Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Agamisasi" di Sekolah Negeri, Kok Dipaksa?

7 Agustus 2022   08:53 Diperbarui: 7 Agustus 2022   09:07 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada akhir Juli 2022 dunia pendidikan dikejutkan dengan berita di SMAN 1, Banguntampan, Kabupaten Bantul tentang salah satu siswa yang pengenakan jilbab di sekolah. 

Salah satu siswa diindikasi dipaksa oleh salah satu guru BK untuk mengenakan Jilbab di sekolah. Bahkan buntut dari hal tersebut  Gubernur Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono x, me nonaktifkan sementara kepala sekolah dan 3 Guru SMAN 1 sampai persoalan tersebut jelas. Demikian di tulis oleh Kompas pada 5/8/2022. Bahkan lebih jauh lagi jika hal tersebut terbukti ada pemaksaaan maka kepala sekolah akan di berhentikan secara tidak hormat. 

Setelah Gubernur mendengar berita ini, Sri Sultan terlihat kecewa. Hal tersebut terlihat dari ungkapan dan tanggapannya terkait hal ini, "Pakai Jilbab boleh tapi jangan di paksa, Malah yang dikorbankan malah anaknya di suruh pindah, ini gimana?, yang salah oknumnya. Oknumnya tindak"  

Namun bagaimana sebenarnya peraturan tentang seragam sekolah? peraturan tersebut sebenarnya telah diatur dalam kemendikbud nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah bagi peserta didik pendidikan dasar dan menengah. 

Dalam pasal 1 butir 4 berbunyi pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah. 

Untuk jenis warna dan bahan dijelaskan lebih lanjut dalam pasala 3 butir ketiga huruf c yaitu  SMA/SMALB/SMK/SMKB: kemeja putih, celana atau rok warna abu-abu. 

Dari penjelasan tersebut dapat sudah jelas bahwa jilbab sebenarnya tidak masuk dalam item sergam yang dapat di gunakan sebagai dasar untuk memaksa para peserta didik untuk mengenakannya. Namun mereka yang ingin mengenakannya juga tidak boleh dilarang sesuai dengan peraturan di atas tentang pakaian muslimah.

Praktik Agamisasi yang mulai mewabah. 

Fenomena yang muncul di Yogyakarta merupakan salah satu dari sekian gejala yang muncul bahkan mulai mewabah di sekolah negeri. Motifnya mungkin dapat di mengerti yaitu mendekatkan siswa agar lebih agamis dan berkarakter mulia, namun apakah dengan jalan dipaksa? padahal dalam agama tidak ada pemaksaan meskipun seagama.  

Jika siswa dipaksa dalam menjalankan agama maka yang timbul bukannya dari hati nurani namun hanya sebatas peraturan dan hanya bernuansa image sementara secara formalitas. 

Berbicara masalah citra atau image selain jilbab kebijakan sekolah negeri kadang kita temukan selain dalam hal berpakaian juga terdapat seperti memutar ayat suci agama tertentu setiap pagi dengan sound system juga tidak tersedianya guru agama tertentu yang minoritas sehingga anak-anak tidak ada pilihan selain bergabung dengan mata pelajaran agama lain. 

Alasan-alasan yang di berikan salah satunya adalah karena mayoritas sekolah siswanya bergama tertentu dan yang lain merupakan minoritas. Bahkan di temukan sekolah mempunyai peraturan sendiri. 

Meskipun mayoritas jika praktik agama tertentu cenderung mendominasi di sekolah negeri yang notabene netral untuk semua agama maka image atau citra yang terbangun di masyarakat akan menjadi lain yaitu sekolah agama. 

Akibatnya anak-anak non agama tertentu yang awalnya ingin sekolah di sekolah tersebut malah justru mengurungkan niatnya karena kebiasaan yang sudah terlanjur membudaya tersebut.    

Selain di Jogja pada tahun 2014 juga terjadi di Bali, tentang ketakutan siswa muslim untuk mengenakan jilbab dikarenakan peraturan yang berlaku bahkan diindikasi berlaku di seluruh Bali. 

Di propinsi Riau, SMA Negeri 2 Rambah Hilir mewajibkan siswa non muslim untuk mengenakan jilbab yang menurut berita siswa tersebut  yang bernama Ferbrina Chyntia Sihombing yang beragama Kristen merasa keberatan.

Semangat keberagamaan mungkin patut kita apresiasi karena menuju hal yang positif namun patut diperhatikan bahwa implementasi keberagamaan juga harus diimbangi dengan semangat keberagaman. 

Jika beragama dengan semangat buta dan tidak memandang toleransi maka bukan oknum saja yang akan mendapatkan cap negatif namun juga agama yang dibawa juga mendapatkanya. Bukannya mendapatkan simpati sesuai semangat dakwah namun  malah mendapatkan hal negatif karena memaksa agama yang dia peluk kepada orang lain, seagama maupun tidak. intoleran yang semakin melekat di mata mereka.

Simbolisasi agama memang tidak hanya terjadi dalam bidang pendidikan namun `jualan gama` ini juga terjadi dalam bidanng lain seperti politik, ekonomi, sosial dah bidang lain yang semakin mengkotak-kotakkan golongan tertentu untuk menonjolkan kekuatannya. 

Semangat pancasila yang semakin meredup ditimbulkan oleh salah satunya semanagat `keberagamaan yang tinggi` yang tidak diimbangi oleh semangat toleransi. Akibatnya habluminallah (hubungan kepada Allah SWT) yang diperkuat namun habluminannas (hubungan sosial) yang melemah. Yang terjadi selanjutnya Agama hanya hidup dalam ranah privat tetapi tidak ramah dalam ranah sosial.

Semoga dengan dengan kejadian-kejadian seperti ini kemendikbud mempunyai sebuah kebijakan untuk memberi pendidikan kembali para pemimpin sekolah di Indonesia.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun