Banyak ungkapan mengenai buku atau membaca yang sering kita jumpai. Seperti Buku itu Candu. Membaca adalah kunci. Dengan membaca kau dapat mengenal dunia, dan dengan menulis kau dapat dikenal oleh dunia. Dan masih banyak lagi, slogan atau kata-kata mutiara yang menggambarkan betapa sebuah buku dan kegiatan membaca adalah sesuatu  yang sangat penting.Â
Bila kita cermati, ungkapan semacam itu muncul dari mulut para kutu buku, yang merupakan refleksi atas rasa cintanya pada sebuah buku. Atau bisa jadi  hal itu mereka tujukan kepada orang-orang yang masih belum tergerakkan hatinya untuk membaca, mencoba meyakinkan mereka dengan kalimat-kalimat yang berbau sastrawi dan filosofis.
Memang hal semacam itu sah-sah saja dilakukan, tapi agaknya, ajakan secara verbal seperti itu tak banyak berpengaruh pada keinginan membaca seseorang. Malah bisa jadi, kata-kata semacam itu hanya akan mereka adopsi menjadi status atau quote sehari-hari dalam sosisal media sebagai sarana publisitas.
Mungkin akan lebih mengena bila usaha dalam meningkatkan budaya membaca, adalah dengan cara pengkondisian keadaan sekitar. Sebutlah mulai dari skala yang paling kecil, ialah membiasakan diri untuk tidak malu-malu membaca di khalayak umum -yang tentunya masih mempertimbangkan timing yang pas. Atau bisa juga bergabung dengan teman yang minat bacanya sudah mengakar, dan mengajak satu teman lagi -yang notabene masih awam- untuk meminjam buku di perpustakaan dan mendiskusikannya bersama -semacam memayoritaskan yang minor.
Sedang dalam skala yang lebih besar, ialah dengan membuat suatu komunitas membaca, yang tentunya harus disertai dengan konsistensi atas target-target buku yang akan dihabiskan. Agaknya kalau yang satu ini harus lebih dulu memiliki lebih banyak teman yang satu kecenderungan (red: membaca).
Tapi sayangnya, usaha-usaha konkrit semacam itu pada prakteknya tak semudah seperti apa yang dipikirkan. Dibutuhkan waktu yang panjang dan komitmen yang kuat untuk dapat menumbuhkan rasa cinta seseorang terhadap sebuah buku. Bahkan pada diriku sendiri, minat baca itu malah muncul setelah lulus SMA. Padahal ketika masih sekolah, jangankan membaca buku, tidak bolos saja sudah alhamdulillah. Semua buku-buku LKS yang menjadi materi pelajaran, masih gress dan sangat layak untuk dijual kembali.Â
Kecintaanku pada buku, terjadi setelah pertemuanku dengan seorang teman yang gemar membaca. Sebenarnya kejadiannya sangat sepele, hanya perbincangan ringan dengan seorang teman yang masih baru kenal. Mungkin lebih tepatnya basi-basi sebagai rasa terima kasih karena pada waktu itu dia telah membantuku.Â
Aku bilang ke dia kalau aku ingin belajar psikologi -karena dia memang anak psikolog. Kemudian dia meminjamkan satu bukunya kepadaku. Dia bilang buku itu adalah tahap awal untuk belajar psikologi. Mungkin yang dia maksut adalah seperti sebuah pengantar.
Buku itu berjudul Even Ask Angel, diterbitkan oleh Mizan dengan terjemahan yang apik. Karya seorang Muallaf bernama Jeffrey Lang. Seorang Guru Besar Matematika yang mengajar sekaligus sebagai peneliti di University of Kansas, Lawrence, Amerika Serikat.Â
Dengan cerita yang sangat emosional, tentang pergulatannya melawan al-Qur'an, yang setiap kali membuka lembaran pada Mushaf al-Qur'an secara acak, ayat pertama yang ia baca adalah jawaban atas pertanyaan di kepalanya yang masih belum terjawab. Dan hal itu tidak terjadi hanya sekali, tapi berulang-ulang dan seperti menjadi suatu kebetulan yang terus-menerus.Â
Pendekatan yang dilakukan sangat persuasif, beliau mengajak pembaca untuk berfikir secara kritis, mempertanyakan kembali keberagamaan seseorang. Dengan logika-logika sederhana yang bahkan belum pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Sejalan dengan judul bukunya Even Ask Angel (Bahkan Malaikat pun bertanya).