Adzan adalah panggilan sakral yang menandai waktu shalat bagi umat Islam. Seiring perkembangan teknologi, penyiaran adzan melalui media elektronik seperti televisi sudah menjadi kebiasaan, tetapi juga menimbulkan berbagai diskusi terkait kedudukannya dalam syariat Islam.Â
Artikel ini akan mengkaji hukum adzan elektronik di TV dari dua perspektif: sebagai adzan elektronik semata dan sebagai syiar Islam yang harus dipertahankan, serta menyertakan berbagai respon dari masyarakat Muslim di Indonesia.
Latar Belakang Permasalahan
Pada tanggal 3-6 September 2024, Indonesia menyambut kunjungan Paus Fransiskus, di mana panitia kunjungan yang dipimpin oleh Ignasius Jonan mengajukan permohonan kepada Kementerian Agama untuk mendukung penyiaran misa akbar yang dipimpin oleh Paus. Menindaklanjuti permohonan ini, Kementerian Agama mengirimkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menyiarkan misa tersebut secara langsung tanpa jeda, dan meminta agar adzan maghrib pada tanggal 5 September 2024 ditampilkan dalam bentuk teks berjalan (running text) agar umat Katolik dapat mengikuti misa dengan khusyuk.
Perspektif Pertama: Adzan Elektronik sebagai Adzan Semata
Adzan yang disiarkan melalui televisi adalah adzan elektronik, sebuah rekaman yang diputar secara rutin di waktu-waktu shalat. Menurut pandangan sebagian ulama, seperti yang diwakili oleh MUI dan PBNU, adzan elektronik tidak memiliki kedudukan yang sama dengan adzan langsung di masjid, yang hukumnya fardhu kifayah. Dalam hal ini, adzan elektronik hanya berfungsi sebagai pengingat waktu shalat dan hukumnya tidak wajib. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran syar'i jika adzan ini tidak disiarkan secara penuh, sebagaimana terjadi dalam situasi misa akbar Paus Fransiskus.
Perspektif Kedua: Adzan Elektronik sebagai Syiar Islam
Meskipun tidak wajib, adzan yang disiarkan di televisi juga dianggap sebagai syiar Islam, upaya untuk menampakkan ajaran dan kehadiran Islam di ruang publik. Dalam perspektif ini, menghilangkan adzan dari siaran televisi dapat dilihat sebagai tindakan yang menghapuskan syiar Islam. Pandangan ini dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Prof. Eggi Sudjana dan pengamat politik Rizal Fadhilah, yang mengecam keras kebijakan menampilkan adzan dalam bentuk teks berjalan, karena dianggap sebagai pemberangusan syiar Islam.
Respon Masyarakat Muslim di Indonesia
Respon terhadap keputusan menyiarkan adzan maghrib dalam bentuk teks berjalan selama misa Paus Fransiskus terbagi menjadi dua kelompok besar:
Kelompok Pertama: Beberapa tokoh dan organisasi Islam, termasuk MUI dan PBNU, menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa adzan di televisi hanyalah adzan elektronik, bukan adzan sebenarnya yang dikumandangkan di masjid. Oleh karena itu, mengubah format penyiarannya demi menghormati misa Paus Fransiskus bukanlah pelanggaran syar'i.