Mohon tunggu...
Alif Sepulloh
Alif Sepulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Hukum | Universitas Jendral Soedirman

Apapun itu tentang: Cinta, Politik, Hukum, dan HAM.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eskalasi Ketegangan Security Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Respons Seperti Apa yang Harus Pemerintah Indonesia Lakukan?

25 Mei 2024   11:58 Diperbarui: 28 Mei 2024   10:09 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.kumparan.com/amp/boy-anugerah/menyoal-konflik-antarnegara-di-laut-cina-selatan-1vC5dD6b7fF

PENDAHULUAN

Permasalahan laut China Selatan merupakan konflik kedaulatan yang kompleks dengan dunia internasional karena berpengaruh dengan keberlangsungan perdagangan dunia. Seperti Indonesia, negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau, salah satu contohnya adalah Natuna, pulau yang seringkali menjadi sengketa dengan China karena posisinya yang menjorok ke Laut China Selatan. Namun, bukan hanya Indonesia saja yang berselisih dengan Laut China Selatan, ada juga beberapa negara-negara ASEAN yang juga terlibat dalam konflik regional ini seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam yang sama-sama merebutkan Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel terhadapChina. Hal ini dikarenakan klaim sepihak China atas wilayah Laut China Selatan dengan tujuan memperluas kawasan kedaulatannya hingga menjangkau perairan negara-negara tersebut. Secara internasional, Indonesia sendiri mempunyai perspektif bahwa daerah tersebut sudah masuk  wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Kepulauan Natuna Utara berdasarkan Hukum Laut UNCLOS 1982 (United Nation Convention Law of The Sea) Pasal 56 ayat (1), yang artinya Indonesia berhak dan berdaulat melakukan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Di sisi lain, China tidak mengakui Hukum Laut UNCLOS 1982 dengan alasan telah mengeluarkan klaim peta perairan sendiri yang merinci kedaulatan China atas kawasan Laut China Selatan yang dikenal istilah Nine Dashed Line, artinya Sembilan Garis Putus-putus sebagai penanda atau batas pemisah imajiner yang digunakan pemerintah China untuk mengklaim sebagian besar, yakni 90 persen wilayah Laut China Selatan (Agusman, 2016: 34).

Secara historis dan empiris, hingga tulisan ini dibuat, konflik tersebut belum menemukan solusi yang tepat dan cermat. Menurut penulis, ada beberapa alasan mengapa konflik ini tidak terselesaikan dan terus diperebutkan. Pertama, faktor geografis, Laut China Selatan merupakan jalur strategis perdagangan internasional lintas laut yang menjangkau wilayah Eropa, Amerika, dan Asia, jadi wilayah tersebut sangat dibutuhkan oleh negara-negara ASEAN untuk pertumbuhan negaranya. Kedua, perairan tersebut mengandung SDA yang sangat melimpah, meliputi minyak, gas bumi, keanekaragaman hayati, dan kaya akan sumber daya perikanan yang cukup besar. Ketiga, faktor ekonomi wilayah Asia memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat yang membuat negara-negara adidaya seperti China hingga Amerika berkeinginan untuk menguasainya karena wilayah tersebut dianggap memiliki nilai ekonomis untuk kemajuan suatu negara.

PEMBAHASAN

Konflik ini merupakan bukan suatu masalah yang sepele bagi Indonesia. Parameter besar atau kecilnya konflik keamanan selalu jadi alasan untuk mengantisipasi segala adanya dampak yang besar bagi negara. Menurut pandangan penulis sendiri, Indonesia sebagai negara kepulauan harus bersikap tegas dalam merespon  permasalahan ini. Pandangan ini didasarkan atas alasan karena permasalahan konflik Laut China Selatan  tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap stabilitas pertahanan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti ancaman serangan nelayan asing, okupasi wilayah sengketa, bahkan eksploitasi kekayaan sumber daya laut yang melimpah. Karena pada dasarnya Indonesia juga termasuk negara yang dianggap memiliki posisi penting dan berpengaruh terhadap peran diplomasi antara negara ASEAN dalam sengketa Laut China Selatan.

Menurut penulis, penyelesaian yang bisa dilakukan Indonesia salah satunya adalah Indonesia harus menerapkan kebijakan politik luar negeri yang cermat dalam merespon konflik Laut China Selatan, seperti dengan menggunakan metode pendekatan militer, pendekatan hukum, hingga pendekatan sosial dan ekonomi.

Pendekatan militer adalah pendekatan yang mengedepankan diplomasi pertahanan dan keamanan negara atau bisa disebut sebagai kebijakan strategi pertahanan. Karena perlu dicermati konflik ini adalah konflik yang tidak jauh dengan persepsi ancaman. Pada hierarki pertahanan Indonesia, kebijakan pertahanan merupakan acuan pembangunan kekuatan keamanan. Dalam Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara disinggung secara garis besar mengenai persepsi ancaman negara, salah satunya adalah ancaman faktual konflik yang terjadi di wilayah perbatasan. Salah satu cara dalam metode  pendekatan militer adalah Indonesia dapat menambah dan memperbarui fasilitas pertahanan yang biasa dikenal sebagai Minimum Essential Force (MEF) di wilayah Natuna untuk mengakomondasi alat-alat pertahanan baik darat, laut, dan udara untuk memperkuat kehadiran militer secara khusus di wilayah perbatasan. Dengan memperkuat kehadiran militer di wilayah perbatasan secara mencolok di Natuna, Indonesia secara langsung dapat menjaga dan mengawasi daerah kawasan yang kaya akan minyak dan gas serta sumber daya laut perikanannya. Walaupun pendekatan militer bukan salah satu cara utama untuk menyelesaikan masalah ini karena statusnya hanya defensive dari ancaman namun, setidaknya dapat mempertahankan kedaulatan NKRI dengan lebih kuat.

Berikutnya dengan pendekatan hukum yang juga harus dilakukan. Karena permasalahan konflik sengketa ini dalam hukum internasional terutama hukum laut berkaitan dengan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara. Dalam melakukan pendekatan hukum, Indonesia dapat berpedoman dengan landasan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan dan Pengundangan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena pada dasarnya Indonesia memiliki status hukum yang kuat daripada China yang menggunakan dasar aturan Nine Dash Nine dan ditambah lagi dengan kelakuan China yang seringkali melanggar zona eksklusif perairan Indonesia seperti melakukan illegal fishing. Artinya Indonesia dapat dengan tegas melakukan gugatan jalur hukum, seperti yang dilakukan Filipina dengan membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea (Mahkamah Internasional bentukan UNCLOS) atau Permanent Court of Arbitration yang memiliki kewenangan dalam urusan sengketa wilayah laut antar negara.

Setelah melakukan pendekatan militer dan pendekatan hukum, Indonesia juga dapat melakukan pendekatan sosial dan ekonomi. melalui pendekatan sosial dan ekonomi yang holistik dan berkelanjutan, Indonesia bisa memperkuat kedaulatan ekonomi dan mengurangi kerentanan terhadap ancaman konflik di Laut China Selatan. Karena posisi Laut China Selatan menjadi daerah strategis perdagangan antar negara dan menjadi ladang sumber daya gas, minyak, dan perikanan. Jadi secara tidak langsung konflik ini sangat berkaitan erat dengan keberlangsungan ekonomi suatu negara. Upaya yang dapat Indonesia lakukan salah satunya adalah mempererat kerja sama ekonomi dengan negara-negara ASEAN dan mitra regional lainnya yang meliputi pembentukan perjanjian perdagangan yang lebih kuat, fasilitasi investasi lintas-batas, dan pengembangan koridor ekonomi khusus di wilayah strategis. Dengan melakukan upaya diplomasi dan kerjasama multilatera, Indonesia dapat memiliki sarana efektif untuk memperjuangkan kedaulatan laut. Indonesia juga perlu berperan aktif dalam forum-forum internasional seperti PBB, ASEAN, dan organisasi regional lainnya untuk memperjuangkan posisinya dalam isu Laut China Selatan.

Namun, penting juga untuk mengenali bahwa penyelesaian konflik di Laut China Selatan tidaklah mudah dan membutuhkan pendekatan yang berkelanjutan serta komitmen dari semua pihak terlibat. Selain itu, Indonesia juga harus mempertimbangkan aspek geopolitik dalam mengambil keputusan dan perlu mempertimbangkan dampak ekonomi, politik, dan keamanan dari setiap langkah yang diambil dalam merespon ancaman tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun