Mohon tunggu...
Alimah Fauzan
Alimah Fauzan Mohon Tunggu... social worker -

just love to share inspiration for better life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memprihatinkan: Dikeluarkan Sekolah Secara Sepihak, Sampai Harus Tes Keperawanan

27 Oktober 2012   09:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:20 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sebut saja namanya Indah (18) (bukan nama sebenarnya), menjelang beberapa bulan ujian akhir nasional, ia harus menerima kenyataan dikeluarkan secara sepihak dari sekolahnya. Tepatnya pada Senin, 24 September 2012, ia dikeluarkan dari SMK Hasanudin, Eretan, Indramayu. Ia dikeluarkan secara sepihak karena pada saat ia dikeluarkan, orang tuanya tidak ikut dilibatkan termasuk diinformasikan kasus yang menimpa anaknya, surat hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Pada saat para guru dan beberapa teman menuduhnya, dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menerangkan kondisi yang sebenarnya. Ia selalu dilarang bicara oleh gurunya. Sebelum diberikan surat keputusan dikeluarkan dari sekolah tersebut, ia dan teman sekelasnya, Andi (bukan nama sebenarnya) dipukul sebanyak dua kali oleh guru dan salah seorang petugas mushola yang mengaku menyaksikan perilaku mereka di kamar mandi siswa.

Belum usai rasa malu akibat tercemar nama baiknya, Indah juga harus menerima kenyataan dari rasa sakit akibat visum yang dilakukan secara tidak wajar untuk membuktikan bahwa ia masih perawan. Visum dilakukan atas perintah petugas kepolisian resort (Polres) Indramayu saat ia dan keluarganya melaporkan perilaku kekerasan dan tuduhan dari pihak sekolah kepadanya. Demi membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih perawan, ia pun menurut saja apa yang diperintahkan oleh pihak kepolisian untuk memeriksa keperawanannya. Sayangnya, akibat visum yang sangat tidak wajar, ia harus menderita sakit di bagian organ vitalnya selama berminggu-minggu bahkan sampai sekarang.

Berniat Membantu Teman

Kali pertama menemuinya, dia masih bisa bersikap tegar dengan menyunggingkan senyum manisnya, sehingga siapa sangka bahwa sebulan lalu dia baru saja dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Juga, siapa sangka bahwa selama beberapa minggu ini dia merasakan sakit yang sangat di bagian vaginanya setelah diminta membuktikan keperawanannya dengan visum yang sangat tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut juga diungkapkan oleh salah satu bidan di desanya saat ia berobat untuk memeriksakan rasa sakit akibat visum selama berminggu-minggu. Menurut bidan tersebut, tidak seharusnya tes keperawanan dilakukan dengan cara yang sangat tidak wajar seperti yang dialaminya ketika di visum di salah satu rumah sakit di Indramayu.

Dituduh melakukan tindak asusila di kamar mandi mushola sekolah serta tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab tuduhan tersebut, membuatnya menyepakati tes keperawanan tersebut. Saat itu, bagi Indah, apapun akan ia lakukan untuk membuktikan bahwa ia masih perawan dan tidak melakukan tindak asusila yang dituduhkan padanya.

Selama ini, Indah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat toleran dan suka membantu teman, hal ini juga yang dilakukannya ketika ada salah satu teman sekelasnya (laki-laki) mendapatkan sejumlah luka di bagian tubuhnya. Siang usai solat sunnah Duha, dia pun berniat membantu temannya tersebut untuk mengobati lukanya dengan meminjam obat luka seperti Betadin dan kapas di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS).

Karena lukanya di bagian dada dan punggung, maka ia pun harus membantu temannya tersebut di ruang tertutup, yaitu saat itu ia dan temannya memilih di toilet mushola sekolah. Tanpa diduga, beberapa menit kemudian datang beberapa orang berteriak dan menuduh mereka tengah berbuat mesum. Salah seorang yang menuduh mereka di antaranya seorang petugas mushola yang juga mengaku merekam perilaku mereka. Tanpa menanyakan terlebih dahulu, Andi (teman Indah) pun ditampar, selain ditampar petugas mushola, Andi juga ditampar salah satu guru ketika sudah sampai di ruang guru. Kali ini bukan hanya Andi yang ditampar, Indah juga ikutan ditampar pipinya.

“Padahal apa yang mereka tuduhkan itu sama sekali nggak bener, jelas-jelas saya bawa betadin dan baju saya masih utuh dan rapat. Niat saya hanya ingin membantu teman yang kesakitan karena luka lebam di badannya akibat main bola,” paparnya.

Tidak Diberi Kesempatan Bicara

Sayangnya, meskipun berkali-kali membuka mulutnya untuk menjawab tuduhan, namun dia selalu dilarang oleh gurunya yang menurutnya jelas-jelas tidak faham duduk persoalannya. Karena tidak ada pilihan lain, maka Indah dan Andi pun bungkam. Sementara semua mata teman-teman dan guru-guru lain sudah berteriak dan menatapnya marah. Keduanya benar-benar tidak diberi hak berbicara untuk menjawab tuduhan yang dilemparkan padanya.

“Setiap saya ingin bicara untuk menerangkan yang sebenarnya, saya sama sekali tidak diberi kesempatan oleh guru saya. Padahal semua tuduhan itu tidak benar. Pak guru selalu bilang “Udah, kamu diem aja!,” jadi saya nggak punya kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar,” terang Indah yang sesekali matanya mulai berkaca namun masih sempat ditahannya.

Dikeluarkan Secara Sepihak

Di hari yang sama setelah dituduh melakukan perilaku asusila, keduanya tiba-tiba langsung mendapatkan Surat Keterangan Pindah Sekolah. Namun menurut Indah, ada yang tidak wajar dari surat tersebut, karena selain dibuat secara instan, surat tersebut juga hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut juga diungkapkan ibunya Indah yang mengaku tidak dipanggil oleh pihak sekolah terkait kasus yang menimpa anaknya. Meskipun ada kolom tanda tangan Orang Tua/Wali, namun kolom tersebut sengaja dikosongkan.

“Padahal seharusnya orang tua saya dipanggil terlebih dahulu agar mereka mengetahuinya. Namun ini hanya ditandatangani Kepala Sekolah. Selain itu yang membuat saya aneh, mereka itu seakan sudah menyiapkan surat pengeluaran saya di hari-hari sebelumnya,” ungkap Indah.

Hal janggal lainnya adalah ketika keluarganya datang ke sekolah untuk meminta rekaman video perbuatannya, tidak ada satu orang pun yang mengaku memiliki rekaman video tersebut. Bahkan kepala sekolah pun sampai bersumpah bahwa ia tidak mendapatkan rekaman video tersebut. Rekaman video tersebut pernah disebut-sebut seseorang yang katanya mengaku merekam perilaku mereka di kamar mandi.

“Namun anehnya, ketika kami meminta ingin melihat video tersebut, semua orang mengaku tidak melihat bahkan memilikinya. Jadi tidak jelas videonya ada atau tidak,” tuturnya.

Tes Keperawanan yang Tidak Wajar

Untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melakukan tindak asusila seperti yang dituduhkan sekolahnya, keluarga Indah pun akhirnya melaporkannya ke pihak kepolisian resort (Polres) Indramayu. Tidak disangka, dari Kepolisian malah memintanya melakukan visum dan membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seksual dan dia masih perawan.

“Kalau saya, apapun akan saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah termasuk untuk tes keperawanan. Jadi saya menurut saja ketika polisi meminta saya untuk visum di rumah sakit,” ungkapnya.

Namun, siapa sangka bahwa tes keperawanan yang dibayangkannya bersama keluarganya sangat berbeda dengan apa yang dialaminya. Oleh dua suster dan satu dokter, dia menjalani tes keperawanan yang menurutnya cukup lama, bahkan dia mengaku berteriak dan menangis karena kesakitan. Usai dilakukan visum, ia tidak bisa mendapatkan langsung hasilnya, ia bahkan tidak mendapatkan nasihat apapun dari si dokter. Selain itu, hal yang tidak terduga, rasa sakit usai visum, membuatkan tidak bisa hidup nyaman selama berminggu-minggu lamanya.

“Saya trauma baget, karena sampai sekarang juga masih merasa sakit, lalu ibu mengantar ke Puskesmas dan konsultasi ke bidan. Ternyata, kata bidan, tes keperawanan seharusnya tidak demikian. Itu tes keperawanan yang keliru,” paparnya lagi.

Sementara menurut orang tua Indah (ibunya), tes keperawanan yang dialami puterinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. “Saya pikir tes keperawanan itu sekarang sudah modern seperti melalui computer. Tapi kok malah diperiksa sampai ke masuk dalem gitu, sampai anak saya teriak-teriak mengeluh kesakitan dibiarkan saja. Kalau tahu seperti itu, mendingan gak usah divisum,” ungkapnya.

Mendapat Teror

Pasca dituduh melakukan perilaku asusila dan dikeluarkan dari sekolah, bukan hanya nama baiknya dan orang tuanya yang sudah tercemar. Kini hampir seluruh desa mengetahui kabar yang jelas merupakan aib bagi keluarganya. Bahkan kini bukan hanya keluarganya yang sering diperlakukan sejumlah tetangga dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, Indah sendiri sampai sekarang sering mendapatkan telfon dan sms-sms yang bernada kecaman, caci maki dan ancaman.

“Sms-sms tersebut ada yang secara terang-terangan ditulis pengirimnya, seperti ada sms perwakilan kelas 12A, kelas saya. Karena tidak tahan, sms-sms itu sudah saya hapus. Ada lagi yang terbaru yang belum saya hapus, tapi cuma satu sms,” ungkapnya yang kemudian menunjukkan sms itu kepada kami (Fahmina).

Masih Menunggu Perkembangan dari Kepolisian

Kini sudah beberapa minggu setelah melaporkan kasusnya ke Polres Kabupaten Indramayu, Indah dan keluarganya belum mendapatkan informasi perkembangan kasusnya. Sementara itu Yayasan Fahmina bekerjasama dengan Women Crisis Center (WCC) Balqis sudah siap melakukan pendampingan kasus Indah, namun masih menunggu perkembangan kasus yang kini sedang ditangani kepolisian. Proses pendampingan akan dilakukan setelah mendapatkan informasi perkembangan kasus Indah yang sudah dilaporkan ke Polres sebelumnya, serta dilakukan setelah pihak keluarga mengizinkan proses pendampingan dilakukan oleh LSM.

Tes Keperawanan Tidak Ada Urgensinya

Wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah. Tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidaknya. Sedangkan laki-laki tidak bisa terdeteksi keperjakaannya. Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti si perempuan tidak perawan, lalu ditolak dan tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan penyelenggara negara. Diskriminasi di bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.

Indramayu adalah salah satu daerah yang Bupatinya memberlakukan kebijakan tes keperawanan bagi siswi di Indramayu sebagai syarat masuk sekolah. Tahun 2007, wacana pemberlakua kebijakan oleh Bupati ini pernah menuai kritik dari banyak pihak. Karena tes keperawanan bagi calon siswa tidak ada urgensinya. Karena hanya melihat dimensi keperawanan dari satu perspektif saja. Padahal, keperawanan bukan hanya karena hubungan seks. Selaput dara perempuan bisa saja robek karena jatuh dari sepeda. Kebijakan ini sangat mundur dan tidak memiliki perspektif kemajuan. Seharusnya kita sudah tidak lagi mempersoalkan keperawanan yang sangat personal. Dalam hal ini, seharusnya, penyelenggara negara membuat kebijakan yang membuat remaja lebih produktif. Seperti membuat arena olahraga atau kesenian yang mendorong remaja beraktivitas.

Jika persoalannya adalah menyikapi kenakalan remaja, tes keperawanan adalah cara yang tidak akan efektif. Pendidikan reproduksi di rumah atau di sekolah akan lebih efektif untuk mengatasinya. Akan lebih efektif lagi jika negara menyelenggarakan pendidikan seks untuk remaja seputar kesehatan reproduksi (Kespro). Remaja menjadi lebih paham perilaku seperti apa yang bisa menyebabkan kehamilan, serta bisa menghindari terjadinya kehamilan tidak diinginkan.

Tes keperawanan tidak menawarkan solusi apapun, termasuk untuk orang tua dalam mengawasi perilaku anaknya. Pemahaman mengenai hukuman sosial atau pengucilan sosial jika remaja hamil juga bisa menambah pemahaman remaja untuk menjaga perilakunya.

*Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara langsung dengan korban dan orang tua korban di rumahnya pada Rabu (24 Oktober 2012). Tulisan ini berharap dapat membangun opini publik untuk tidak mendukung kebijakan sekolah yang tidak adil dalam kebijakanya dan melakukan diskrimansi gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun