Perahuku Tak Sampai ke Samudera
Ketika masih kanak-kanak, aku suka membuat perahu dari kertas. Pada hari Ahad, aku memohon pada ayah untuk mengantarku ke sungai.
Sampai di tepinya; kulayarkan perahu itu.
Namun sebelum kulepaskan, aku memberinya tiang dan kuberi bendera juga dari kertas. Tiangnya terbuat dari lidi, kuambil dari pelepah kelapa yang jatuh di pinggir sungai, dan kertasnya kuberi warna merah putih.
Setelah merasa paripurna, kutaruh kapalku itu secara pelan, lalu kulepaskan dari jemari mungilku. Arusnya cukup tenang, tidak seperti pikiranku yang berkecamuk.
Perahu itu pun berlayar perlahan namun konstan, ke tengah sungai, kemudian menuju ke hilir, hingga samar di mataku, sampai akhirnya ia menghilang.
"Ia akan menuju samudera luas," kata ayah memegang pundakku. Aku begitu riang, pulang ke rumah dengan segunung harapan.
Sesampai di rumah.
Aku berkata, "Ibu, perahuku telah berlayar ke samudera". Dan ketika tiba waktunya seluruh dunia akan melihatnya;
"Kokoh di lautan dan tidak akan karam."
Aku membuatnya dengan susah payah, bahannya dari pembungkus buku paling tebal yang ibu belikan,
Orang-orang akan tahu jika itu perahu milik Indonesia.
Lalu tiba-tiba kakak menimpali,
"Sebelum sampai ke samudera, kapalmu akan ditahan petugas di muara."
Lalu aku bertanya; kenapa dengan kapalku?
"Sebab kau memakaikan bendera merah putih!" jawabnya lugas.
Balikpapan, 17 Januari 2021
Ali Musri Syam Puang Antong
*Puisi Sebelumnya: Nelangsa PagiÂ
*Puisi Pilihan Lainnya: Menjelma Bayang-bayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H