Seperti pemikir sebelumnya termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi (2001), asal muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah menurut Locke merujuk pada keadaan di mana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa takut dan penuh kesetaraan.
Locke berpendapat bahwa kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki kewenangan yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals). Karena bebas dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Manusia bersifat rasional karena dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke percaya akal akan selalu membuat manusia berperilaku rasioanal dan tidak merugikan manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).
Tidak boleh sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang lain atau dikenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut bagi seorang penguasa dan pemimpin. Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang diajarkan di antaranya bahwa manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif. Hukum ini menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak Hak Asasi Manusia (HAM) dunia.
Dalam bukunya “Etika Politik”, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.
Pemikiran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama. Hobbes dan Locke, keduanya membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.
Konsekuensi Pemikiran Hobbes dan Locke terhadap Isu Toleransi dan Pluralism
Konsekuensi pemikiran Hobbes dan Locke tentang individu berpengaruh pada bagaimana mereka memandang isu toleransi dan pluralism. Berdasarkan penjabaran di atas, asumsi Hobbes dan Locke tentang manusia sangat berbeda. Perbedaan pandangan tersebut juga mempengaruhi cara pandang mereka tentang toleransi agama dan isu pluralism.
Locke misalnya, karena berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah pada dasarnya rasional dan baik, maka ada universal values. Manusia pada dasarnya baik, ketika manusia tidak toleran, itu karena manusia belum tercerahkan saja. Manusia di mana-mana di dunia ini pada dasarnya baik. Sehingga ketika di dunia ini terjadi intoleransi dan lain sebagainya, hal tersebut disebabkan karena mereka belum tercerahkan (enlightenment).
Sehingga kembali lagi pada based assumption keduanya tentang manusia. Seperti Locke, pada dasarnya manusia adalah baik, ada universal value (nilai-nilai universal) yang kita bisa secara serempak kita percaya dan kita sepakati, karena kita pada dasarnya manusia itu baik dan rasional seperti perdamaian (peace) dan keadilan (justice). Jadi peace dan justice misalnya sangat kontekstual. Peace dan justice di suatu tempat atau negara berbeda, seperti di Israel dan Palestina. Meskipun sama-sama peace dan justice (dua ‘universal values’), namun dalam kondisi dan konteks yang berbeda akan menimbulkan konflik, satu dan yang lain tidak bisa dipertukarkan.