“jadi inget wkt krismon 1998 dulu ... di warung dekat Seknas WALHI Tegal Parang ... hari itu tempe goreng yang biasa ditaruh di piring terbuka ..tiba-tiba hilang...dan ternyata masuk rak kaca ... jd sejajar dg lauk ikan goreng, ayam goreng, dll .... ooo rupanya harga tempe goreng naik berlipat dari biasanya sepotong Rp. 100,- ...jd Rp. 500,- .... dan sekarang terjadi lagi ... hilang krn produsen tak kuat beli kedelai..bahan baku utama tempe ...knapa lambat kali belajarnya? ...... hmmm ...”
Demikian status salah seorang friend di timeline-nya. Memang, sejak menjelang dan saat bulan Ramadhan tiba, kita sudah terbiasa dihadapkan pada kenyataan harga bahan pokok yang melambung tinggi. Entah itu beras minyak goreng, dan lain lainnya, lambat namun pasti, terus menanjak harganya.
Korban regulasi pemerintah yang salah tak hanya perajin tahu-tempe yang terancam gulung tikar. Di salah satu desa di Cirebon, bahkan parajin tahu sudah mulai berkurang. Seperti salah satu desa yang dikenal memproduksi tahu di Kemantren-Cirebon. Meski tak sehebat tahu Sumedang, namun produksi tahu di Desa Kemantren Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, ini berkembang dengan baik. Para pengusahanya terus berkiprah, agar dari produksi dan penjualan tahu mereka tetap bisa melayani konsumennya sekaligus menghidupi orang-orang yang bekerja di usaha ini.
Meski kini produksi tahu mereka telah merajai tiga wilayah Cirebon dan sekitarnya, namun pelahan dan pasti, para perajin itu mulai berkurang. Tidak heran ketika dulu pertama kali saya menengok desa tersebut, rumah-rumah para perajin tidak begitu banyak seperti yang dibicarakan masyarakat. Berdasarkan keterangan sejumlah warga, para pengusaha yang terbilang sukses, kini tidak lebih dari sepuluh pengusaha. Selebihnya, puluhan pengusaha kecil yang memproduksi tahu cukup terbatas. Dan sekali lagi, kini sudah banyak yang gulung tikar
Dulu, ketika melambungnya harga minyak goreng menjadi satu kendala tersendiri dalam produksi tahu. Seperti dirasakan Adi Marwandi (43), salah satu penerus usaha tahu milik almarhum Hj Syariah dan H Tari, produksi tahu di Kemantren telah berjalan hampir 30 tahun dari 1980. Ia sudah lama membatasi pekerjanya. Dulu awalnya dikarenakan alih fungsi dari minyak tanah ke gas, lalu kacang kedelai juga harganya melambung.
“Karena harga bahan pokok seperti minyak goreng juga semakin mahal. Termasuk ketika ada isu formalin (bahan pengawet), usaha kami benar-benar merosot. Karena kami di sini tidak menggunakan bahan pengawet. Tahu kami hanya terbatas sampai tiga hari,” jelas dia.
Perintis usaha tahu ini adalah almarhum Hj Syariah dan H Tari, yang tak lain adalah mertuanya sendiri.
“Dulu mertua saya, H Tari, sebelum menikah merintis usaha pembuatan tahu ini di Karawang dan masih tahun 1970-an. Kemudian tahun 1980, beliau pulang dan mencoba merintis di Kemantren sampai sekarang,” papar dia.
Bagaimana sampai berkembang pabrik tahu lainnya sampai sekarang, dia mengatakan, hal itu merupakan proses biasa seperti usaha dengan lingkup dan modal kecil lainnya. Awalnya dari para pekerja yang telah menguasai teknik pembuatan tahu dan tata niaganya. Dengan modal yang dimiliki, dari bermacam-macam sumber, yang bersangkutan memisahkan diri, lalu memproduksi sendiri. Begitu proses selanjutnya berlangsung, hingga sebuah usaha pembuatan tahu dapat beranak pinak. Meski diakuinya, sekarang sudah mulai berkurang.
“Almarhum H Tari dulu memproduksi tahu, sekaligus menjual ke pasar, bahkan terima pesanan juga. Tapi kalau sekarang, kami hanya memproduksi untuk usaha tahu petis kami saja. Kami memiliki beberapa stand. Dan akan lebih banyak lagi, sekitar 8 stand jika ada acara-acara besar di tiga wilayah Cirebon. Tapi kalau hari-hari biasa, kami hanya 3-4 stand setiap harinya,” ungkapnya.
Dalam setiap acara-acara besar, pekerja mencapai 20-an lebih. Sedangkan pekerja tetapnya kini hanya tinggal 10 orang. Para pekerja tersebut semuanya laki-laki yang bertanggungjawab sebagai tenaga produksi dan pemasaran. Karena meskipun ada pekerja perempuan, mereka hanya bertugas sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Para pekerja lelaki tersebut, digaji senilai 30.000 rupiah per hari. Sedangkan para PRT itu dibayar per bulan.
“Pekerja kami juga bukan dari orang Kemantren. Tapi dari Wanasaba dan Babakan. Karena sebagian besar warga di sini juga memproduksi tahu dan dijual ke pasar. Jadi lebih banyak dari luar Kemantren,” ujarnya.
Kini, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka bukan hanya harus mengurangi produksi. Namun juga mengurangi pekerjanya. Yang berarti di lebaran tahun ini bertambah lagi pengangguran. Masyarakat Indonesia yang nota bene banyak mengonsumsi tempe-tahu pun gigit jari. Dua bahan makanan itu lenyap di pasaran. Padahal, hanya tempe-tahu, satu-satunya protein murah meriah pengganti daging. Daging sapi sudah barang tentu jauh dari jangkauan masyarakat bawah. Daging ayam, kini harganya juga meroket. Belum lama ini, harga telur pun sudah tak masuk akal. Lalu, harus mengonsumsi apa lagi masyarakat kita? Sungguh pemerintah sangat mengecewakan. Untuk melindungi ekonomi dan gizi masyarakat saja sudah tak mampu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H