Saat itu, saya meminta uang jajan dua ratus rupiah, namun ibu hanya memberi lembar seratus, saya merajuk dan merobek uang itu. Ibu marah dan memelintir tangan saya hingga menangis. Namun setelah itu ibu pun menangis dan memeluk seraya mengatakan:
“Nak, uang itu adalah rezeki dari Allah, Ayah menjemputnya dengan susah payah, Ayah berangkat kerja pukul enam pagi, pulang ke rumah pukul dua siang, berjalan sejauh sekira lima kilometer. Ayah pun tak makan siang di kantor, sebab hanya mau makan siang bersama kita”
Peristiwa itu terekam kuat dan membekas dalam ingatan hingga kini.
Saat ini usia ibu sudah senja, sering sakit-sakitan dan Ramadan kali ini tak ada lagi ayah mendampinginya. Ayah meninggal setahun yang lalu, kini ibu tinggal di kampung halaman bersama dua saudara saya.
Meski sakit, ibu masih “ngotot” dan semangat melaksanakan puasa, namun setelah di berikan penyampaian dan nasehat dokter, akhirnya ibu melunak. Betapa jiwa seorang ibu masih perhatian terhadap kewajiban kepada Allah meskipun fisiknya sudah tidak memungkinkan.
Juru parkir; wanita tangguh yang kupanggil Indo’
Namanya Hariana, juru parkir wanita di kawasan pasar kampung baru, Kota Balikpapan. Setiap hari beliau menjaga area parkir tersebut. Bekerja dari pukul enam pagi hingga pukul delapan malam, bahkan terkadang hingga larut malam.
Pekerjaan itu ia tekuni sejak sekira tiga tahun yang lalu, sejak sang suami meninggal dunia akibat kecelakaan. Sejatinya pekerjaan sebagai juru parkir ini adalah warisan dari sang suami.
Satu-satunya pekerjaan yang menopang hidupnya kini adalah menjadi juru parkir.
Saat ini beliau hidup sendiri alias sebatang kara di rumah kayu sederhana di pinggir laut, yang merupakan satu-satunya peninggalan sang suami. Anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan menetap di luar kota.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!