Mohon tunggu...
Ali Hota Hei
Ali Hota Hei Mohon Tunggu... -

Ali Hota Hei dari nama asli Ali Kusno. Pria kelahiran Sragen, 6 Oktober 1983 Saat ini aktif bekerja di Lembaga Bimbingan Belajar di Samarinda, Kalimantan Timur Aktif dalam kegiatan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jangan Namakan Gayus

26 Januari 2011   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:11 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sambil menghela nafas, Tulus mencoba berpikir mencari nama yang cocok untuk anaknya. Memang sampai usia kehamilan istrinya yang sekarang, Tulus belum sedikit pun sempat memikirkan nama anaknya. Pikirannya sudah luber terjejali dengan beban hidup.

"Ndak tau Tin, Aku juga bingung anak kita mau dinamakan siapa".

Ingatan Tulus terbang tertuju pada perkataan almarhum Bapak. Pernah dikatakan padanya mengapa dia dinamakan Tulus Darminto. Saat itu Almarhum melihat banyak orang yang mulai membunuh arti ketulusan di hati. Ketulusan saling berbagi, ketulusan saling memberi. Almarhum berharap Tulus menjadi orang yang tanpa pamrih dalam berbagi dengan orang lain.

Sempat juga terpikir nama gabungan dengan nama istrinya. Tulus Prihatin. Ya, Tulus Prihatin. Nama yang diinginkan almarhum Bapaknya untuk cucu laki-lakinya kelak.

Namun betapa kasihan, apabila anaknya bernasib sama dengan yang dialami dia dan Prihatin. Dia selama ini selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja di kampung. Namun, orang justru terkesan memanfaatkan. Apalagi ditambah kata Prihatin, nama istrinya.

Sudah cukup istrinya yang selalu prihatin dalam hidup. Hidup serba kekurangan. Dia sebagai suami merasa jarang melihat istrinya tersenyum bahagia. Wajah Prihatin penuh guratan penderitaan hidup.

Ada juga pikiran untuk memberi nama anaknya seperti artis-artis sinetron yang saat ini sedang naik daun. Namun, apa pantas anak orang miskin diberi nama artis. Betapa sedap untuk dijadikan bahan gunjingan para tetangga.

Malam kian larut, Tulus dan Prihatin terus membincang nama yang pas untuk anaknya. Bahkan pembicaraan itu terus berlanjut sampai mereka di tempat tidur. Di sela kantuk yang tak tertahan, Prihatin lirih berkata, "Apapun nama anak kita mas, aku pengen anak kita jadi anak yang baik. Tidak menjadi mudharat buat orang banyak".

Tidak lama kemudian Prihatin tertidur. Tulus masih saja kepikiran dengan nama anaknya. Matanya tajam menatap genting-genting rumah yang sebagian sudah pecah. Dan reng-reng bambu yang sudah mulai rapuh. Serapuh hatinya yang sudah bosan dengan kegetiran hidup.

"Aku ingin anakku kelak menjadi orang kaya, jadi terpandang. Sekarang hartalah yang membuat orang jadi hormat dengan kita. Aku ingin anakku kaya," benaknya terus bicara, terus menari, hingga tertidur juga.

Pagi itu, seperti pagi-pagi yang lalu, Prihatin membungkusi tempe. Untuk menambah pemasukan, Prihatin membuat tempe yang dijual ke tentangga-tetangga. Dari lembar yang tumpukan kertas koran yang dipakai untuk membungkus tempe, ada satu judul berita yang menahan Prihatin untuk membaca. Meski sama seperti suaminya yang lulusan SD, Prihatin kalau sekedar membaca dan menulis juga bisa. Dalam Koran itu tertulis judul berita Gayus ingin menjadi Staf Ahli Kapolri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun