Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Stop Ngutil di Hotel!

3 September 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pff, cakep-cakep kok nyolong!” gerutu salah seorang kolega saya sewaktu makan siang barengan di kantor. “Oh, kalau jelek gak papa!” timpal saya usil sambil menyendok salad. Ronny, rekan saya itu, langsung mendelik. “Ya enggak lah. Nyuri tetap aja nyuri. Enggak ada pengecualian!” sahutnya tak mau kalah.

Ronny, teman baik saya itu membawahi front office di hotel tempat kami bekerja, sedangkan saya awal millenium saat itu berkutat di bagian personalia. Hampir tiap hari, sewaktu makan siang di katering hotel atau rehat singkat, pasti ada resepsionis atau karyawan cleaning service yang manyun perihal tamu-tamu klepto.

Hare gene, masih aja berani ngumpetin handuk di kopor,” Ronny mulai curhat lagi. Mungkin, keluh kesah Ronny terkesan nyinyir. Kendati demikian, raibnya inventaris boleh dibilang salah satu masalah serius di industri perhotelan. Akibatnya, makin banyak hotel yang mengontrol kamar—dan mini bar—sesaat sebelum tamu check out. Bahkan, ada hotel yang langsung membebani kartu kredit tamu ketika kedapatan ada handuk atau gantungan baju yang hilang.

Saya pun pernah mengalami kejadian mirip sewaktu check out di salah satu resor di Thailand. “Maaf, mungkin bathrobe di kamar mandi tak sengaja terbawa oleh Anda!” ujar mbak-mbak resepsionis—tegas tapi tetap santun. “Oh ya?” reaksi saya agak jengah. “Barangkali tertinggal di kolam renang,” lanjut saya. Mbak itu segera memerintahkan salah seorang personil mencek. Untung, jas kamar mandi itu memang tergeletak di sekitar kolam renang.

Bayangkan, kalau ada tamu jahil memakai bathrobe itu. Saya juga kan yang bakal kena batunya. Harganya sih tak seberapa, tapi malunya itu lho dan bisa-bisa di-blacklist… Ronny sendiri pernah di-charge kartu kreditnya ketika trip singkat ke Turki. Ia menjemur handuknya di balkon kamar hotelnya. Sial, handuknya terbang terbawa angin atau boleh jadi ada tangan-tangan iseng mengambil handuk itu.

Kalau pengelola hotel tak punya kebijak(sana)an ketat, dalam waktu sepekan, hotel bakal gundul ‘dipreteli’ tamu—termasuk karpet, hiasan dinding, ataupun keran di kamar mandi. Sabun, shampoo atau sikat gigi lumrah dibawa pulang. Itu atensi standar dari hotel, tapi kalau sampai keset dan pengering rambut dijarah, ini sudah kelewatan.

Penjarahan itu pun tak sebatas di kamar hotel. Ruang fitness, restoran, balairung, dan toilet juga jadi sasaran. Menurut Ronny, hotel bintang lima tiap tahun ‘wajib’ menyediakan dana ekstra puluhan ribu euro hanya untuk sprei dan perlengkapan ranjang. “Makanya, kalau lihat tarif kamar hotel kadang tak masuk akal, jangan naik pitam dulu,” saran Ronny yang saya camkan.

[caption id="attachment_210272" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: De Telegraaf"][/caption]

Kalau Anda tanya baik-baik, tak jarang resepsionis ‘rela’ memberikan bathrobe atau handuk itu cuma-cuma. Biasanya, penginap diperkenankan membeli di butik hotel bersangkutan. Saya pernah punya pengalaman menyenangkan ketika transit di bandara Jepang. Berbeda dengan hotel-hotel di Eropa, jas kamar mandi di hotel yang saya inapi adalah kimono katun, tanpa embel-embel atau bordiran logo hotel.

Teringat yayang di rumah, saya pun segera menghubungi resepsionis untuk memesan kimono tersebut. Saat check out, penerima tamu itu justru menghadiahi dua kimono terbungkus rapi. “Wah, sering-sering aja dapat complimentary seperti ini,” batin saya sumringah. Tapi, saya bukan malaikat kok. Jujur aja nih, saya juga pernah lho enggak sengaja nilep sesuatu di hotel. Maklum deh, lagi agak-agak tipsyHaha, pinter aja ngeles

Waktu itu, selepas resepsi perpisahan salah seorang kolega di sebuah hotel di Amsterdam, saya merogoh saku jaket. “Apa ini kok ada asbak mungil dan puntung rokok di kantong?” tanya saya masih setengah mabuk dan kliyengan di taksi. Pak supir hanya menyeringai. “Untung nggak dicegat sekuriti!” tambahnya masih nyengir.

Sampai di rumah, saya langsung tertidur pulas. Keesokan hari, saya amati tulisan kecil di bawah asbak itu: Honestly stolen from Hotel de l’Eu***Alamak!” muka saya serasa ditampar membaca teks itu. Honestly stolenYayang hanya tersenyum simpul dan menyarankan mengembalikan asbak tersebut lewat resepsionis. “Kalau malu ati, bungkus polos dan masukkan anonim di kotak pos. Kamu memang suka teledor keasyikan ngobrol,” ujar bune menenangkan.

Bukan tak mungkin, hotel-hotel di masa datang akan menyisipkan chip di inventaris mereka. Teknik pun makin berkembang. Solusi lain? Cash deposit atau uang jaminan sebelum kunci kamar diserahkan. Ribet ya, tapi fair kok… Sebetulnya, metode ini sudah jamak dilakukan. Kebanyakan hotel menyimpan data kartu kredit dan alamat tamu hingga batas waktu tertentu. Jangan kesal dulu merasa kehilangan privasi.

Yuk ah, belajar jujur… Eling-eling, maling sekecil apa pun ya judulnya maling…

Amsterdam, 3 September 2012

12991788471689539536
12991788471689539536

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun