Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Administratif VS Guru Inovatif

2 Februari 2023   14:48 Diperbarui: 2 Februari 2023   14:50 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMP Paramount School (Dok. pribadi)

 Bagi yang mengikuti Calon Pendidikan Guru Penggerak ada tahapan menarik yang menjadi pembuka dari proses pendidikan tersebut yaitu `proses penyadaran` apa hakikat sebenarnya sebagai seorang guru. Guru diibaratkan seorang petani yang menanam padi, diberikan kepercayaan benih padi yang kadang berkualitas namun kadang diberikan benih yang mungkin kurang bagus. Tantangan seorang petani tersebut adalah bagaimana dengan skill yang dia miliki dapat panen padi melimpah dan berhasil.

Seorang petani dalam mengelola sawah dia belajar dari pengalaman karena kebanyakan mereka bukanlah seorang insinyur pertanian atau bahkan mengambil sekolah pertanian namun meskipun demikian berbekal dari pengalaman beratahun-tahun mengelola benih, membajak sawah atau bagaimana memupuk dengan baik maka mereka dapat panen hasil padi dengan melimpah meskipun kadang juga jauh dari harapan.

Lalu apa yang terjadi jika seorang petani diberikan sebuah buku bagaimana bertani dengan baik atau bagaimana memupuk padi dengan tepat? terlepas dari pengalaman mereka bertahun-tahun dibidang pertanian?. Bisa jadi mereka bingung karena teori yang ada di buku ternyata berbeda dengan apa yang selama ini mereka lakukan. Penulis buku bisa saja dia punya segudang teori tentang pertanian namun pertanyaannya apakah dia pernah bertani?

Itulah pemikiran panjang yang harus direnungkan jika memang seorang guru diibaratkan seorang petani.  Dalam satu sisi guru yang sudah mengabdi bertahun-tahun, nyaman dengan bagaimana dia mengajar dengan berbagi karyanya bersama anak-anak dengan berbagi project harus dipusingkan dengan RPP yang menyita waktunya untuk membuat, mengumpulkan, dievaluasi dsb. Tiba-tiba guru yang kreatif tersebut berhadapan dengan aturan baru yang membuatnya tidak nyaman dan `tidak merdeka`. Dia harus mengulang-ulang prosedur sesuai di RPP dan cenderung membosankan. Ketika ikut PPG dan proses belajarnya harus di rekam dia harus tidak boleh luput dari tahapan-tahapan yang disusun tersebut, entah siapa penciptanya. Inovasinya dibenturkan dengan pemikiran orang lain yang mengharuskannya sesuai waktu yang ditentukan dan harus beralih ke tahap pengajaran selanjutnya karena harus memenuhi waktu yang diberikan.

Inilah yang kadang dikeluhkan oleh banyak guru ketika mereka diminta untuk lebih kratif dan inovatif. Saat mereka diminta membuat media pembelajaran yang menarik keluhan mereka adalah belum mengumpulan RPP, belum membuat RPP yang butuh pemikiran beberapa hari. Dibenturkan juga dengan pengajaran dan kesibukan hidup yang lain yang akhirnya guru yang kratif tersebut menjadi guru yang biasa saja, sesuai rutinitas biasa sehari-hari dan tidak berani berinovasi apalagi menggali kreatifitas.

Sangat menarik ketika mengamati sebuah story instagram @fakurly yang punya pengalaman mengajar di sebuah negara Polandia. Dalam story Instagram tersebut secara singkat dia menceritakan dalam sebuah rapat mingguan dengan seorang direktur utama yang bernama Pani Monika. Dalam rapat tersebut yang beragendakan membahas tentang semua yang berkaitan tentang proses belajar Bahasa inggris dan kebutuhan anak-anak di sekolah.

Seorang guru yang kemudian dikenal dengan nama Fitria tersebut menanyakan pada sang direktur kenapa guru di Polandia tidak dituntut membuat RPP? jawaban sang direktur tersebut cukup menarik dan masuk akal yaitu "Fitria, pertama kami tidak mempekerjakan guru yang menghabiskan waktunya lebih banyak di depan laptop mengurus hal lain dibanding dengan menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak , kedua kenapa saya harus meminta hal-hal yang guru sudah tahu apa yang harus dilakukannya di depan kelas? guru-guru yang ada di sekolah sudah bertahun-tahun mengajar jadi sudah punya cara dan metodenya masing-masing. Untuk itu juga tidak pernah ada yang namanya evaluasi guru, karena kita harus percaya satu sama lain. Di sekolah ini hubungan dan rasa percaya adalah dua hal yang penting. Ketiga, yang kami harapkan dari proses adalah kebebasan dan inovasi. Biarkan mengalir sesuai kondisi dan kebutuhan anak-anak di kelas. Guru harus punya banyak pilihan dalam proses mengajar, begitu juga murid harus punya pilihan-pilihan yang sama"

Di luncurkannya merdeka belajar oleh mas Menteri yang natabene beliau berpendidikan barat dan tentunya dipengaruhi pemikiran di atas pasti juga mempunyai semangat yang sama yaitu bagaimana guru secara bebas mengajar baik ide, kreatifitas bahkan tempat. Namun disisi lain dihadapkan lagi dengan budaya-budaya administratif sebelumnya dengan RPP berlembar-lembar maka muncullah RPP satu lembar. Meskipun demikian pendidikan kita belum menghadapi kebebasan sesungguhnya, bagaimana seorang guru dalam setiap harinya menemukan idenya sendiri, RPPnya sendiri, namun masih dalam satu muara menuju peserta didik berbudi luhur, bertalenta dan berkarya. Maka tidak heran banyak sekali lahir sekolah-sekolah dengan `gerakan` yang berbeda namun `tidak menghiraukan` administrasi yang jilmet. Mereka menganggap itu hanya formalitas maka dibentuklah tim khusus membuatnya namun guru tidak di bebani `seabrek` administrasi yang memakan waktunya bersama anak-anak dan memforsis tenaganya dari pada membuat kratifitas media pembelajaran.

Sekolah-sekolah seperti ini bahkan setiap hari memberikan kebebasan kepada anak mau belajar apa? bertempat dimana? dan dengan cara apa? dengan kebebasan seperti itu ada kemauan anak untuk semangat menciptakan apa yang mereka mau dan lebih mengena dari pada anak-anak dan guru mengikuti alur kaku RPP yang dibuat sejak awal (kalau tidak lebih merepotkan) dan mereka harus taat mengikutinya. Setiap hari seperti itu dan besoknya mereka mengulang kembali.

Guru yang terbiasa administrasi rapi mungkin adalah hal yang bagus karena di satu sisi akan membawa sekolah yang rapi dalam penilaian namun jiak guru-guru seperti ini menjadi pemimpin hampir dipastikan sangat jauh dari kreatifitas dan inovasi. Sekolah yang dia pimpin akan mandeg dan kaku. guru-guru yang di apimpin disibukkan denganberbagai administrasi yang menyita waktu yang tentunya sesuai dengan apa yang di percayai namun lupa bagaimana menciptakan pembelajaran yang menyenagkan, inovasi dan kreatifitas sekolah dsb. Hal inilah yang memerlukan sebuah solusi. jika memang administrasi wajib bagi guru, adakah solusi bagaimana mereka juga tidak boleh melupakan kreativitas dan inovasinya? harus ada yang mengalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun