Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Budayakan Perilaku Energi Berkelanjutan Guna Mencapai Indonesia Net-Zero Emission 2060

21 Oktober 2021   07:59 Diperbarui: 21 Oktober 2021   08:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energi dan Bencana 'Manusia'

Peristiwa 'Kabut Pembunuh' tahun 1952 tak akan dilupakan oleh sejarah. Terhitung 12.000 jiwa warga London tewas olehnya dan disebut sebagai polusi udara terparah dalam sejarah Inggris. Kemunculan 'Kabut Pembunuh' dipicu oleh penggunaan batubara. Asap pembakarannya membentuk lapisan tebal kabut asap di langit Inggris. Empat tahun setelah tragedi itu, lahirlah undang-undang udara bersih untuk pertama kalinya.

'Kabut Pembunuh' mendorong para ilmuwan mulai meneliti dampak aktifitas manusia pada perubahan lingkungan. Hasilnya mengejutkan. Penggunaan energi fosil untuk aktiftas industri telah memicu peningkatan emisi karbon secara siginifikan. Dampaknya adalah global warming yang memicu bencana alam turunannya seperti kekeringan, perubahan iklim ekstrim, maupun tenggelamnya pulau-pulau. Ancaman ini nampak lebih buruk daripada 'Kabut Pembunuh'.

Global warming mendorong lahirnya Kyoto Protokol yang berisi tuntutan kepada negara maju agar bertanggungjawab atas 'dosanya' dan harus ditebus melalui upaya penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Sayangnya, industri dan teknologi terus menyebar ke negara berkembang seiring berjalannya waktu. Kini, hampir tiap orang di dunia memanfaatkan energi fosil baik untuk aktifitas produksi dan konsumsi. Negara berkembang yang 'berkiblat' pada industri negara maju pun akhirnya turut 'berdosa'. Sebab itu, disepakatilah Paris Agreement pada tahun 2015 yang membebankan penurunan emisi karbon pada seluruh negara.

Meski manusia adalah penyebab utama global warming beserta malapetaka turunannya, manusia tetaplah menjadi kunci untuk mengatasi bencana yang mereka 'ciptakan' itu. Kesimpulan ini disebut oleh Dasaiku Ikeda dan Arnold Toynbee dalam buku Perjuangkan Hidup (P.T. Indira: 1987). Jauh sebelum Paris Agreement, kedua tokoh pemikir kebudayaan itu telah mewacanakan penghentian kerusakan alam melalui revolusi sikap batin masing-masing individu manusia.

Revolusi batin mencakup dua hal: pertama adalah perlawanan terhadap napsu keserakahan. Kedua adalah mengubah persepsi relasi manusia terhadap alam. Jika semula kita menganggap alam sebagai lawan dan tawanan yang patut dieksploitasi, maka kini alam harus dipandang partner hidup manusia yang diwujudkan dalam hubungan keselarasan, timbal balik, saling memberi dan menerima.

Langit Nol-Bersih Emisi

Salah satu kebijakan lingkungan yang dihasilkan oleh Paris Agreement 2015 adalah Net-Zero Emissions (NZE). Kebijakan ini bersifat mengikat semua negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 2020.

Secara harfiah, NZE berarti Nol-Bersih Emisi Karbon. Namun, Net-Zero Emissions bukan dipahami sebagai upaya menghentikan manusia dari memproduksi emisi karbon sama sekali, sebab hal itu mustahil dilakukan. Secara alamiah, bumi dan manusia tidak bisa tak memproduksi karbon. Melalui aktifitas pernapasan saja, manusia telah menyumbangkan 5,8% terhadap volume emisi karbon tahunan. Kita juga tak mungkin menghentikan asap gunung berapi, rawa dan lainnya.

Maksud dari Nol-Bersih Emisi adalah semua produk karbon yang dihasilkan oleh aktifitas manusia tidak boleh lagi sampai menguap ke atmosfer, melainkan harus diserap habis di bumi. Ketika semua karbon telah berhasil diserap di bumi, maka terciptalah status atau keadaan karbon negative atau netto nol.

Bagaimana cara karbon diserap? Secara alamiah, pohon, laut, dan tanah dapat menyerap emisi karbon. Melalui proses reaksi kimia kompleks bernama fotosintesis, tumbuhan akan 'memakan' karbon, melepaskan unsur oksigen ke udara, lalu menggunakan karbon untuk guna mendukung pertumbuhannya. Bahkan, karbon dapat dikembalikan ke tanah menjadi bahan dasar logam. Sebab itu, ada istilah yang menyebut bahwa paru-paru dunia ada dua, yakni: lautan dan hutan. Jika kedua paru-paru ini terjaga baik, bahkan dikembangkan untuk mengimbangi produksi karbon, maka seluruh emisi mampu diserap di bumi. Sebaliknya, jika karbon menguap, melayang ke atmosfer maka karbon memiliki efek rumah kaca, dimana panas akan dipantulkan kembali ke dalam (bumi). Hal inilah yang menyebabkan global warming.

Dimana peran manusia? Kita bisa berkontribusi melalui aksi-aksi keikliman seperti mitigasi, pajak karbon, perdagangan karbon, reboisasi, mencegah deforestasi, kerusakan lautan maupun upaya lainnya. Sejauh ini, belum ada teknologi yang mampu mensubtitusi pohon dan lautan untuk memproses karbon. Maka, kontribusi manusia banyak diharapkan melalui pengendalian perilaku konsumsi dan produksinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun