RUU Ketahanan Keluarga (RUU-KK) sempat menjadi perdebatan publik yang panas pada tahun 2020. Di satu sisi, isu mengenai gender harmony dalam iklim sosiokultur Indonesia pun memicu diskusi luas tentang peran perempuan dan kesetaraan gender. Meskipun RUU tersebut ini bertujuan memperkuat peran keluarga dan keseimbangan gender, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa hal tersebut justru dapat membatasi kebebasan perempuan dan partisipasi mereka di ruang publik. Dengan demikian, perlu seperangkat interpretasi yang inklusif sebagai dasar bangunan RUU-KK dan konsep gender harmony.
Pembagian Peran dalam RUU Ketahanan Keluarga: Perlindungan atau Pengekangan?
RUU ini mengatur peran suami sebagai pencari nafkah utama dan istri yang bertugas mengurus rumah tangga dan mendukung keluarganya secara emosional (Kompas, 2020). Di satu sisi, pengaturan ini dimaksudkan untuk memperkokoh peran tradisional dalam keluarga. Akan tetapi, banyak aktivis menilai bahwa aturan seperti ini dapat membuat peran perempuan terkunci di dalam rumah, dan bertentangan dengan perjuangan hak perempuan yang diakui oleh konvensi internasional seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) (Afkhami, 1995).
Margot Badran menjelaskan bahwa kebijakan yang terlalu menekankan peran domestik perempuan dapat memperkuat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Ia melihat kebijakan ini sebagai bagian dari upaya memperpanjang dominasi laki-laki dalam masyarakat, membatasi kesempatan perempuan untuk berkembang di luar rumah (Badran, 1995). Hal ini juga didukung oleh pandangan Choudhury, yang mengatakan bahwa kebijakan semacam ini seringkali mengabaikan ketimpangan gender yang terjadi dalam pelbagai dimensi kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, dan politik (Choudhury, 2002).
Gender Harmony: Harmoni atau Destruksi terhadap Keadilan?
Konsep gender harmony sering dipromosikan sebagai jalan keluar untuk menciptakan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan, tanpa harus melalui konflik atau perselisihan. Namun, banyak yang mengkritik konsep ini sebagai langkah mundur, karena hanya menekankan keselarasan peran yang tetap, tanpa menyoroti ketidakadilan yang sudah ada. Gender harmony tentu bisa berbahaya jika digunakan untuk mempertahankan status quo yang tidak adil bagi perempuan. Dalam bahasa lain, relasi harmonis yang dibangun tidak boleh bercorak patriarkis (Mernissi, 2003).
Ziba Mir-Hosseini, seorang ahli gender dan Islam, berpendapat bahwa Islam sejatinya mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bukan dengan mengunci peran masing-masing dalam ranah tradisional, melainkan dengan memberikan keduanya kesempatan yang sama untuk berperan dalam kehidupan sosial dan ekonomi (Mir-Hosseini, 1999). Sayangnya, dalam konteks Indonesia, konsep gender harmony selalu dipahami sebagai pembagian peran yang tetap yang seharusnya mempertimbangkan prinsip keadilan sosial agar tidak terjadi fenomena "kekerasan struktural" (Rasheed & Mar'iyah, 2024).
Politik Hukum Ketahanan Keluarga
Data dari Komnas Perempuan yang terbit pada 2023 menunjukkan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang relatif signifikan. Ini menandakan bahwa perempuan masih sering menjadi korban dalam hubungan yang tidak setara di rumah tangga. Kebijakan seperti RUU-KK dikhawatirkan akan memperburuk kondisi ini, karena cenderung memperkuat posisi laki-laki sebagai pengambil keputusan utama dalam rumah tangga, sementara perempuan dibatasi perannya (Komnas Perempuan, 2020).
Di sisi politik, data dari Inter-Parliamentary Union menyebutkan bahwa proporsi perempuan masih jauh dari seimbang dengan laki-laki (Inter Parliamentary Union, 2024). Dahlerup dan Freidenvall menyatakan bahwa kebijakan kuota gender memang mempercepat peningkatan jumlah perempuan di parlemen, namun hal ini tidak cukup untuk menciptakan kesetaraan yang nyata tanpa adanya perubahan sistemik yang lebih luas (Dahlerup & Freidenvall, 2005).
Naila Kabeer, seorang ahli gender dan pembangunan, menyatakan bahwa kebijakan yang menekankan harmoni tanpa memperbaiki ketimpangan struktural justru dapat memperpanjang ketidakadilan (Kabeer, 1994). Dalam konteks ini, RUU-KK lebih banyak menguntungkan laki-laki, karena mengabaikan tantangan yang dihadapi perempuan dalam hal partisipasi politik dan ekonomi.