Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Squid Game dan Generasi Kita

11 Januari 2022   07:00 Diperbarui: 11 Januari 2022   08:31 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa bulan belakangan publik ramai membicarakan sebuah serial film di Jagat maya, Film Squid Game. Sebuah serial Korea dari platform streaming Netflix. 

Saking ramainya dan banyak orang menonton di Netflix, perusahaan penyedia internet Korea Selatan, SK Broadband menuntut Nelflix dikarenakan traffic di jaringannya meningkat drastis.

Jika kita mengikuti dan menonton serial tersebut kita akan memahami pada dasarnya Film tersebut salah satunya adalah inspirasi permainan tradisional Korea. 

Di dalam ceritanya terdpat 6 permainan yang di mainkan, pertama, red Light, green Light patung boneka Squid game, kedua adalah dalgona atau permen gulali yang ketiga tarika tambang, keempat, permainan kelereng yang kelima pijakan kaca dan yang terakhir Squid game. Beberapa permianan tersebut sangat akrab dengan budaya kita atau setidaknya pernah di mainkan di tanah air.

Sebelum serial ini muncul, beberapa tahun belakangan ini juga Korea selatan telah `menjajah dunia` lewat beberapa band korea yang menglobal. Bahkan beberapa waktu yang lalu group asal Korea BTS, juga di berikan kesempatan berpidato di UNGA (united Nation General Assembly) Majelis umum PBB ke 76 sebagai perwakilan Korea Selatan.

Bagaimana dengan budaya kita? Jika dilihat dari sisi pendidikan sekolah Sekolah kita kurang membudayakan budaya sendiri sebagai ciri khasnya. Sebagaimana pandangan Ki hadjar Dewantara, anak harus dididik sesuai dengan kodrat alamnya selain kodrat zaman. 

Budaya-budaya Asing sebagai efek dunia yang sudah mengglobal bahkan budaya yang tidak sesuai dengan karakter bangsa kita dibiarkan begitu saja datang secara `brutal` yang mengoyak kodrat alam kita. 

Kodrat alam diartikan sebagai mendidik peserta didik sesuai dimana tempat dia lahir Kedua, inovator kita sangat sedikit yang mungkin memahami budaya sendiri meskipun diantaranya terdapat film animasi misalnya Sopo Jarwo yang berbasis budaya Jawa namun itu terlalu sedikit dan kurang tekskspor ke mancanegara. 

Dari kedua hal tersebut kita akan menarik perbandingan dengan megambil film seri `Squid Game`. Sebelumnya kita tidak tahu permainan korea namun setelah orang-orang menonton kesembilan seri Squid Game sekarang banyak orang Indonesia memainkannya bahkan  anak-anak. Terbaru film ini sudah menjadi permainan animasi. 

Bayangkan saja Jika bangsa Indonesia yang kaya akan budaya ini para generasi mudanya mempopulerkan budaya lewat film, lewat game, lewat apapun yang di gandrungi anak muda maka akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk mengenalkan ke dunia international. 

Memang benar kita sudah mengadakan berbagai pameran budaya dll, pertanyaannya apakah hal itu sesuai kodrat zaman? atau lebih mudahnya saya artikan apakah itu sesuai dengan anak muda sekarang yang lebih tertarik dengan `cara lain`? pameran budaya hanya di hadiri orang-orang terbatas dan mereka yang mempunyai waktu untuk menghadirinya. 

Namun ketika budaya tersebut di ekspor dengan cara lain seperti halnya film, semua kalangan akan menikmatinya dari anak-anak, orang tua, semua profesi bahkan pengenalan budaya ini dapat dinikmati dimanapun dan kapanpun.

Yang paling ekstrem untuk membudayakan adalah kebijakan pemerintah lokal. Ketika kita berkunjung ke Bali maka dalam pikiran kita melekat budaya yang sangat kental, kita seperti berkunjung ke dunia lain, kenapa? hampir semua rumah, perkantoran, sekolah, hotel semua bercirikan budaya lokal Bali dengan warna bangunan yang orange yang berukir, kenapa? karena memang peraturan pemerintah loakl segala bangunan harus sekian persen bercirikan Bali. 

Di Bali kita tidak akan menemui gedung pencakar langit, kecuali Hotel di Pantai Sanur, hal itu itu karena kebijakan pemerintah tentang pendirian bangunan. 

Dari budaya sekolah di Bali ketika perayaan kegamaan yang sangat sering dilakukan semua siswa adalah mamakai pakaian Bali bahkan guru-guru mereka dan itu sangat sering dilakukan, setidaknya beberapa kali dalam satu tahun. Akibatnya apa? Bali di serbu oleh turis asing dengan keunikannya, kadang kita juga tertarik befoto di rumah adat Bali. Ciri tersebut tidak dimiliki oleh daerah lain karena kebijakan pemerintah lokal tidak `bersemangatkan budaya lokal`.

Dalam hal ini kita dapat ditarik benang merah bahwa sudah saatnya setiap daerah punya konsep budaya yang diangkat dan di banggakan dengan cara yang unik selain cara konvensional yaitu pameran budaya. 

Sekolah-sekolah yang merupakan wadah dan tempat generasi muda adalah tempat memulai yang paling tepat dalam hal apapun termasuk budaya sebelum mereka melepaskan diri dari ikatan belajar dan melanglang buana ke segala profesi di kemudian hari. 

Kebijakan pemerintah dan kreatifitasnya perlu menggaet anak muda dalam eksport buadaya baik melalui game, film bahkan penampilan panggung yang mungkin akan membawa ketertarikan bangsa lain atau justru generasi kita yang belum mengenal budaya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun