Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita diuji dengan beberapa kasus yang mencoreng. Fenomena ini terjadi baik dalam pendidikan formal maupun dan keagamaan atau dikenal dengan sebutan pesantren.Â
Hal ini sangat mengejutkan banyak pihak, pesantren yang dinilai sebagai kawah candradimuka pendidikan moral namun justru dinodai oleh oknum perilaku pimpinannya yang mencerminkan hal yang tidak semestinya.Â
Selain itu juga di dunia universitas juga di gemparkan dengan berita serupa. Hal ini menjadi istimewa karena perilaku oknum dosen dari universitas negeri di Sumatera selatan tersebut  keduanya sudah di jadikan tersangka yang mengasumsikan bahwa peristiwa tersebut memang benar terjadi.Â
Di minggu yang sama juga terdapat berita yang membuat perhatian banyak kalangan yang datang dari salah satu pesantren di Jawa Barat, yang melakukan pelecehan seksual belasan santri yang bahkan dikabarkan telah melahirkan anak.Â
Saking besarnya berita ini juga mendapat perhatian lebih dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahkan perhatian serius dari Ibu negara Iriana Joko Widodo yang mengatakan perilaku tersebut menyakitkan hati oleh karena itu pelaku salayaknya dihukum setimpal.Â
Kasus yang terbaru awal tahun ini juga terjadi kasus serupa di pesantren  Bina Qurani di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan yang dilakukan oleh oknum guru yang sekaligus pimpinan pondok pesantren yang mengakibatkan ratusan santrinya dipulangkan dan pesantrennya di tutup.
Hal ini membuat banyak kalangan menyayangkan, bagaimana tidak, dunia pendidikan yang seharusnya membebaskan manusia dari perilaku yang buruk justru menjadi sumber perilaku tidak terpuji dari oknum guru yang tidak bermoral.Â
Reaksi publikpun tidak kalah keras dari yang berpendapat agar dihukum setimpal sesuai perilakunya haingga hukuman kebiri bahkan ada yang mengusulkan untuk dihukum mati  Gayung bersambut karena menurut berita terakhir tersangka Herry Wirawan pelaku pemerkosa 14 satnriwati di pondok pesantren miliknya dituntut oleh jaksa hukuman mati, namun masih menunggu tuntutan pengadilan.Â
Tulisan ini tidak terkonsentrasi pada bagaimana kelanjutan kasus tersebut namun lebih kepada upaya refleksi diri sebagai seorang guru yang bernaung dalam dunia pendidikan.
Kita perlu menilik kembali kata sederhana, yaitu guru, yang mana orang-orang jawa lebih mengartikannya sebagai `digugu dan ditiru" . Jika kita merenungkan kedua kata tersebut kita akan mengetahui hal itu sebagai upaya pembentukan moral para guru agar tidak melenceng  serta lurus pada komitmen moral.Â
`Digugu` berarti di percaya atau sebagai panutan dan `ditiru` berarti sebagai model atau contoh perilaku yang bisa ditiru oleh para siswa. ketika kita melihat seorang guru yang berperilku mulia tanpa beliau memberikan teori tentang akhlak, peserta didik akan secara otomatis mengikuti contoh mulia tersebut. Â
Hal ini bisa kita lihat seperti dunia pesantren tradisional bagaimana contoh akhlak seorang kyai sepuh yang sangat dihormati oleh para santri, begitu takdzimnya mereka.Â
Seorang kyai atau guru yang sangat dihormati bukan terjadi sehari semalam namun timbul dari proses bertahun-tahun. Mereka dihormati karena perilaku dan ilmunya.Â
Namun apakah hal tersebut terjadi di semua sekolah dan pesantren atau universitas? ternyata kasus yang timbul baru-baru ini menunjukkan jawabannya, tidak.
Perilkau buruk seorang oknum pimpinan pesantren, oknum dosen universitas atau oknum guru di sekolah formal telah menodai kemuliaan seorang guru bahkan hal ini telah merubah terminologi  yang awalnya `digugu` dan `ditiru` kini berubah menjadi bahan ledekan `wagu` (aneh, tidak cocok) dan `saru` (tidak senonoh) memang itu hanya sebagai ekspresi main-main namun patut menjadi bahan kritik kita sebagai seorang pendidik.Â
Kita bisa mengartikan fenomena tersebut sebagai ujian di dunia pendidikan atau lebih kepada upaya refleksi bagi para guru, dosen atau ustadz bagaimana seharusnya bersikap.Â
Apakah kita sebagai seorang guru telah mampu menggambarkan yang telah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, Ing ngarso Sung Tulada, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani ? jika belum maka sudah saatnya melihat dan belajar kembali bagaimana etika seorang guru dan akhlak sebagai seorang guru seharusnya.
Berita-berita negatif tersebut telah menurunkan kepercayaan dari masyarakat tentang dunia pendidikan karena terdapat oknum yang tidak terpuji dan merusak tatanan etika dan akhlak seorang guru kepada murid.Â
Kita sangat setuju bahwa para guru harus mendapatkan pendidikan kembali bagaimana cara beretika dan berperilaku sebenarnya sebagai seorang pendidik.Â
Ketika para guru sebelum menjadi guru, di universitas, prosentase menerima pendidikan etika ini sangat terbatas dan lebih fokus kepada keilmuan praktis yang sedang mereka geluti.Â
Pendidikan guru penggerak yang dicanangkan pemerintah seperti ini adalah salah satu upaya mendidik kembali bagaimana seharusnya sebagai seorang guru berperilaku dan mempunyai nilai, baik cara berfikir, media pembelajaran, metode, pemecahan masalah bahkan sampai ke taraf etika dan moral. Â
Selain Upaya pemerintah tersebut para guru juga harus mampu punya inisiatif mencari bahan pembelajaran kembali. Saat ini banyak sekali ajang pembelajaran bagi seorang guru baik lewat offline maupun online tinggal para guru apakah menyambutnya untuk berbenah diri dan belajar kembali? Ataukah sudah merasa cukup dengan ilmu yang dia terima di masa lalu?Â
Padahal zaman terus berubah dan harus update terhadap perubahan. Jadilah guru mulya dan menjadi tauladan bagi murid generasi yang akan datang. Sikap contoh yang baik yang ditunjukkan telah menunjukkan kedalam ilmu yang dimiliki oleh seoang guru, begitu juga sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H