Mohon tunggu...
Boeng  Edo
Boeng Edo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pengamat dan Penikmat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rombongan Hamba Pedagang, Paradigma Malam Seribu Bulan

11 Juni 2018   01:57 Diperbarui: 11 Juni 2018   01:57 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi kebiasaan dikalangan umat Islam untuk pergi ke masjid pada pertengahan malam terakhir ketika sudah memasuki malam likuran di bulan ramadhan. Aktifitas yang mereka lakukan pun berfariasi, mulai dari shalat witir berjamaah, membaca al-Qur'an, zikir, dan i'tikaf di dalam masjid semalam suntuk sampai tiba waktu sahur.

Tak lain yang mereka buru adalah keutamaan di malam lailatul qodar, yang konon katanya, ketika seseorang sedang beribadah dan bertepatan dengan turunnya lailatul qodar, maka orang tersebut sama halnya dengan beribadah selama seribu bulan. Non stop tanpa istirahat. Menarik bukan?

Mengingat usia manusia yang belum tentu mencapai seribu bulan (83 tahun), sudah barang tentu banyak dikalangan umat Islam berbondong-bondong dalam upaya untuk meraihnya. Meskipun untuk menempuh itu, seseorang harus selalu stanby untuk berinteraksi dengan Tuhan melalui ritual-ritual suci.

Ada cara yang unik yang dilakukan seseorang dalam upaya untuk menempuhnya. Karena syarat untuk mendapatkannya haruslah dalam keadaan beribadah, maka orang tersebut memilih ibadah dalam bentuk i'tikaf di dalam masjid, yang bilamana tertidur sampai waktu sahur, masih terhitung sebagai ibadah.

Mungkin hal itu terjadi karena sudah saking capeknya orang tersebut beribadah semalaman, hinngga menyebabkan dia tertidur bahkan sampai mendengkur. Tapi juga tidak menutup kemungkinan bila dia memang sudah punya niatan dari awal seperti itu; memilih ibadah yang mudah dan menyenangkan. Bisa dikatakan hanya sekadar pindah tempat tidur, yang awalnya tidur di kamar lalu pindah ke masjid, asal ada niatan i'tikaf, sudah mendapat pahala beribadah selama seribu bulan. Enak kan? 

Memang sah-sah saja melakukan hal tersebut, karena kalau sudah berniat i'tikaf di dalam masjid, meskipun pada akhirnya akan tertidur, tetaplah menjadi suatu ibadah. Akan tetapi, jika dari awal cara berfikirnya sudah seperti cara berfikir seorang pedagang, yang selalu mengkalkulasi untung dan rugi, bukankah hal semacam itu kurang baik dalam beragama. Bisa keblinger jadinya bila prinsip dalam ekenomi diaplikasikan dalam kehidupan beragama -usaha dengan modal sekecil-kecilnya, dan mendapat untung sebesar-besarnya.

Sumber gambar : tribunnews.com
Sumber gambar : tribunnews.com
Terdapat banyak macam pendapat dari para ulama yang membahas tentang kapan turunnya malam lailatul qadar tersebut. Mulai dari pendapat ulama yang menganggap bahwa lailatul qadar hanya turun sekali saja dan tidak berulang setiap tahunnya, sampai pada pendapat yang hampir memastikan secara tepat kapan turunnya malam kemuliaan tersebut.

Sedangkan di dalam al- Qur'an dan Hadist sendiri, tidak ada informasi  secara pasti kapan tepatnya lailatul qadar tersebut turun. Hanya saja, Nabi mengindikasikan turunnya malam tersebut pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan -jIka merujuk pada hadits-hadits yang menunjukkan semakin giatnya Nabi dalam beribadah di 10 malam terakhir.

Pendapat yang paling masyhur di kalangan masyarakat adalah dimana malam itu akan turun pada bilangan ganjil di 10 malam terakhir. Ada pula yang lebih mengkhususkan di malam 27 ramadhan. Merujuk pada pendapat Ibn Abbas, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata "hiya" pada ayat terakhir dalam surat al-Qadr itu adalah lailatul qadar itu sendiri. 

Dan kata hiya tersebut, tepat pada uratan ke 27 dari 30 kata yang terdapat dalam surat al-Qodr. Dan menariknya, surat itu terdiri dari 30 kata yang sesuai dengan idealitas jumlah hari di bulan ramadhan.

Berbeda halnya dengan pendapat para salik atau kaum sufi. Dalam menanggapi ihwal lailatul qodar tersebut, mereka menganggap bahwa malam itu adalah malam kemuliaan dan kehormatan. Lailatul qadar adalah malam di mana al-Quran diturunkan. Maka sudah sepantasnya umat Islam menyambut malam itu dengan ritual-ritual suci sebagai rasa hormat mereka kepada al-Quran itu sendiri.

Kalau kita analogikan dengan hal yang lebih sederhana, layaknya menyambut hari ulang tahun seseorang yang sangat special dalam hidup kita. Pun juga berlaku sama bagi mereka. Pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan, mereka memasuki masjid menggunakan pakaian terbaik yang mereka miliki. Berpenampilan semenarik mungkin, dan memakai beberapa wewangian yang mengharumkan. Bersiap untuk menyambut datangnya lailatul qadar.

Sedangkan mengenai makna dari malam yang lebih baik dari seribu bulan, para salik menafsirkannya sebagai suatu keadaan yang memungkinkan untuk mendapatkan getaran energi yang tidak bisa diraih dalam beribadah di waktu lainnya. Bahkan ketika mereka beribadah dalam jangka waktu seribu bulan sekalipun, kenikmatannya tak mampu menandingi beribadah pada malam tersebut. Kira-kira seperti itulah yang dimaksud dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan bagi para salik. 

Orientasi para salik dalam beribadah memang begitu mendalam. Seperti yang tergambarkan dalam cerita-cerita para sufi. Ada satu cerita menarik yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana konsep beribadahnya para salik. Ketika ada seorang sufi wanita bernama Robi'ah al-Adawiyyah yang sedang dalam keadaan ekstasye spiritual (red: jadzab). 

Dia membawa obor dengan api menyala di tangan kanan dan setimba air di tangan kirinya. Dia berlari kencang sambil berteriak: 

“Di mana surga berada .. ada di mana neraka ..??" dengan nada bertanya, dia berkali-kali meneriakkan kata-kata itu.

“Hai perempuan, apa urusanmu menanyakan letak surga dan neraka? Untuk apa juga kau membawa setimba air dan obor yang menyala?". Tanya seorang laki-laki kepada perempuan itu.

“Aku ingin membakar surga dengan obor ini dan aku akan memadamkan api neraka dengan setimba air ini. Karena orang-orang sudah menyembah dan beribadah kepada Allah bukan atas dasar rasa cinta kepada-Nya, bukan pula atas dasar ikhlas serta kesadaran tugasnya sebagai hamba, tapi semata-mata karena menginginkan surga. Banyak pula orang-orang yang menyembah Allah bukan karena ingin memperoleh ridlo-Nya, tapi karena takut akan sengatan siksa panas api neraka,” jawab perempuan itu dengan nada marah dan kesal.

Iustrasi : konfrontasi.com
Iustrasi : konfrontasi.com
Sungguh begitu mendalam bagaimana konsep para salik dalam beribadah. Totalitas dalam pengabdiannya sudah sampai pada batas kemanusiaan tertinggi. Mampu menekan ego hingga titik terendah dan mencekik dengan tanpa sedikitpun memberi nafas pada ke-aku-an di dalam dirinya. 

Mengetahui tentang bagaimana orientasi  para salik dalam beribadah seharusnya membuat kita sadar, betapa selama ini kita dalam beribadah masih penuh dengan kalkulasi untung dan rugi. Memang hal semacam itu tidak dilarang dalam agama -selama orientasinya masih pada teritorial akhirat dengan kalkulasi surga dan neraka.

Tapi apakah kita tidak malu, ketika kelak di padang mahsyar kita dikumpulkan menjadi satu atas nama umat manusia, mulai dari umatnya Nabi Adam sampai umat Nabi Muhammad, menunggu tibanya hari perhitungan dari setiap diri, dimana setiap manusia akan melihat keadaan manusia lainnya, yang setiap dari mereka akan di kumpulkan dalam berbagai macam kelompok sesuai dengan pangkatnya masing-masing, dan posisi kita berada pada rombongan besar dengan spanduk bertuliskan Rombongan Hamba Pedagang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun