Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Inklusi Keuangan, Hadiah Presidensi G20 Indonesia bagi Perempuan, Penyandang Disabilitas, dan Pemuda

31 Juli 2022   22:22 Diperbarui: 31 Juli 2022   22:29 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mas, tolong bantu kami warga disini ya, buat nitip jual dagangan di pondok"

"Nggeh bu" ujar saya pada ibu-ibu pembuat jajanan anak pondok. Ada beragam makanan yang mereka bawa, mulai dari gorengan, aneka kue, keripik, arem, es teh, dan nasi bungkus.

Percakapan itu terjadi pada Maret 2022. Kala itu, saya masih menjadi karyawan koperasi milik salah satu moeslim boarding school (pondok) di Salatiga.

Sembari mengecek catatan dan membawa dagangan ke dalam kantin, ibu-ibu itu bercerita betapa senangnya mereka bisa nitip dagangan lagi di sekolah pondok ini.

Beberapa hari sebelumnya, pengurus pondok memang telah memberitahu warga sekitar bahwa mereka diperkenankan kembali menitipkan dagangan di kantin sekolah pondok, mengingat semakin longgarnya kebijakan pembatasan sosial (PPKM) dan terkendalinya laju virus Covid-19 pada awal 2022.

Sejak adanya kebijakan PPKM, pondok tempat saya bekerja melarang santrinya keluar guna mencegah pembentukan kluster Covid-19 di pesantren.

Aturan masuk pondok pun dijaga sangat ketat. Bahkan, wali santri pun dilarang masuk pondok. Kantin otomatis juga ditutup, tak beroperasi sama sekali, sebab dikhawatirkan menjadi kontak penularan virus Corona dari luar pesantren.

"Sudah setahun mas kami tidak bisa jualan karena Covid-19," ungkap salah satu warga. Mereka juga mengaku belum bisa lekas memproduksi jajanan anak sekolah dalam jumlah banyak karena terkendala modal.

"Sedikit-sedikit dulu (jualannya) mas, modalnya ndak ada." Salah satu dari mereka berkisah harus meminjam uang anaknya untuk beli bahan baku gorengan.

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Ibu-ibu penitip makanan ini adalah potret pengusaha kecil dan kaum perempuan di Indonesia secara umum. Posisi ekonomi mereka sangat rentan dan cukup susah untuk pulih seketika dari Pandemi Covid-19.

Apa yang membuat mereka sulit pulih? Tentu saja sulitnya pemodalan. Menurut saya, ada dua faktor yang membuat kaum perempuan kesulitan memperoleh modal.

Pertama, kaum perempuan umumnya tergantung secara ekonomi pada suaminya. Posisi ini membuat mereka tak punya kemandirian finansial. Ketergantungan perempuan terhadap suaminya semakin diperparah oleh situasi pandemi. Tak sedikit dari keluarga yang terpaksa menjual asset atau tabungannya terkuras selama pandemi. Otomatis, mereka tak punya modal.

Selain itu, pengusaha perempuan umumnya bekerja untuk membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sebab itu, mereka umumnya tak memiliki banyak simpanan modal.

Kedua adalah kurangnya lembaga keuangan menjangkau mereka atau (unbanked). Masih terdapat bias gender dalam layanan pemodalan, dimana laki-laki dianggap lebih minim risiko mengingat statusnya sebagai kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah. Padahal jika mengacu pada data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 60 persen dari total pelaku UMKM adalah perempuan, atau sejumlah 50 juta orang.

Kondisi perempuan yang unbanked berkorelasi rendahnya porsi kredit untuk pengusaha kecil-kecilan di negeri ini.

Porsi kredit UMKM Indonesia pada lembaga keuangan masih rendah, hanya sekitar 18% saja. Jumlah ini jauh lebih rendah ketimbang negara lain yang berkisar hingga 40% hingga 60%.Padahal, UMKM merupakan komponen penting dalam perekonomian nasional. UMKM mampu menyediakan 97% lapangan kerja dan berkontribusi pada PDB nasional lebih dari 60%.

Tanpa modal kuat, bagaimana usaha bisa sehat?

Lalu, mengapa banyak lembaga keuangan di Indonesia masih enggan melayani kredit kepada pengusaha mikro atau masyarakat kecil-kecilan?

Saya jadi teringat sebuah ungkapan: jadi orang miskin itu biayanya lebih mahal. Lha kok bisa? Iya. Dalam konteks bisnis, ungkapan itu masuk akal. Orang kaya umumnya mudah memperoleh modal karena mereka sudah dipercaya oleh investor atau bank.

Ambil contoh Ellon Musk. Ia tak akan kesusahan untuk dapat uang guna membesarkan perusahaannya sebab dianggap orang potensial, lebih minim risiko. Pemodal akan senang menitipkan uang pada Ellon Musk karena bisa memperoleh profit. Akhirnya, Ellon Musk pun mudah mengembangkan perusahaan mobil listrik hingga wahana antariksa. Ia pun jadi orang terkaya di dunia sebab banyak pemodal yang invest pada bisnisnya.

Selain mudah dapat modal, orang kaya umumnya juga memiliki banyak keringanan. Misalnya ada bebas pajak, bunga rendah, dan insentif lain yang mendukung usahanya. Orang kaya juga bisa pinjam uang bank tanpa harus memberi agunan sebab sudah dipercaya.

Kondisi ini sangat berbeda dengan orang miskin. Mereka umumnya kesulitan dalam mengakses pemodalan dari bank. Tak banyak orang yang percaya untuk invest di usaha mereka sebab dianggap berisiko tinggi.

Akibatnya, orang kecil hanya bisa meminjam uang di bank jika punya jaminan sertipikat tanah, surat kendaraan bermotor atau asset strategis lainnya. Mereka juga akan dikenakan bunga pinjaman yang lumayan. Barrier semacam ini menjadi salah satu faktor mengapa orang-orang kecil dengan usahanya yang juga kecil itu rata-rata unbanked.

Pengusaha mikro bukan satu-satunya yang masuk dalam kelompok unbanked. Berdasarkan laporan Global Findex tahun 2017, ada sekitar 30% atau 1,7 miliar orang di dunia yang masih kesulitan mengakses layanan keuangan. Jumlah itu paling banyak didominasi oleh perempuan, pemuda, dan UMKM.

Sumber: voi.id
Sumber: voi.id

Pemuda adalah 16% populasi global. Kelompok ini rata-rata masih unbanked disebabkan oleh berbagai hal meliputi kurang memiliki dokumen identitas resmi, tak punya banyak asset, tak berpengalaman mengelola uang dan belum memiliki pendapatan tetap. Hal-hal ini membuat pemuda dianggap berisiko tinggi sehingga tidak mendapat layanan perbankan.

Kaum disabilitas juga bernasib serupa. Mereka juga umumnya unbanked sebab dianggap tak bisa produktif. Akibatnya, kaum disabilitas terjebak dalam kondisi tak berdaya dan tergantung pada orang lain. Padahal, kaum disabilitas bisa jadi kelompok produktif jika diberi kesempatan yang sama.

Minimnya akses modal pada perempuan membuat mereka semakin tak berdaya. Sama halnya dengan kaum disabilitas dan anak muda, mereka juga jadi tak berdaya. Jika mereka tak berdaya, dampaknya tak hanya pada mereka sendiri, melainkan juga pada negara. Membiarkan kelompok rentan tetap unbanked akan mempersulit negara untuk keluar dari status negara miskin.

G20 Indonesia Memperjuangkan Inklusi Keuangan

Kehadiran Presidensi G20 Indonesia membawa hawa segar bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan pemuda. Pertemuan global itu menyepakati dan mendorong terwujudnya inklusi keuangan dan ekonomi berkelanjutan, khususnya bagi UMKM, kaum muda, dan perempuan.

Apa itu inklusi keuangan? Inklusi keuangan didefinisikan sebagai ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kebijakan inklusi keuangan diharapkan dapat menghilangkan diskriminasi akses keuangan bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan pemuda. Dengan demikian, kemudahan modal bukan lagi hanya privilege orang kaya.

Bank Indonesia (BI) dan Kemenkeu RI berperan besar dalam mendorong inklusi keuangan. Upaya ini dilakukan dengan cara berkoordinasi mengenai kebijakan ekonomi dan keuangan secara global dengan tujuan untuk menghasilkan pemulihan yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga semua dapat keluar dari krisis secara merata.

Sumber: g20.org
Sumber: g20.org

Koordinasi kebijakan dilakukan melalui pertemuan 2nd Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) Plenary Meeting yang diselenggarakan oleh Presidensi G20 Indonesia dan dipimpin secara bersama oleh Bank of Italy selaku co-chair dan Kemenkeu dan BI secara hybrid pada 12-13 Mei 2022 di Nusa Dua, Bali.

GPFI adalah tim kerja G20 yang berfokus untuk mendorong inklusi keuangan. Jalan yang ditempuh dalam mewujudkan inklusi keuangan adalah dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi digital seperti fintech, serta mendorong implementasi G20 High Level Principles (HLPs) for Digital Financial inclusion. 

GPFI juga menekankan pentingnya penguatan literasi digital untuk mendorong inklusi keuangan dan ekonomi. Teknologi digital dianggap mampu mengurangi kesenjangan (inequality) yang timbul akibat berbagai tantangan global dan mengakselerasi pemulihan pasca Pandemi Covid-19.

Selain GPFI, ada forum-forum G20 Indonesia lainnya yang mendorong kesejahteraan kelompok unbanked. Misalnya ada G20 Employment Working Group (EWG) membahas isu perlindungan tenaga kerja disabilitas. Ada forum W20 yang membahas kesetaraan gender dan ekonomi inklusif. Ada pula forum Y20 yang bertujuan untuk menciptakan rekomendasi terkait peningkatan kualitas SDM.

Sumber: beritasatu.com
Sumber: beritasatu.com

G20 Indonesia mengajak dunia untuk bekerjasama, saling menguatkan melalui Recover Together, Recover Stronger agar lekas pulih. Dalam konteks inklusi keuangan, dapat dipahami bahwa pulihnya dunia akan lebih cepat terjadi jika dunia turut memulihkan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, maupun UMKM sebab mereka sebetulnya punya potensi ekonomi yang besar.

Studi McKinsey menyebut bahwa dunia akan memperoleh tambahan senilai US$12 triliun, atau 11% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia bila perempuan didorong untuk mengakses layanan keuangan. Bila layanan tersebut dioptimalisasi, maka bisa muncul kegiatan ekonomi senilai US$28 triliun, atau 26% dari PDB dunia di 2025. 

Pemuda adalah kunci nasib suatu negara ke depan. Mereka akan segera memasuki dunia kerja dan berkontribusi pada perekonomian negaranya. Potensi anak muda bisa memajukan ekonomi jika memperoleh modal dalam meningkatkan kualitas.

Hal ini juga sama dengan kelompok disabilitas. Dengan digitalisasi, penyandang disabilitas dapat memaksimalkan potensi mereka dalam kegiatan ekonomi. Digitalisasi dapat mempermudah proses akses modal dan sarana edukasi untuk mengangkat derajat mereka.

Tak ada yang bisa pulih jika sendiri-sendiri. Pulihnya ekonomi dunia tak bisa dilakukan jika hanya bergantung pada dunia usaha yang telah besar dan mapan saja. Memang sudah benar jika Smart Society 5.0 mensyaratkan kemampuan collaborative. Pengalaman krisis sebelumnya telah mengajarkan kita bahwa dunia tak bisa pulih secara berkelanjutan jika kita berjalan sendiri dan mengabaikan kelompok yang tidak sejahtera, mengesampingkan kaum marginal dan menghapus ketimpangan. Wujud nyata collaborative adalah dengan menguatkan mereka.

Presidensi G20 2022 membawa dampak positif nyata bagi Indonesia. Sebagai warga Indonesia, kita tentu harus menyambut positif dan mendukung hajat besar negara kita Presidensi G20 Indonesia. 

BI dan pemerintah, khususnya Kemenkeu RI telah memberikan upaya nyata untuk mengangkat kesejahteraan perempuan, penyandang disabilitas, dan kaum muda. Selanjutnya, good will yang telah diberikan pemerintah ini harus disambut dengan strong will dari seluruh masyarakat Indonesia untuk pulih bersama dan bangkit lebih kuat.

Referensi:

https://mediaindonesia.com/ekonomi/491696/indonesia-dorong-inklusi-keuangan-bagi-perempuan-pemuda-dan-umkm

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-percepatan-inklusi-keuangan-bagi-pemuda-wanita-dan-ukm-jadi-prioritas-presidensi-g20/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun