Dunia tulis menulis di media sosial dan digital lainnya, semakin marak. Mulai dari media sosial yang seringkali menjadi media untuk mengekspresikan banyak hal. Mulai dari bagaimana seseorang berpikir, menuangkan ide, hingga meluapkan perasaannya. Tentu saja, setiap apa yang ditulis di media sosial menjadi konsumsi publik. Juga menjadi tanggung jawab penulisnya, jika memang melanggar peraturan tentang ITE.
Termasuk juga apabila para sahabat menulis di media atau platform menulis. Baik milik pribadi maupun afiliasi. Misalnya, seseorang menulis di blog pribadi yang dikelolanya. Bisa juga ketika menulis di blog komunitas maupun perusahaan media digital. Nah, sebagai penulis, apalagi penulis pemula seperti saya, perlu memerhatikan konsistensi dalam menulis.
Konsistensi yang dimaksud adalah pemilihan diksi yang selalu tetap, tidak berubah. Namun, diksi yang konsisten itu menyangkut beberapa diksi yang memang seharusnya tidak diperkenankan untuk berubah menurut aspek linguistik. Terutama dalam sintaksis dan semantik. Nah, kata atau diksi yang seringkali tidak konsisten kita tulis, biasanya berhubungan dengan kata ganti, sapaan atau panggilan, subyek dalam kalimat dan atau pelaku dalam sebuah cerita atau tulisan tersebut.
Sebagai contoh, kata "saya" dan "aku". Dalam sebuah tulisan kolom kadang kita menulis dengan menggunakan kata "saya" sebagai subyek. Tetapi, ketika di tengah atau akhir tulisan, muncullah kata "aku" untuk maksud subyek yang sama. Begitu pula dengan kata "Murid", "siswa", "peserta didik" dan "anak didik". Kadang sering kita temukan silih berganti bermunculan dalam tulisan opini seseorang untuk maksud subyek yang sama. Inilah yang dinamakan dengan inkonsistensi dalam menulis dari aspek pemilihan diksi.
Contoh diksi lain yang kadang digunakan secara tidak konsisten, misalnya sebagai berikut.
dia >>> ia
kamu >>> anda
guru >>> tenaga pendidik (sesuai dengan konteks kalimatnya)
pelajaran >>> pengajaran
tahun ajaran >>> tahun pelajaran
dan lain sebagainya.