Romansa Anak Tahun 90-an
Telah berlalu siang, terik panas mentari, hangat dan angin,
Bersama seuntai kenangan masa kecil, selalu tergiang,
Bermain sepakbola kampung, tanpa sepatu, tanpa tiang gawang.
Bila hujan datang, menikmati derai - derai air berbasahan,
bermain, berlarian di ladang - ladang lapang,
Tak peduli suara petir bersahutan, kilat menyambar - nyambar tak dihiraukan.
Selalu begitu, berulang - ulang tiap hari,
Tak ada jeda, sesaat setelah mengerjakan PR dan mengaji,
Berkelebat samar di pandangan ibu, mengendap - endap di balik punggung ayah; sembunyi.
Selalu riang dan menikmati, tenggelam dalam keasyikan dunianya,
Hadiah terindah masa - masa silam; debu, peluh, kotor, lumpur, basah,
Pulang kerumah; mata ayah memerah, ditangan ibu terpegang erat tongkat.
Kini tinggal kenangan, menyeruak ke ruang - ruang hampa,
Serasa ingin mengulang romansa, sudah tak ada jalan untuk kesana,
Kenikmatannya tak ternilai, meski kita punya tahta dan kuasa.
Balikpapan, 20 November 2020
Ali Musri Syam Puang Antong
*Puisi Sebelumnya: Hujan November dan Secangkir Kopi Menjelma Kenangan https://www.kompasiana.com/alimusrisyam/5fb6a2358ede4823a7262ab2/hujan-november-dan-kopi-menjelma-kenangan
*Puisi Lainnya: Lelaki di Atas Pusara Ayahnya https://www.kompasiana.com/alimusrisyam/5faddbed8ede487ace064942/lelaki-di-atas-pusara-ayahnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H