Mohon tunggu...
Alif Raung Firdaus
Alif Raung Firdaus Mohon Tunggu... -

Lelaki, itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sastra dan Pesantren

13 Agustus 2013   11:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:22 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

oleh: Alif Raung Firdaus*

Qaala muhammadun huwa ibnu maliki

Ahmadu Rabbiy illaha khaira maliki

(Nazham Alfiyah Ibnu Malik)

Pukul empat sore. Suara lantunan syi’ir menggema hingga sudut-sudut pesantren. Pertanda akan segera dimulainya pengajian kitab yang diasuh oleh Kyai. Bagi setiap santri salaf, tentu bunyi syi’iran di atas sudah tidak asing lagi. Bahkan sudah mendarah-daging dalam kehidupan mereka. Wajar saja, sebab syi’iran yang menjadi dasar acuan dalam pembelajaran ilmu nahwu (gramatikal bahasa arab) tersebut senantiasa terus ada dan berjalan mengiringi keberlangsungan hidup sebuah pesantren. Selain syi’ir di atas, juga dikenal berbagai macam syi’iran yang juga tidak asing di telinga para santri. ini menunjukkan bahwasanya pesantren tidak lepas dari dunia sastra, dunia syi’ir khusunya. Selain syi’ir-syi’ir tersebut, juga dikenal kitab-kitab para ulama’ salaf yang kaya akan nilai-nilai sastra. bukankah dunia pesantren juga tidak dapat dilepaskan dari dunia tulis-menulis?

Sastra pesantren, mungkin sudah menjadi wacana yang tidak asing lagi dalam perbincangan kesusastraan kita. Bahkan menjadi polemik yang cukup panas dengan penolakan Binhad Nurrahmad atas penamaan “sastra pesantren” tersebut. Yang katanya hanya sebatas label tanpa konsep estetika yang jelas dan meyakinkan. Tapi tidak ada salahnya jika kita sedikit menghargai penamaan istilah “sastra pesantren” tersebut. Mengingat, banyak sekali penulis-penulis sastra (sastrawan) yang lahir dari ranah pesantren. Dengan catatan, kita menilai mereka sebatas dari latar kehidupan dan karya-karya mereka. Karena bagaimana pun, sebuah istilah atau penamaan terhadap genre tertentu juga membutuhkan kejelasan secara definitif dan teoretis berkaitan dengan istilah tersebut. Semisal “sastra perlawanan” yang dimotori oleh Hudan Hidayat jelas memiliki konsep estetika maupun tema yang sedikit berbeda dengan karya-karya pada umumnya. Demikian pula “sastra pesantren”, yang masih mencari kejelasan di tengah kemunculan sastra sufistik ataupun sastra islami dan sebagainya. Tapi sekali lagi, kita akan sedikit lebih menghargai karya-karya penulis pesantren. Bagaimanapun gaya penulisan mereka.

Banyak nama-nama penulis besar yang digadang-gadangkan sebagai sastrawan pesantren atau orang-orang yang menempati garda terdepan sastra pesantren. Sebutlah beberapa nama, semisal A. Mustofa Bisri (dikenal dengan nama Gus Mus), Emha Ainun Nadjib, Mathori E elwa, Jamal D Rahman, Abidah El-Khalieqy, D. Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, Binhad Nurrahmad, Acep Zamzam Noor, dan banyak lagi lainnya. Atau kalau boleh menyebutkan mereka yang masih muda-muda, semisal Achmad Faqih Mahfudz, Zaki Zarung, Mohammad Al-Fayyadl dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dalam ranah sastra Indonesia –kalau kita berbicara dalam ranah yang lebih global lagi- nama-nama mereka cukup diperhitungkan. Bahkan sudah malang-melintang dalam percaturan media-media sastra Indonesia. Ini dapat menjadi bukti, bagaimana dunia pesantren dapat melahirkan penulis-penulis besar yang professional.

Ada beberapa faktor yang sangat mendukung bagi munculnya karya-karya sastra yang dilahirkan oleh para santri ataupun mereka yang punya ikatan batin dengan dunia pesantren. Salah satunya, sebagaimana saya sebut di atas, yaitu ketidak-asingan mereka dengan karya-karya sastra yang berasal dari arab. Seperti syi’iran-syi’iran tersebut. Yang sudah menjadi menu wajib sebagai penunjang pembelajaran mereka di pesantren. Di dalam proses pembelajarannya pun mereka tidak terlalu jauh dari syi’ir-syi’ir Arab. Sebutlah semacam Alfiyah Ibnu Malik, Nazham Maqsud, Nazham ‘Imrithy, yang wajib untuk mereka pelajari dan pahami sebagai dasar landasan dalam studi gramatikal bahasa arab. Bahkan, kitab suci Al-qur’an sendiri, pedoman hidup mereka sehari-hari, merupakan Maha Karya Agung yang diciptakan oleh Yang Maha Agung, sarat dengan nilai-nilai sastra Yang juga Maha Agung.menjadi tidak mengherankan, ketika dari Rahim pesantren muncul beberapa penyair yang mumpuni dalam mengolah kata menjadi bait-bait puisi ataupun cerpen yang indah. Selain itu, pergelutan mereka secara langsung dengan dunia transenden juga sangat mempengaruhi watak sosial mereka. Dalam lima waktu, mereka mengikuti sholat berjamaah di masjid, mengaji kitab (sorogan) bersama Kiai, juga kegiatan kecil semacam bersih-bersih pesantren yang juga dilakukan secara berjamaah. Bahwa mereka adalah manusia-manusia yang memiliki ikatan emosional yang kuat satu sama lain adalah sangat tidak mengherankan. bahwa mereka juga telah menjalani kehidupan yang sungguh nyata, bermasyarakat dalam lingkup yang kecil, berumah tangga dengan teramat sederhana, adalah juga sungguh tidak mengherankan. Sehingga tidak jarang mereka-mereka dapat menghasilkan sebuah karya yang menjadi cerminan kepekaan mereka terhadap gejolak sosial di sekitar mereka.Melaluirefleksimereka, renungan yang dalam, dantafakkurmerekaselamamenuntutilmu di dalamnya.

Alhasil, kita mungkin perlu sedikit kail untuk memancing ghirah warga pesantren yang mungkin kurang antusias akan hal ini. Agar keberlangsungan kreativitas tetap berjalan dan berkesinambungan. Karya-karya sastra terus bertumbuhan dan berkembang biak dengan sehat dan lancar di dalamnya. Sebuah apresiasi mungkin sangat diperlukan dari mereka-mereka yang berada di lingkungan pesantren. Semisal dengan menyediakan lahan kreativitas bagi mereka yang mempunyai bakat dan minat dalam dunia tulis-menulis sastra. tentu perlu kita ingat, bahwasanya syi’ar islam tidak semata melalui ceramah atau pun khutbah keagamaan, atau bahkan mungkin lewat kekerasan-kekerasan seperti yang selama ini diamini oleh aliran-aliran islam garis keras. Tidak. Tapi melalui media bacaan, islam akan lebih dikenal dan mudah dihayati. Bukankah kita juga yang akan bangga, tatkala dunia pesantren sebagai benteng pertahanan kita, menjadi begitu mewangi laksana kesturi, lantaran karya-karya yang dihasilkan oleh manusia-manusia di dalamnya kian marak dan bersemi. Semoga!

*penulis adalah seorang penggiat seni budaya yang juga bergiat di PMII STAIN Jember. Saat ini bemukimdi Mangli, Jember, sembari menjalani studi kuliahnya di STAIN Jember.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun