Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konsep Hukuman Dalam Menerapkan Disiplin di Sekolah

24 Januari 2024   01:59 Diperbarui: 24 Januari 2024   02:04 2920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sampai saat ini masih ada yang menerapkan hukuman sebagai jalan alternatif untuk mendisiplinkan siswa. Seperti yang sering kita lihat jika siswa terlambat mengikuti upacara atau sekedar tidak membawa topi mereka akan dihukum menghormat kepada tiang bendera selama 15 menit misalnya. Saat kita mendapatkan hukuman apa yang paling kita ingat? hukumannya? kesalahannya? pesan dari hukumannya? atau yang lain?

Kita mengerti bahwa ketika guru memberikan hukuman kepada siswa bertujuan untuk mematuhi peraturan sekolah. Tetapi yang menjadi pertanyaan pesan apa yang di dapat murid setelah menjalani hukumannya? pada materi sebelumnya bahwa pemberian hadiah tidak akan memunculkan kesadaran diri murid. Lalu bagaimana dengan cara guru yang memberikan hukuman? apakah cara tersebut akan menumbuhkan diri murid lebih disiplin? 

Jika kita evaluasi hukuman seringkali terdapat kata=kata yang menjatuhkan atau bahasa tubuh yang intimidatif yang menunjuk-nunjuk atau intonasi suara yang tinggi. Semua perlakuan ini akan membentuk konsep negatif terhadap murid. Ia akan tumbuh menjadi murid yang tidak percaya diri apalagi dihukum di depan teman-temannya. Ini merupakan bukan cara positif untuk membentuk disiplin murid secara jangka panjang. 

Dalam menajalankan proses disiplin guru dituntut untuk menciptakan kondisi yang positif yaitu keadaan yang tanpa paksaan dan kekerasan. Termasuk bahasa yang intimidatif, intonasi bahasa yang tinggi, atau mimik muka yang menyeramkan. Jika kondisi positif tercipta maka pesan akan tersampaikan dengan baik.

Saat kita menghadapi murid yang melanggar aturan tentunya kita berharap dia akan mengerti dan sadar akan kesalahan dan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu perhatikanlah bahasa tubuh dan intonasi suara. Terlebih pada murid pada jenjang pendidikan pada tingkat PAUD. Yang lebih mudah menangkap pesan dari bahasa tubuh dan intonasi yang kita keluarkan. Sebagai contoh hukuman yang sering ditunjukkan adalah menghukum murid karena tidak memakai topi saat upacara, guru mengatakan, 

"Kenapa kamu tidak memakai topi nanti kan kepalamu panas terkena sinar matahari. Sebagai hukumannya kamu berdiri di bawah tiang bendera selama 30 menit" ketika mengatakan seperti itu mungkin guru sambil matanya melotot dan menunjuk-nunjuk tiang bendera.

Apakah dengan hukuman seperti itu siswa akan menemukan pesan bahwa  tidak memakai topi agar tidak kepanasan? jawabannya jelas tidak. Kondisi yang diterima justru adalah kondisi tegang, menakutkan dan dia tahu bahwa dia bersalah. Dengan cara penyampaian hukuman seperti itu kesan yang siswa terima bukanlah, "Aku mengerti kesalahanku dan harus memperbaiki" melainkan justru lebih kepada "Aku salah dan ini hukuman buat aku"

Pada praktik pendisiplinan menggunakan bentuk hukuman kita menghadirkan situasi paksaan atau tampilan kekerasan kepada murid. Seharusnya kita ingat lagi bahwa adalah hal normal untuk manusia berbuat salah. Sehingga kita bisa menghadirkan ruang empati bagi mereka. Dengan demikian mereka lebih terbuka untuk mengevaluasi kesalahannya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Seorang guru yang memberikan hukuman berdiri di tiang bendera tidak memunyai korelasi positif.

Diane Gossen mengatakan bahwa konsep hukuman tidak ada korelasi logis antara hukuman dan solusi yang dipilih. Untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan pada konsep hukuman murid tidak diberikan diskusi untuk pemecahan masalah karena hanya guru yang menentukan. AKhirnya murid tidak belajar makna dari tanggung jawabnya. 

Pernahkan kita menghadapi murid yang tidak mengulangi kesalahannya setelah menjalani hukuman? Apakah ini tandanya murid berhasil disiplin setalah dihukum? Lalu apakah disiplinnya berasal dari kesadaran diri? murid berubah setelah menjalani hukuman lebih kepada karena mereka menghindari rasa sakit. Hukuman yang kita lakukan membuat murid menjadi malu, merasa bersalah, dan rendah diri. Disisi lain hukuman juga dapat berdampak buruk pada kinerja kita. Ketika murid melakukan kesalahan yang sama padahal sudah berkali-kali dihukum pada kahirnya kita akan putus asa dan membiarkan saja murid melakukannya lagi. Jika situasinya seperti demikian, apakah ada dampak positif dari hukuman?

Mari kita ingat kembali bahwa tugas guru bukan hanya untuk mengajar, tetapi mendidik murid secara menyeluruh dan utuh. Dengan memberlakukan hukuman pesan apa yang akan kita sampaikan kepada mereka? apakah ada perkembangan positif yang di dapat? hukuman tidak menjamin murid menjadi disiplin. Sama seperti hadiah hukuman juga menghasilkan ketaatan jangka pendek. Lalu bagaimana cara agar murid menjadi disiplin dengan konsep jangka panjang? kita akan belajar pada artikel selanjutnya.

Referensi: 

1. Diane Gossen, It's All About We Rethinking Discipline Using Restitution, tahun 2008

2. Diane Gossen, Restitution (Rsetructuring School Discipline) , Second Revised Edition. 

3. Diane Gossen, Restitution (Restructuring School Discipline - Facilitator's Guide), Revised edition

4. Irfan Amalee, Disiplin Positif, tahun 2019

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun