Mohon tunggu...
Alifta PutriAndhini
Alifta PutriAndhini Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan prodi Ilmu Komunkasi

Selanjutnya

Tutup

Film

Perlawanan Terhadap Stigma Perempuan Lewat Film "Yuni"

4 Januari 2023   09:20 Diperbarui: 4 Januari 2023   09:28 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia semenjak pandemi angka pernikahan dibawah umur menjadi meningkat. Bahkan berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA), angka dispensasi nikah mengalami kenaikan yang sangat drastis. Perempuan merupakan satu makhluk yang paling kompleks didunia. Dengan segala kompleksitasnya, hadirlah beragam stigma yang berpusat pada perempuan. Hal tersebut diangkat dalam film "yuni" yang rilis di bioskop Indonesia pada tanggal 9 Desember 2021.

 Film ini sebelumnya telah diputar di berbagai festival film internasional dam mendapatkan nominasi. Film ini meraih penghargaan seperti masuk 14 nominasi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2021 dan nominasi Achievement in Directing di Asia Pasifik Screen Awards. Juga menjadi perwakilan Indonesia untuk kategori Best International Feature Film dalam ajang penghargaan Academy Award ke-94 atau Piala Oscar 2022.

Film ini jelas-jelas mengangkat isu sosial tentang pernikahan dibawah umur yang masih dianggap lumrah sebagian masyarakat Indonesia. Seakan-akan hidup perempuan, hanya untukmenikah dan mempunyai anak.

"yuni" merupakan film terbaru karya sutradar Kamila Andini, yang sebelumnya dikenal karena filmnya yang berjudul "The Mirror Never Lies" dan "Sekala Niskala". Film "yuni" diperankan oleh Arawinda Kirana sebagai pemeran utama yang berkisah tentang kehidupan Yuni, sseorang remaja perempuan yang hidup di daerah pinggiran dan mempunyai prestasi yang cukup baik.

Kamila Andini mebuat film "Yuni" akan membuat penonton lebih peka dengan stigma yang dihadapi oleh perempuan Indonesia. Hal-hal seperti menolak lamaran yang dianggap pamali, perempuan yang nantinya hanya terkurung dirumah saja, hingga perempuan yang dipandang kehormatannya dari keperawanannya saja, ditampilkan secara sederhana namun berbobot. Hal tersebut didukung dengan ragam simbolisasi sebagai penegasan dari fakta yang hadir dalam masyarakat.

Film ini mengisahkan seorang gadis bernama Yuni yang diperankan oleh Arawinda Kirana. Ia terkenal pintar dan mempunyai mimpi yang sangat besar. Gadis SMA yang sebentar lagi akan lulus itu ingin sekali menempuh pendidikan setinggi-tingginya sampai jenjang perkuliahan. Potret Yuni dalam film digambarkan sebagai seorang remaja yang memiliki keinginin tahuan tinggi layaknya apa yang dirasakan oleh remaja pada umumnya ketika beranjak dewasa. 

Namun pada suatu hari menjelang kelulusannya ia dilamar oleh seorang pria yang tak ia kenal. Ia pun menolak lamaran tersebut. Bahkan, ia menolak lamaran dari dua pria yang tak dikenalnya. Rupanya, penolakan itu memicu gosip tentang mitos bahwa seorang perempuan yang menolak tiga lamaran tidak akan pernah menikah. Hal yang tak diinginkan pun terjadi. Yuni semakin tertekan ketika muncul pria ketiga yang datang melamarnya. Yuni pun harus memilih antara mempercayai mitos atau mengejar impiannya. Yuni seakan dituntut untuk mengikuti budaya dan ekspektasi lingkungannya yang mengatakan bahwa tempatnya wanita hanya sebatas menjadi istri seorang pria, tidak perlu berpendidikan tinggi dan tidak ada kebebasan untuk mengejar mimpi.

Keadaan tersebut memaksa Yuni untuk dewasa dari umurnya, karena pada saat itu ia dihantui oleh sebuah mitos yang mengatakan bahwa jika seorang perempuan menolak lamaran sebanyak dua kali lamaran maka ia tak akan pernah menikah seumur hidupnya. Tekanan pun bertubi-tubi membelenggu Yuni. Keadaan tersebut membuat Yuni harus berhadapan dengan teman masa kecilnya yang pemalu bernama Yoga (diperankan oleh aktor muda Kevin Ardilova) serta Pak Damar guru sastra favoritnya di sekolah yang diperankan oleh Dimas Aditya. 

Bertemu dengan Suci yang diperankan oleh Asmara Abigail, Yuni mendapatkan jawaban-jawaban soal asam manisnya pernikahan dan kehidupan. Yuni mendapatkan kekuatan yang mendorongnya untuk mengakhiri budaya patriarki yang membelenggunya selama ini. Yuni kemudian melakukan semacam pemberontakan sebagai bentuk kebebasan untuk melawan sistem perjodohan yang telah menghantuinya.

Dengan kemunculan film ini dapat menjadikan masyarakat yang merasakan isu ini terbuka perasaanya, bahwa seiring berkembangnya jaman isu tersebut mulai memudar, namun faktanya isu-isu tersebut masih kurang diperhatikan. Film ini berhasil menampilkan berbagai isu dan konflik sosial secara transparan dan jujue yang dikemas dengan apik tanpa adanya bumbu-bumbu drama yang berlebihan.

 Film ini terkesan sangat dekat dan sesuai dengan keadaan sekitar remaja perempuan. Kisah ini pun ditampilkan dengan alur yang ringan dan mudah dimengerti, namun tidak mebosankan yang justru bisa memicu pergolakan batin penontonnya yang mungkin masih lekat dengan stigma tentang perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun