Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Citra Baik yang Buruk

3 Februari 2022   19:59 Diperbarui: 4 Februari 2022   02:28 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari atasan memberikan kabar secara mendadak bahwa hari itu akan ada pejabat yang akan melakukan audisensi. Semua karyawan yang tidak bertugas wajib menghadiri karena ini adalah pengawas dan berhubungan dengan penilaian perusahaan. Karyawan yang tidak bertugas saat itu mempersiapkan diri, membawa pena karena akan ada berita dan pengetahuan baru yang akan dibagi oleh sang tamu penting.

Kami sudah duduk di  ruang meeting dengan seksama. Proyektor dihidupkan, materi juga sudah terlihat namun sesuatu yang aneh terjadi, sang tamu penting tanpa sebab apapun dan tanpa mengucapkan salam mengangkat pointer ke arah layar dan salah satu dari peserta suruh memotret. Tidak hanya itu beliau juga meminta di jepret beberapa kali dengan berbagai gaya ala candid khas pejabat memberikan pengawasan dan bimbingan. Setelah ajang foto selesai materi ditutup dan kami ngobrol kesana kemari yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan materi yang justru kami butuhkan.

Mirip dengan kasus yang sama juga terjadi pada oknum petugas yang melakukan tugas PAM dan mengatur lalu lintas tiap pagi di depan kantor meminta foto ketika mereka melambai-lembaikan tangan seakan-akan mengatur lalu lintas. Tidak sampai 15 menit setelah foto diambil petugas tersebut meninggalkan kami dan diserahkan security kantor untuk pengaturan lalu lintas.

Fenomena seperti ini mungkin juga terjadi pada lingkungan anda dengan kasus yang tidak jauh berbeda. Berkembangnya teknologi informasi juga menggeser tata cara pelaporan para pengabdi masyarakat tentang bagaimana mereka melaporkan ke atasan, apakah mereka benar-benar menjalankan tugas ataukah tidak. Dengan mengirimkan foto atau video pendek mungkin dinilai cara yang paling efektif untuk mengevaluasi atau hanya sekedar memantau kinerja di lapangan namun ternyata masih ada celah bagi mereka yang bermental korup. 

Sekilas mungkin ini adalah hiburan bagi kami yang sebenarnya adalah kaum terpelajar yang disuguhkan show menarik dan menggelikan. Namun sebenarnya hal itu sangat merugikan. Seperti halnya kasus pertama, kewajiban yang tidak dijalankan oleh pejabat pengawas merugikan bagi kami karena seharusnya mendapatkan bimbingan namun justru menyaksikan sandiwara drama hanya demi kepentingan pribadinya.  

Fenomena ini juga disebut dengan pencitraan   yaitu sebuah gambar atau video yang sengaja di buat untuk menarik perhatian orang lain dengan tujuan mendapatkan  perhatian atau simpati publik.

Kata "Publik" disini bisa saja di ganti dengan atasan atau orang yang sengaja dituju agar mendapatkan apa yang dia inginkan. Untuk yang membuat citra akan sangat diuntungkan karena lewat gambar atau video yang menggambarkan citra baik dirinya maka akan mendapatkan hal positif seperti kenaikan gaji, kenaikan pangkat, citra terhormat di antara teman sejawat terlebih kepada atasan yang akan memberikannya pejabat atau karyawan tauladan.

Di masa orde baru hal ini lebih di kenal dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang) meskipun dalam tatanan praktik agak sedikit berbeda. Hal ini dimaklumi karena pada waktu itu belum ada teknologi informasi seperti sekarang ini. Fenomena ABS lebih terkesan intens secara responsif yang dilakukan oleh bawahan ke atasan agar semua yang dilakukan oleh atasan adalah benar dan seakan tidak ada nilai kontrol. Hal itu dapat dicontohkan seperti jika atasan mempunyai ide atau memerintahkan sesuatu maka ide tersebut tanpa dikritisi, langsung disetujui. Tujuannya jelas, agar atasan senang dan jika senang maka akan mendapatkan fasilitas lebih dari yang lain. 

Meskipun sekarang lebih kepada fenomena pencitraan namun fenomena ABS bukan berarti tidak ada. Bahkan justru bermetamorfosis melalui media lain meskipun tidak secara intens. Media itu bisa melalui alat komunikasi seperti whatsapp, dan media sosial yang dimiliki olah atasan. Dengan pola yang sama apapun yang ditulis oleh atasan maupun gambar yang di upload  maka seakan menjadi kewajiban otomatis untuk memberikan komentar positif atau menyanjung setinggi langit meskipun dalam hati tidak menyukainya.

Pencitraan dan ABS yang ditujukan ke atasan akan membawa dampak ketidak profesionalitas dalam bekerja, tidak ikhlas dan tentunya membodohi objek yang dijadikan model. Inilah mental feodal yang harus diberantas karena jika kualitas pejabat publik seperti di atas terus dipelihara maka tidak hanya masyarakat yang di rugikan namun "citra baik" yang mereka bangun ke atasan justru membawa citra buruk generasi bangsa.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun