[caption id="attachment_332224" align="aligncenter" width="448" caption="sumber : liputanislam.com"][/caption]
Setahu saya beliau seorang ustadz yang sering membimbing anak-anak untuk menghafal Al-Qur'an. Tetapi beberapa hari lalu saya melihat beliau begitu bersemangat menjawab wartawan soal pentingnya koalisi partai-partai Islam.
Soal koalisi antar partai-partai Islam merupakan ide yang sangat bagus. Sebagai sesama partai yang berbasis Islam, memang sebaiknya menyatu. Modal untuk itu cukup kuat. Yakni ideologi partai yang sama-sama didasarkan pada agama yang sama yaitu Islam. Sedangkan Islam sejatinya menghargai pluralitas yang sejak ratusan tahun silam telah diakui sebagai suatu keniscayaan bagi bangsa besar ini. Di era Majapahit telah lahir konsep Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan eranya Walisongo dan Kesultanan Demak telah berkembang konsep interaksi dan komunikasi sosial keagamaan yang sangat kreatif dan arif sehingga mampu menjamin terjadinya kehidupan masyarakat majmuk yang aman dan nyaman. Kehidupan masyarakat dengan latar belakang agama dan tradisi apapun dapat berjalan seiring dengan rukun dan damai.
Dalam konteks itu, rencana koalisi partai-partai Islam dapat dibaca sebagai langkah awal untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih serius dan realistik. Serius dapat diartikan bahwa menata kehidupan bangsa yang besar ini harus didahului dengan kesediaan menata diri. Yakni diri partai-partai Islam itu untuk tidak lagi mementingkan kelompoknya.
PKS tidak merasa suci sendiri dengan bendera putihnya, PKB tidak merasa paling sunni dengan bendera hijaunya, PAN tidak merasa paling "Muhamad" dengan basis Muhammadiyahnya, PPP tidak merasa paling jumawa sebagai kiblat seluruh Muslim di dunia dengan simbol ka'bahnya, dan PBB tidak merasa over confidentdengan berkata misalnya, "Biarlah suara kami minoritas karena Islam pada awal kelahirannya juga begitu" dan tidak lagi merasa sebagai satu-satunya partai Islam pewaris Masyumi. Semua egosentrisme itu mereka lebur demi keseriusan membangun Indonesia Raya.
Keniscayaan Indonesia Raya yang harus disikapi secara realistik bahwa Indonesia merupakan tempat bernaungnya beragam suku, bangsa, dan agama. Sudah semestinya bila keberagaman itu tidak diterpong melalui lubang partisan dan sektarian. Sebaliknya realitas itu diletakkan pada bingkai agama (apapun namanya) dan dalam konteks tulisan ini adalah koalisi partai-partai Islam. Dengan asumsi bahwa koalisi antar mereka dibangun atas dasar ruh Islam yang "Rahmatan lil-alamin". Islam hadir demi membangun kehidupan yang sejahtera, adil, dan berkeadaban bagi seluruh umat manusia dan lingkungannya. Bukan justru berangkat dengan niat merebut kekuasaan dari pihak lain yang tidak separtai, tidak sealiran, dan bukan pula yang tidak seagama.
Sayangnya. Kesan yang tampak dari rencana kolaisi partai-partai Islam itu hanya didasarkan pada kalkulasi politik bahwa perolehan suara partai-partai Islam dari Pemilu Legislatif 2014 sementara ini bila digabungkan akan mencapai angka 30% lebih dan ini artinya mereka layak mengusung calon Presidennya sendiri untuk "diadu" melawan Capresnya partai nasionalis. Tidak ada yang salah dengan kalkulasi ini. Sebab arena "pertandingan" antar partai dievent Pemilu memang bertujuan meraih kekuasaan. Tetapi niat koalisi setelah tahu ada peluang besar jika perolehan suara dukungan masing-masing partai digabungkan tidak menunjukkan kekuatan substantif. Akan berbeda jika perolehan suara yang besar itu diperoleh sejak awal, bersumber dari pemilih yang begitu tertarik dan yakin denganplatform partai yang secara garis besarnya berada di lingkaran konsep "Rahmatan lil-alamin". Sebuah konsep yang masing-masing partai Islam itu sebetulnya telah meyakini kebenarannya. Sehingga mestinya mereka bisa ikhlas melebur diri menjadi satu partai saja. Sebuah partai yang dibangun di atas landasan substansial tentu memiliki kekuatan yang handal sebab basisnya adalah dukungan rakyat yang sukarela.
Akhirnya kita tahu bahwa rencana koalisi partai-partai Islam justru tampak kedodoran sejak pertama ide itu diluncurkan. Sebab, itu memang bukan ide sederhana yang bisa dimunculkan secara tiba-tiba. Ide besar yang sulit duwujudkan hanya atas dasar perolehan suara Pemilu yang digelar lima tahunan. Akan beda ceritanya bila salah satu partai Islam itu sukses luar biasa karena perolehan suaranya mencapai mayoritas. Misalnya mampu mencapai angka 20% lebih. Selanjutnya akan relatif lebih mudah meminta partai-partai Islam lainnya untuk memfusikan diri dengannya. Padahal untuk konteks Indonesia saat ini, peluang meraih suara 20% ke atas sangat mungkin dicapai dengan mudah asalkan partai punya komitmen sangat kuat dan keras terhadap pembasmian korupsi.
Sebetulnya PKB punya modal besar seandainya sejak jauh-jauh hari mengusung Mahfud MD sebagai capresnya. Sayangnya PKB tampak setengah hati mempromosikan tokoh ini. Malah Mahfud dan Rhoma Irama akhirnya justru terkesan diperalat menjadi sekedar pendulang suara. Ketika sekarang PKB mampu meraih suara dua kali lipat dari sebelumnya, yang diduga kuat karena daya tarik Mahfud MD dan Rhoma, tiba-tiba Muhaimin Iskandar ingin juga maju sebagai Capres atau Cawapres. Kalau sudah begini, boro-boro membangun koalisi dengan partai Islam lainnya, wong baru dapat suara agak besar saja langsung kebelet ingin berkuasa. Benar apa yang dikatakan Ikrar Nusa Bhakti (LIPI) bahwa koalisi partai-partai Islam sulit diwujudkan karena masing-masing tokohnya memiliki ego yang kelewat tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H