Bahkan kemarin saat ada hajatan nikah adikku di rumah, timbulan sisa makanan dari tamu undangan pun habis dilahab ayam sehingga tak mencemari lingkungan rumah.
Berkat ayam kampung, aku dapat mencegah "polusi" dan potensi ancaman pemanasan global diolah menjadi "gizi". Berkat ayam kampung, aku dapat mengubah sampah menjadi sesuatu bernilai tambah berupa daging ayam segar dan telur bergizi. Tak hanya itu, ayam kampung dapat menyuburkan tanah melalui fesesnya.
Lama-kelamaan, ayam kampungku beranak pinak hingga 40 ekor sekarang. Karena terlalu banyak, sebagian ayamku itu kujual. Tidak susah menjual ayam kampung sebab permintaannya cukup tinggi dan stabil harganya. Ayam jantan harganya 70-100 ribu rupiah, sedangkan ayam betina harganya 40-50 ribu rupiah. Aku pun dapat tambahan uang dari dua hingga empat ekor ayam yang terjual.
Aku sendiri sudah punya satu pembeli langganan ayam kampung. Ia adalah seorang ibu pemilik katering dengan menu utama ayam kampung. Biasanya, ia akan datang ke rumah untuk membeli ayam kampungku. Ia merasa diuntungkan karena punya pemasok tetap bahan kateringnya.
Selain uang, aku dan keluarga di rumah juga dapat menikmati telur dan daging ayam kampung. Jadi tak perlu bingung bila kehabisan lauk. Kebutuhan gizi pun terjaga berkat mendaur ulang food waste. Coba bayangkan bila semua punya ayam kampung, pasti bisa mencegah stunting.
Dari semula membuang sampah, kini aku malah "membutuhkan" sampah sisa makanan untuk ayam kampungku. Terkadang aku merasa senang saat tetanggaku atau adekku yang bekerja di warung pulang membawa sisa nasi untuk ayamku. Tapi itu tidak setiap hari. Jadi, aku pun mencari alternatifnya dengan membeli "sego aking", alias nasi sisa yang dikeringkan. Rupanya, food waste menciptakan sharing ekonomi yang menambah pemasukan masyarakat desa, khususnya kalangan perempuan.
Tiap dua pekan sekali, aku selalu membeli "sego aking" dari ibu-ibu pedagang di pasar. Terkadang juga membeli dari tetangga, saudara, atau teman ibuku. Mereka biasanya sudah mengumpulkan lebih dari 10kg "sego aking" yang sudah dimasukan dalam karung dan siap dijual. Harganya berkisar Rp4.500-Rp5.000 per/kg. Bila tiba musim hujan seperti sekarang, harga "sego aking" naik hingga Rp6.000 per/kg mengingat susahnya proses pengeringan. Kualitasnya juga bagus, putih dan bersih.
Ayam kampung menjadi solusi food waste yang saling menguntungkan di masyarakat. Contohnya di Surakarta, tepatnya dekat kampusku Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ada warga yang memelihara ayam kampung. Uniknya, ia menyediakan kotak untuk menampung sisa makanan dari warga perumahan sekitar. Warga sekitar pun sudah terbiasa memberikan sisa makanannya ke kotak tersebut. Lalu di pasar Kleco, dekat UMS, sampah pasar seperti potongan sayuran atau buah-buahan pun sering dicari-cari orang untuk pakan sapi.