Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hiii… Siuman Sewaktu Dioperasi

13 Februari 2012   21:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedengarannya seperti cerita horor, tetapi kisah ini betul-betul terjadi. Nolly Meerstadt (81) mendapat alat pacu jantung di RS Slotervaart, Amsterdam. Sebenarnya, operasi ini termasuk kegiatan rutin dengan obat bius dan hanya berlangsung sekitar satu jam. Namun, dalam operasi itu Nolly masih sadar dan ‘mengikuti’ sepenuhnya proses bedah jantungnya sendiri. Ia dapat merasakan saat tim bedah menyayat kulitnya, menyisipkan pacemaker di dadanya, dan menjahit kembali rongga di dadanya hingga operasi selesai.

[caption id="attachment_170842" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: cancer-watcher.org"][/caption]

“Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Saya berbaring sambil menangis saat itu di ruang operasi. Saya sepenuhnya sadar, tapi tidak bisa berkata-kata. Sewaktu pisau bedah mengiris kulit, saya berteriak 'Au!'. Dokter sempat bertanya 'Anda masih sadar, Ibu Nolly?' dan menambah beberapa kali dosis obat bius melalui jarum suntiknya. Namun, mereka begitu terfokus dengan proses operasi itu dan tidak menggubris rasa panik saya. Bisa dibayangkan rasa sakit yang harus saya alami,” ungkap Nolly.

Untungnya, operasi tersebut berhasil dengan baik. Nolly menyebut pengaruh positif alat pacu di jantungnya, kondisi tubuhnya yang membaik, dan sesak nafas yang bertahun-tahun dideritanya juga berkurang. “Waktu itu tim dokter seakan menggergaji tulang rusuk dan mengobrak-abrik jantung saya, walaupun bekas luka jahitan hanya sekitar empat atau lima senti. Mereka lebih berkonsentrasi menempatkan alat pacu jantung di posisi yang benar dan tidak mengindahkan pasien,” lanjutnya. Terjaga di bawah pengaruh obat bius saat operasi berlangsung disebut anesthesia awareness dan ini menjadi ‘mimpi buruk’ setiap (calon) pasien. Di sebuah blog, Virginia menceritakan pengalaman menakutkan sewaktu dokter mengoperasi rahimnya. Ia tiba-tiba terbangun dan berusaha memberi tahu dokter di sekelilingnya. “Mata saya terasa berat sekali. Sekuat tenaga saya mencoba berbicara dan akhirnya hanya dapat menggerakkan kaki dan kepala saya. Saya mendengar dokter berkata 'Ah, gejala biasa. Hanya otot yang tiba-tiba kejang!',” tulis Virginia. Femmy, seorang ibu muda dari Friesland, menuturkan pengalamannya 1999 lalu di RS De Tjongerschans, Heerenveen, Belanda. Proses persalinannya berjalan melalui operasi sesar dan pembiusan total. Namun, ia dapat merasakan dan ‘menyaksikan’ apa yang dilakukan tim dokter terhadapnya—pisau bedah yang membelah perutnya, bayi yang dikeluarkan dari kandungannya, besi penyangga rongga di kandungannya, perutnya yang ditutup dan dijahit kembali, hingga selang alat bantu pernafasan yang dicabut dari kerongkongannya. Di dalam kepustakaan medis, awareness atau siuman di bawah pengaruh narcose lebih sering terjadi pada proses bedah sesar, terutama yang dilakukan dengan pembiusan total. Dosis obat bius yang diberikan kerap kali lebih sedikit dari yang dianjurkan. Menurut ahli medis, obat bius dapat berpengaruh buruk pada bayi yang baru dilahirkan atau mempersulit proses persalinan. Terjaga pada saat operasi berlangsung sudah lama jadi bahan diskusi. Banyak yang mengkritik piranti BIS, Bispectrale Index Scale, yang kerap digunakan di kamar-kamar operasi. Alat monitor ini mengukur tingkat kesadaran seseorang di bawah pengaruh obat bius melalui aktivitas di otak. Seorang pasien di Amerika menjalani operasi bypass. Ia terbangun dan tidak ada seorang dokter pun yang menyadarinya. Pasien itu dapat mendengar semua bunyi peralatan operasi dan mengalami trauma psikologis. Kebetulan ia seorang montir dan bunyi perkakas di bengkelnya mengingatkan pada peristiwa nahas di meja operasi tersebut. Montir itu tidak dapat lagi bekerja secara optimal. Selain itu, ia mengeluhkan perasaan traumatis terkurung di tubuhnya sendiri dan tidak berdaya. Masih ada salah paham mengenai awareness dan seringkali terdengar bahwa anaesthetist terlalu sedikit menyuntikkan obat bius ke pasien. Padahal, sebelum menjalankan tugasnya, anaesthetist harus mengenal beberapa fungsi penting tubuh manusia sebelum dibius: kesadaran, rasa sakit, keadaan tidak sadar urat syaraf, aktivitas otot, dan yang paling penting adalah pernafasan dan sirkulasi darah. Faktor-faktor tersebut akan diperhatikan secara seksama atau justru ‘dimatikan’ sesaat melalui metode tertentu. Dalam keadaan tak sadar pun, seorang pasien dapat memberikan reaksi terhadap rasa nyeri. Tekanan darahnya akan naik atau sebaliknya turun drastis, berkeringat berlebihan, dan dalam keadaan amat kritis detak jantung dapat berhenti. Tubuh manusia otomatis akan memberikan sinyal rasa sakit. Dalam pembiusan total, pasien juga akan mendapatkan obat penawar rasa sakit dan biasanya analgesic ini adalah produk morfin.  Dokter hanya dapat melakukan operasi apabila semua otot pasien dalam keadaan lemas. Tidak mungkin mengembalikan semua organ di dalam perut ke tempatnya semula saat otot-otot pasien dalam keadaan tegang. Otot-otot akan dilemaskan dengan menggunakan muscle relaxant. Bahan-bahan ini hanya bekerja terbatas. Pasien juga mendapat alat bantu pernafasan, karena otot yang lemas tidak memungkinkan pasien untuk bernafas secara normal. Melalui alat bantu pernafasan, gas-gas tertentu juga dimasukkan ke tubuh pasien seperti oksigen dan nitrous oxide atau laughing gas. Gas tawa ini akan menekan kesadaran pasien. Monitor membantu mengontrol semua sistem vital tubuh pasien dan diawasi terus oleh anaesthetist. Spesialis ini memperhatikan temperatur tubuh pasien, komposisi gas di alat bantu pernafasan, tekanan darah, kondisi lemas atau tegangnya otot, frekuensi detak jantung, dan aktivitas otak. Menurut anaesthetist Prof. Dr. B. Smalhout, komplikasi bisa saja terjadi. “Seorang pasien tiba-tiba terjaga, merasa nyeri, dan dapat mendengar sewaktu dioperasi. Pelemas otot masih bekerja optimal, sedangkan obat penawar rasa sakit sudah tidak berfungsi. Untuk menghindari hal ini, tim anestesis secara kontinu mengobservasi monitor dan dapat mengambil tindakan apabila pasien tiba-tiba sadar terlalu dini. Pada prinsipnya, awareness dapat dihindari. Kalau masih saja terjadi, boleh dibilang kelalaian medis. Tapi jangan lupa, tubuh manusia itu kompleks. Masih banyak kisah mencengangkan dari meja bedah,” tegas Smalhout.

Amsterdam, 14 Februari 2012

12991788471689539536
12991788471689539536

Sumber: Harian De Telegraaf “Onder narcose en toch alles voelen!” dan “Medische onzorgvuldigheid” (22-03-2008)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun