Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raja Salman dan Gadis Pantai

3 Maret 2017   09:46 Diperbarui: 3 Maret 2017   10:01 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raja Salman dan rombongan arab Saudi berlibur ke pulau dewata bali. Bali memang dikenal dengan tempat pariwisata yang eksotis. Tidak hanya pemandangan alam lautnya yang eksotis, tetapi pemandangan para gadis pantai di bali menunjukkan eksotis yang lebih dari segalanya. Gadis pantai yang eksotis dengan balutan sosial-budaya yang ramah, anggun, damai dan menghormati semua orang. Mungkinkah itu yang ingin dilihat oleh rombongan arab Saudi agar dapat dipelajari dan diterapkan di negaranya, tentunya bukan fisiknya tetapi leboh kepada penghormatan dan menghargai segala yang ada di bali. 

Bicara gadis pantai, pikiran menerawang jauh dalam novel roman gadis pantai yang difulis oleh Pram. Novel gadis pantai merupakan ilustrasi pemikiran perlawanan terhadap feodalisme jawa. Feodalisme berdasarkan strata sosial yang akut, dimana bangsa priyayi selaksa dewa yang harus dipuja dan dipatuhi setiap petuahnya. Lebih parahnya, budaya patriarkhi yang melekat dalam kultur jawa menjadikan perempuan seperti sandal yang diinjak kaum laki-laki. Hilangnya nilai-nilai kemanusiaa yang diperkosa oleh feodalisme dan patriarkhi memantik seorang Pram menulis novel gadis pantai. Kultur meletakkan perempuan berada di belakang di jawa waktu karena budaya patriarkhi memiliki kemiripan dengab kultut masyarakat Saudi. Seandainya raja Salman bisa belajar dari realitas itu, maka pasti akan merasakan bagaiman pedihnya posisu perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriakhi. Mungkin dengan begitu arah Saudi diharap lebih menghargai perempuan yang ada disana

Gadis pantai merupakan roman yang mengisahkan kehidupan gadis remaja yang besar dipinggiran laut, kampung nelayan di Jawa Tengah, tepatnya kabupaten Rembang. Keelokan fan kecantikan gadis ini menjadi kembang desa yang diperebutkan seluruh orang termasuk kalangan priyayi. Ditengah kontestasi itu, akhirnya dipersunting oleh Bendoro, orang jawa yabg bekerja pada administrasi Belanda. Setelah dijadikan istri gadis dari kampung nelayan itu dikenal dengan sebutan Bendoro Putri. Pepatah jawa mengatakan "kere munggah bale", itu kiranya yang dialami sang gadis, kehidupannya berubah total. Segala keperluan sudah ada semua, tinggal menjalankan satu jarinya saja, asalkan sang gadis patuh pada semua petuah Bendoro. Awalnya, sang gadis menikmati kondisi priyayi seperti itu, namun semakin lama, sang gadis menyadari bahwa rumah gedongan penuh dengan berbagai aturan, sekali melakukan kesalahan, hukuman sudah menunggunya.

Seperti ungkapan sang gadis kepada bapaknya " mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini... Ah tidak, aku tifak suka pada priyayi, gedung dinding bak neraka, tanpa perasaan sama sekali". Harta dan kekuasaan telah menjadi penghalang lahirnya kasih saya dan saling menghormati tanpa pandang status. Kita tahu bahwa Pram menolak tradisi feodalistik pembesar jawa waktu itu, lebih miris lagi pram menanyakan dimana hati nurani pembesar jawa yang  perbuatan sewenang-wenang (khususnya) pada perempuan yang ingin dinikahinya. Dalam gadis pantai ini, Pram menggunakan bahasa yang sangat mudah dan gampang dicerna semua kalangan.

Kritik pada feodalistik dan patriakhi digambarkan tanpa tedeng aling aling. Cobtoh kecilnya, ketika Pram mengkritik kaum priyayi yang sebagian besar memiliki keimanan masih terbungkus dalam kemunafikan. Ironisnya, kaum yang dianggap mengerti tentang keimanan justru menebarkan bau kebencian kepada orang-oranv yang dianggap tidak sederajat. Sedangkan disisi lain, gadis pantai dan rakyat yang bergelut dengan amisnya bau ikan laut yang dianggap kurang mengenal keimanan, justru bertindak dan berpikir menggunakan hati nurani ditengah penjajahan Belanda yang sadis dan kaum feodal yang sinis. Pada taraf inilah, semua berharap raja Salman belajar dari berliburnya di pulau dewata untuk membenahi kultur masyarakat Saudi dan mrnempatkan perempuan pada tempatnya dan membebaskan perempuan dari kekejaman dan penindasan feodalistik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun