Mohon tunggu...
Muhammad Ali Husein
Muhammad Ali Husein Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fisip Unsoed

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Serentak, Ide Segar Percaturan Politik Indonesia

23 Januari 2014   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Muhammad Ali Husein

Kementerian Aksi & Propaganda BEM Unsoed 2013

Ide segar yang dibawa oleh Effendi Ghazali, Ph.D. (Pakar Komunikasi Politik) dan Prof. Yusril Ihza Mahendra (Pakar HTN) kini menjadi formula baru dalam nestapa stagnasi pemilu Indonesia.Gagasan segar ini adalah pemilu serentak bagi pemilu Legislatif dan pemilihan Presiden. Tren ini dibilang baru bagi rakyat Indonesia setelah 10 pemilu yang pernah diadakan di Republik ini, tak ada satupun pemilu yang dilaksanakan serentak untuk pemilihan Legislatif dan Presiden. Dari akumulasi pemilu yang sudah-sudah, publik mengalami kegamangan politik, jenuh, cemas, dan resah dengan stagnasi pemilu Indonesia.

Yang menjadi determinasi publik dalam keresahan politiknya adalah Capres yang ditawarkan adalah wajah-wajah lama, wajah-wajah yang sudah pernah maju di bursa Capres pemilu 2004 dan 2009. Tak hanya itu, partai besarnya juga berputar di lingkaran itu-itu saja ; PDIP, Golkar, Demokrat. Sedangkan sisanya partai-partai tengah ; Gerindra, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, PKS, PAN, dan partai kecil ; PBB, PKPI. Dua pemilu terakhir menjadi potret nyata bagaimana parpol teratas hanya berputar di lingkaran tiga parpol besar, hanya saja posisinya yang saling bertukar. Capres yang ditawarkan pun itu-itu saja ; SBY, ARB, Megawati, Wiranto, Prabowo. Seolah menjadi tontonan kolosal publik bahwa Republik ini miskin pemimpin. Tak ada wajah baru yang ditawarkan di pemilu hingga dinamika yang dihasilkan kurang menggairahkan.

Anomali ini bukan tanpa sebab, ternyata stagnasi Capres yang ditawarkan bergerak linear dengan sistem pemilu yang sudah-sudah. Lihat saja mekanisme Presidential Threshold dalam UU Pilpres tahun 2008, Presidential Threshold yang merupakan ambang batas pengajuan Capres seringkali menghambat Kader parpol untuk maju dalam kontestasi bursa Capres RI di Pilpres. Kader parpol yang berniat maju dalam kontestasi bursa Capres RI harus memiliki keterwakilan parpolnya di Parlemen minimal 20%. Ini yang membuat banyak Kader parpol yang berniat maju, namun terganjal dengan mekanisme Presidential Threshold dalam UU Pilpres. Mungkin mekanisme ini tak masalah dengan parpol-parpol besar, karena banyak kursi yang mudah diraih di Parlemen hingga memudahkan parpolnya lolos dalam Presidential Threshold, namun bagi parpol tengah dan kecil, ini merupakan nestapa peradaban yang harus dilawan.

Hal ini dibuktikan dengan makin sedikitnya Capres yang berhasil masuk kontestasi bursa Capres RI di Pilpres yang sudah-sudah. Pemilu 2004 menawarkan 5 pasang Capres, namun karena UU Pilpres 2008 mengharuskan mekanisme Presidential Threshold dinaikan menjadi 20%, menjadikan Pipres 2009 hanya menawarkan 3 pasang Capres. Nestapa ini menjadi momok yang harus dirubah oleh bangsa ini jika ingin Republik ini dipimpin oleh pemimpin yang segar, yang berani tampil dengan wajah baru. Karakter politik yang ke-Indonesia-an sangat dibutuhkan agar mampu menghadirkan kewibawaan negara akibat negara sering absen dalam pusaran konflik yang terjadi di Nusantara.

Pemilu serentak merupakan ide segar baru yang ditawarkan demi merubah stagnasi pemilu Indonesia. Formula ini dimajukan demi menghindari blunder politik yang tidak mampu menawarkan wajah baru dalam opsi kepemimpinan Indonesia. Pemilu serentak dirancang untuk menghapuskan Presidential Threshold dalam mekanisme Pilpres. Karena selama ini Presidential Threshold-lah yang menghambat kader-kader terbaik parpol untuk maju dalam kontestasi bursa Capres RI dikarenakan tidak tercapainya ambang batas 20% di Parlemen. Dengan pemilu serentak, maka mekanisme Presidential Threshold tidak berlaku lagi karena dengan serentaknya pemilu maka tidak ada tolak ukur dalam menilai kualifikasi ambang batas di Parlemen.

Selain itu, dinamika kontestasi Capres jadi semakin menggairahkan, kader parpol yang awalnya tidak bisa maju menjadi Capres karena tidak mencapai ambang batas 20% di Parlemen, kini bisa maju mewakili parpolnya karena pemilu serentak meniadakan mekanisme keterwakilan minimal di Parlemen. Sistem pemilu serentak ini dengan kata lain meruntuhkan kasta dalam parpol, parpol yang awalnya bisa dikategorikan sebagai parpol besar, tengah, dan kecil karena keterwakilannya di Parlemen, kini menjadi sama dihadapan pemilu serentak karena semua parpol bisa memajukan kader-kader terbaiknya menjadi Capres tanpa hambatan. Capres yang ditawarkan menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Publik pun punya 'selera' sendiri dalam memilih Capres di pemilu yang jelas-jelas menawarkan wajah baru calon pemimpin Indonesia.

Pemilu serentak juga meminimalisir koalisi antar parpol. Selama ini parpol melakukan koalisi untuk mencapai ambang batas keterwakilan di Parlemen agar bisa memenuhi syarat untuk memajukan Capres. Kini parpol tak perlu repot-repot melakukan koalisi yang secara evaluasi malah banyak menimbulkan perpecahan di dalamnya. Papol tengah dan kecil yang selama ini sulit memajukan Capres karena tak lolos ambang batas keterwakilan di Parlemen kini bisa pamer kader parpolnya ke publik sebagai wajah baru calon pemimpin Indonesia. Justru koalisi parpol dianggap aneh di sistem Presidensil, karena koalisi hanya dikenal di sistem Parlementer yang konsentrasinya di Parlemen. Namun dengan adanya multipartai menyebabkan terjadinya koalisi parpol yang harusnya hanya ditemukan di sistem Parlementer. Jika pemilu tak dibuat serentak, maka bisa menimbukan sistem koalisi parpol yang sejujurnya merupakan hal ambivalen, mendua dalam Presidensil dan Parlementer.

Jika Republik ini merindukan penyegaran pemilu, inilah saatnya, pemilu serentak menawarkan banyak Calon Presiden yang bisa dipilih sesuai selera rakyat. Bukan lagi penyempitan jumlah Capres karena banyak yang tak lolos ambang batas Parlemen. Sudah saatnya Republik ini menemukan kembali karakter politiknya yang ke-Indonesia-an, yang berani menjadi risk-taker, berani tampil dengan wajah berbeda, dan memiliki banyak ragam positioning sehingga menaikkan suhu politik Republik ini.

Karena perubahan itu adalah conditio sine quo non (keniscayaan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun