesuatu yang pas untuk menetapkan sebuah kalender. Muhamad-lah inspirator mereka ketika beliau juga tidak serta merta menjadikan Qur'an’an-Hadits sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Tetapi yang pasti Piagam Madinah secara substantif tidak bertentangan dengan kedua kitab suci itu.
______________________________
Selamat Tahun Baru Hijriyah 1435
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H