Malam itu saya menemaninya tidur. Tepatnya di salah satu ruangan di kantor lembaga tempatku bekerja. Sebut saja namanya Ani. Hampir tiga hari dia mondar-mandir di ruangan kantor kami. Dua hari sebelumnya, saya sudah faham siapa dan kenapa dia ada di kantor kami. Kenapa saya baru memahaminya, karena saat itu saya harus sering ke luar untuk peliputan berita. Untuk pendampingan korban sendiri, ada tim khusus yang menanganinya. Karena harus menyelesaikan sejumlah tugas, sehingga saya tidak terlalu memperhatikan keberadaanya di salah satu ruangan istirahat. Saya hanya diminta merekam semua pembicaraan (tepatnya Curhat), antara dia dan beberapa kawan di bagian pendampingan persoalan perempuan.
Namun melihat suasana haru dan begitu pribadi, saya batal melakukannya. Ya, saat itu saya tidak berkesempatan menemani mereka mengobrol karena ada keperluan lain. Alhasil, saya hanya mengetahui persoalan yang sebenarnya dari salah seorang kawan yang mendampingi Ani. dari ceritanya, aku kian faham dan mulai mengingat sosok Ani. Dia adalah salah satu klien kami sekitar setengah tahun silam. Dia salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ani adalah ibu dari satu anak. usianya masih sekitar 27 saat itu. tapi kini usianya sudah jalan 28 tahun. Dia terlalu sering diperlakukan kasar oleh suaminya. bahkan suaminya tak segan-segan mengancam untuk membunuhnya. Dulu, seperti korban KDRT lainnya, Ani pun sempat merasa sulit untuk menceraikan suaminya, bahkan melaporkan suaminya ke pihak berwajib. Meski akhirnya, setelah berusaha melakukan beberapa tahap penyelesaian, dia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Ya, kini dia masih janda beranak satu. Dia bekerja sebagai sales sebuah produk.
Kawan, tapi Ani yang saya temui saat itu bukan lagi Ani yang dulu. Ani yang terlihat tegar dan masih mau mengobrol serta berguyon dengan kami di kantor. dia yang sekarang terlihat rapuh, dia juga terlihat ketakutan melihat beberapa orang, termasuk lelaki. Dia bahkan telihat menghindar dan menarik tubuhnya, ketika sejumlah orang menyapanya. ketika berbicara, suaranya sungguh sangat pelan dan waspada. tatapannya kosong. penampilan, pun terkesan tak dipedulikannya lagi. Apa yang kurasa benar. Setelah mengetahui persoalan yang sebenarnya, ternyata dia baru tertimpa musibah yang sungguh sangat berat. Satu minggu sebelumnya dia menjadi korban pemerkosaan tiga lelaki. Mendengarnya, hatiku tak lagi setenang sebelumnya. Spontan aku tak henti berdebar dan tergetar.
Dan malam itu, karena malas pulang ke rumah, saya pun memutuskan untuk tidur di kantor. Saat itulah, di mana saya dan Ani bisa lebih dekat dan berbagi kisah. Kebetulan salah seorang temanku yang seharusnya menemani dia, ada tugas lain sehingga hanya aku sendiri di kantor bersama security penjaga kantor. Selama 24 jam, saya menyaksikan sendiri bagaimana Ani tak mampu mengendalikan rasanya. Dia diburu gundah berlebih. Aku bisa merasakan, bagaimana tersiksanya dia. Selain bahwa aku sesama manusia, aku juga sama-sama seorang perempuan. Aku membayangkan rasaku jika aku sebagai dia. Dia yang malam itu tak hentinya bergerak mondar-mandir ke sana kemari. Entah apa yang tengah berkecamuk di pikiranya selain bahwa seminggu lalu dia telah diperkosa. Malam itu aku menghantarkannya tidur dengan alunan musik dari sebuah laptop. Namun, ternyata alunan musik tidak mampu menenangkannya.
Lalu saya mencoba mengajaknya mengobrol, namun tiba-tiba dia memintaku mengoleskan balsem di punggungnya. Saya pun menurut. Di sana, saya melihat sejumlah tanda-tanda mirip cakaran dari tangan-tangan lain selain tangannya. Hampir hilang memang. Mungkin karena sudah hampir dua minggu. Sesekali, usai berjamaah, dia menangis di pelukanku. Sepertinya dia masih belum mampu mencurahkan isi hatinya. dan aku mengerti, maka aku pun tak ingin menuntutnya bercerita. Malam itu, dia hanya mondar-mandir. meminta dipijit. Dioleskan balsem. Menangis dan menangis. Dia masih terlihat rapuh. Tentu saja. Aku bisa merasakannya. tapi sejujurnya, aku melihat ada ketegaran di sana. Dia terlihat lebih kuat. Terbukti ketika dia mendatangi kantor kami dan mencurahkan isi hatinya. Tepatnya setelah satu minggu dia mengalami depresi berat. Dia masih ingin bangkit, itulah yang aku tangkap di sana. Dia membutuhkan teman. Dia membutuhkan perlindungan. Mungkin tulisan ini tidak mampu meng-cover semuanya secara detail. Tapi itulah yang aku rasakan malam itu. Paginya, ia dijemput kedua orang tuanya, karena sebelumnya dia tidak ingin pulang ke rumah orang tuanya. Ketika kami akan meneruskan pendampingan proses hukumnya, kami membutuhkan perkembangan psikologinya terlebih dahulu. Karena dalam beberapa hal dia masih belum mampu memberi keterangan secara baik.
Perempuan dalam Situasi Apapun Tetap Rentan
Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang lemah membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya (Suharman dalam Prasetyo, 1997). Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan.
Seperti salah satu analisa tentang dampak sosial psikologi perkosaan yang pernah saya baca di Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002, 9-23. Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki-laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat (Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001). Kusumah (Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia.
Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban.
Situasi Masyarakat Memperburuk Trauma
Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut (Abrar, 1998). Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998).
Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995). Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan.
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan.
Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).
Alternatif Penyembuhan
Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.
PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Masing-masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H