Hari penantian datang juga. Waktu subuh setelah sholat, Prihatin merasa akan segera melahirkan. Perutnya sudah mulai kontraksi. Tulus yang menyadari istrinya akan segera melahirkan buru-buru memanggil Bu Bidan yang biasa tempat Prihatin memeriksakan bayi yang dikandungnya.
Kamar berukuran kecil itu menjadi saksi perjuangan Prihatin mempertaruhkan hidup untuk melahirkan anaknya. Anak yang telah sekian lama didambakan bersama suami. Muka Prihatin terlihat pucat pasi tiada daya. Namun satu keinginan kuat tetap ada agar anaknya terlahir dengan selamat.
Perjuangan Prihatin tidaklah sia-sia. Bayi laki-laki telah berada di pangkuan Tulus.
"Anak kita laki-laki Tin. Dia mirip dengan kamu," sapa gembira Tulus pada istrinya sambil mendekatkan bayinya ke samping Prihatin yang terbaring lunglai.
Rupaya hari itu hari terakhir Prihatin menjalani keprihatinan hidup. Tiada lagi sisa daya dalam diri Prihatin. Kondisi Prihatin kian lemah, Bidan pun tidak bisa menolong lagi.
Di penghujung hidupnya Prihatin sempat mendengar erangan tangis anaknya. Derai air matanya menetes, bahagia melihat anak yang didamba telah lahir. Tulus berusaha menguatkan Prihatin, namun sia-sia.
Sambil berderai air mata, lirih Prihatin berkata pada Suami yang sangat dicinta, "Mas, Aku titip anak kita mas. Jaga dan bimbing baik-baik anak kita. Terserah Mas memberi dia nama siapa, hanya aku minta jangan namakan Gayus".
Prihatin meninggal, meninggalkan suami yang selama ini saling berbagi derita. Meninggalkan suami dan anak yang tak sempat dia menyusui.
Pikiran Tulus, sudah tidak karuan. Dia telah kehilangan Prihatin istrinya. Istri yang belum bisa dia bahagiakan.
Ada lagi satu yang membuat Tulus bersedih dan makin kehilangan Prihatin. Dari yang disampaikan Bu Bidan, Prihatin yang tanpa sepengetahuan Tulus, sejak awal kehamilan sudah diperingatkan Bu Bidan kalau kehamilannya terlalu beresiko. Beresiko apabila Prihatin mempertahankan kehamilan. Beresiko untuk keselamatan jiwa. Fisik Prihatin terlalu lemah. Namun, Prihatin kukuh mempertahankan kehamilan dan ingin mempersembahkan anak yang lama dinanti-nanti untuk suaminya, meski harus ditukar nyawa.
Bagi Tulus, kelahiran anak, kematian Prihatin, dan wasiat almarhumah Prihatin kian menyisakan suka, duka, dan tanya. Akankah dia kuasa melanjutkan hidup tanpa Prihatin. Akankah dia dia sanggup menjaga dan membesarkan anaknya sendiri. Akankah keprihatinan hidup yang selama ini jadi makan sehari-hari ikut terkubur bersama jasad istrinya yang telah mati.