Mohon tunggu...
Alief Ramadhan Dwi Putra
Alief Ramadhan Dwi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Teknik Informatika - Universitas Mercu Buana

Nama : Alief Ramadhan Dwi Putra Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursis Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   02:13 Diperbarui: 15 Desember 2023   10:26 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Canva by Alief Ramadhan

Nama : Alief Ramadhan Dwi Putra


NIM : 41520010214

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Dosen : Prof.Dr.Apollo, Ak, M.Si.

PENDAHULUAN

Canva by Alief Ramadhan
Canva by Alief Ramadhan

Wacana Edwin Sutherland, sosiolog kejahatan Amerika Edwin H., memberikan pemahaman mendalam tentang teori asosiasi diferensial. Ia diakui sebagai tokoh kunci dalam pengembangan teori ini, di mana individu memperoleh perilaku kriminal melalui interaksi sosial dan hubungan dengan individu yang terlibat dalam kegiatan ilegal (Sutherland, 1939). Dalam karya seminalnya berjudul "Principles of Criminology," Sutherland menyajikan pendekatan yang berbeda dari teori klasik, menekankan bahwa perilaku kriminal dipengaruhi oleh proses pembelajaran dalam konteks sosial (Sutherland, 1945).

Langkah-langkah strategis disarankan, seperti penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi pemerintahan, reformasi kebijakan bisnis, dan edukasi masyarakat. Penerapan teori asosiasi diferensial dalam merumuskan kebijakan pencegahan korupsi menekankan pendekatan holistik dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat.

Teori Asosiasi Diferensial Sutherland

Teori asosiasi diferensial Edwin Sutherland, khususnya teori diferensiasi, telah menjadi landasan penting dalam pemahaman perilaku kriminal. Teori ini mengemukakan bahwa nilai, norma, dan teknik perilaku kriminal diperoleh melalui interaksi dengan individu di lingkungan sekitar, terutama dalam keluarga, teman sebaya, dan komunitas. Dalam konteks teori ini, hubungan yang erat dengan individu yang terlibat dalam kegiatan kriminal dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mempelajari dan mengadopsi perilaku tersebut. Konsep diferensiasi menjelaskan bagaimana individu dapat mengembangkan preferensi terhadap perilaku kriminal daripada perilaku tradisional melalui proses pembelajaran sosial.

Kritik dan perkembangan teori asosiasi diferensial telah muncul seiring waktu, namun konsep Sutherland tetap relevan dalam analisis kriminologis modern. Penerapan praktis dan studi empiris teori ini telah membantu merancang kebijakan pencegahan kejahatan yang efektif dan berbasis bukti.

Teori Asosiasi Diferensial dalam Konteks Korupsi di Indonesia

Namun, teori asosiasi diferensial Sutherland tidak hanya relevan dalam konteks kejahatan umum tetapi juga dapat diterapkan dengan efektif dalam menjelaskan fenomena korupsi di Indonesia. Fenomena korupsi di Indonesia menciptakan masalah kompleks dan mendalam yang berdampak serius terhadap stabilitas ekonomi dan pondasi moral masyarakat. Praktik korupsi, dengan eksploitasi kekuasaan atau status untuk keuntungan pribadi, merambah berbagai sektor masyarakat.

Banyak faktor yang mendukung keberlanjutan korupsi di Indonesia, salah satunya adalah rendahnya upah pegawai sektor publik, meningkatkan kemungkinan penyuapan, dan perpajakan ilegal. Kurangnya keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan lemahnya sistem pemantauan juga menciptakan kesenjangan dalam praktik korupsi. Selain itu, budaya nepotisme dan keterlibatan yang masih terus berlanjut memperkuat siklus korupsi.

Dalam konteks ini, teori asosiasi diferensial Sutherland dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu, terutama yang berada dalam lingkungan yang mendukung praktik korupsi, mempelajari dan mengadopsi perilaku koruptif. Kelompok dekat, seperti pejabat pemerintah, perusahaan, atau organisasi terlibat dalam kegiatan korupsi, dapat memainkan peran penting dalam membentuk perilaku koruptif.

Teori wacana pidana dan konotasi diskriminatif Edwin Sutherland menjadi alat konseptual yang efektif untuk menjelaskan fenomena korupsi yang melibatkan interaksi sosial dan pembelajaran nilai-nilai kriminal. Indonesia, sebagai negara dengan tingkat korupsi yang menantang, memerlukan pemahaman mendalam untuk merumuskan solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Penerapan Teori Asosiasi Diferensial pada Kasus Korupsi

Penerapan teori asosiasi diferensial Sutherland dalam konteks kebijakan kriminal telah membuktikan efektivitasnya dalam menyusun strategi pencegahan yang lebih terfokus. Misalnya, program rehabilitasi yang berfokus pada perubahan lingkungan sosial individu dapat mengintervensi dalam pembelajaran nilai-nilai kriminal dan menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku positif. Studi empiris yang melibatkan pengumpulan data dan analisis statistik turut memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang faktor-faktor sosial yang dapat memengaruhi pembentukan perilaku kriminal.

Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori asosiasi diferensial Sutherland menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya merupakan tindakan individu, tetapi melibatkan kelompok atau organisasi yang terlibat dalam perilaku tidak etis. Praktik korupsi ini merugikan negara dalam hal pembangunan, alokasi dana, dan pelayanan publik, dengan faktor-faktor seperti rendahnya upah, kurangnya keterbukaan, dan budaya nepotisme memperkuat prevalensi korupsi.

Menghadapi kompleksitas tantangan korupsi di Indonesia, diperlukan langkah-langkah strategis. Penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi dalam administrasi pemerintahan, reformasi kebijakan bisnis, dan edukasi masyarakat menjadi landasan utama. Pendekatan ini sejalan dengan teori asosiasi diferensial Sutherland yang menekankan pada pembelajaran nilai-nilai kriminal melalui interaksi sosial.

Kunci utama dalam menghadapi masalah korupsi adalah terlibat secara holistik dari berbagai sektor masyarakat. Melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam upaya bersama untuk memerangi korupsi akan menciptakan momentum perubahan yang diperlukan. Kesinambungan dan konsistensi dalam implementasi solusi akan menjadi penentu keberhasilan untuk mencapai Indonesia yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih berintegritas. Dengan memahami hubungan dan interaksi antara individu, keluarga, dan komunitas, kebijakan pencegahan dapat lebih tepat sasaran dan efektif, membawa dampak positif pada perubahan budaya dan integritas di seluruh negara.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi

Peningkatan tingkat korupsi di Indonesia memunculkan kebutuhan mendesak akan upaya pencegahan dan penanggulangan yang komprehensif. Mencapai perubahan positif dalam mengatasi permasalahan korupsi tidaklah mudah dan memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Beberapa aspek yang krusial dalam upaya ini melibatkan penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan keterbukaan dalam administrasi pemerintahan, reformasi kebijakan bisnis, dan edukasi masyarakat tentang dampak negatif korupsi.

Pertama-tama, penguatan lembaga penegak hukum menjadi fondasi utama dalam memerangi korupsi. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diberdayakan dengan kapasitas yang lebih besar, termasuk peningkatan sumber daya manusia dan kekuasaan hukum. Selain itu, perlindungan terhadap independensi lembaga-lembaga ini harus menjadi prioritas untuk memastikan efektivitas dalam mengungkap dan menindak tindakan korupsi.

Peningkatan keterbukaan dalam administrasi pemerintahan juga menjadi langkah kunci. Transparansi dalam pengambilan keputusan, pengelolaan keuangan publik, dan pelibatan masyarakat dalam proses pengawasan dapat membantu mencegah praktik korupsi. Perbaikan sistem pelaporan dan penanganan pengaduan korupsi juga harus diutamakan untuk memberikan perlindungan kepada para pengadu dan mendorong partisipasi aktif dari masyarakat.

Reformasi kebijakan bisnis merupakan aspek penting lainnya yang harus dihadapi. Memperkenalkan aturan yang lebih ketat dan mekanisme pengawasan dalam transaksi bisnis dapat membantu mencegah korupsi di sektor swasta. Pembentukan etika bisnis yang kuat dan peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat menjadi langkah strategis dalam mengurangi insentif untuk terlibat dalam tindakan korupsi.

Selanjutnya, edukasi masyarakat mengenai dampak negatif korupsi perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran akan kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi dapat membangun dukungan masyarakat untuk upaya pencegahan. Program edukasi yang melibatkan sekolah, lembaga masyarakat, dan media dapat memainkan peran kunci dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap korupsi.

Pemahaman mendalam tentang akar permasalahan korupsi juga merupakan elemen vital dalam upaya pencegahan. Studi dan analisis mendalam tentang faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang memperkuat praktik korupsi perlu dilakukan. Identifikasi akar permasalahan ini dapat memberikan dasar untuk merancang strategi yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Tekad yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga swasta, masyarakat sipil, dan individu-individu, menjadi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang signifikan. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga tugas bersama seluruh masyarakat. Diperlukan sinergi antara berbagai pihak untuk mencapai hasil yang maksimal dalam melawan fenomena korupsi yang merugikan ini.

Dengan demikian, melalui pendekatan teoretis yang relevan dan pemahaman mendalam terhadap konteks sosial, Indonesia memiliki potensi untuk mengatasi permasalahan korupsi dengan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tugas bersama seluruh masyarakat untuk mencapai perubahan positif yang signifikan. Hanya dengan tekad yang kuat, kerjasama yang erat, dan implementasi langkah-langkah strategis secara berkelanjutan, Indonesia dapat mencapai kemajuan yang nyata dalam membangun masa depan yang bersih, adil, dan berintegritas.

Norma-Norma Koruptif dalam Kelompok Elit

Edwin Sutherland, seorang sosiolog Amerika terkemuka, memberikan kontribusi yang sangat berharga melalui teorinya yang terkenal, Differential Association, untuk pemahaman mendalam mengenai akar penyebab dan karakteristik kejahatan korupsi di Indonesia. Melalui pandangan Sutherland, kita belajar bahwa individu tidak lahir sebagai pelaku kejahatan; sebaliknya, mereka mempelajari perilaku kriminal melalui interaksi dengan individu yang mempromosikan nilai-nilai yang mendukung tindakan tersebut. Dalam konteks kejahatan korupsi yang melanda Indonesia, teori ini menyoroti bahwa interaksi di antara individu dalam kelompok elit dapat membentuk norma-norma yang membenarkan dan mendukung tindakan korupsi.

Sutherland menekankan bahwa korupsi bukanlah hasil dari sifat bawaan, melainkan merupakan produk dari proses pembelajaran sosial. Pandangan ini menyiratkan bahwa seseorang cenderung terlibat dalam tindakan korupsi jika mereka berinteraksi secara berulang dengan individu atau kelompok yang terlibat dalam perilaku tersebut. Dalam konteks ini, lingkungan sosial yang koruptif, baik itu dalam lingkungan keluarga, pergaulan dengan teman, lingkungan sekolah, atau bahkan di tempat kerja, dapat menjadi pemicu yang mendorong seseorang untuk mengadopsi perilaku koruptif.

Faktor-faktor yang disoroti oleh Sutherland sebagai pemicu terjadinya korupsi di Indonesia melibatkan adanya lingkungan sosial yang mendukung perilaku koruptif. Terus menerus berinteraksi dengan individu atau kelompok yang terlibat dalam praktik korupsi dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk terlibat dalam perilaku serupa. Selain itu, keberadaan kultur yang mempermudah atau membenarkan tindakan korupsi juga turut berkontribusi, tercermin dalam tingginya tingkat toleransi terhadap korupsi di masyarakat. Sikap yang menganggap korupsi sebagai hal yang umum dan tidak perlu dipermasalahkan dapat mempengaruhi perilaku individu.Proses sosialisasi yang tidak tepat juga diidentifikasi oleh Sutherland sebagai faktor pemicu korupsi. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang koruptif dan tidak mendapatkan pendidikan moral yang memadai, kecenderungan untuk menginternalisasi nilai-nilai yang mendukung korupsi dapat meningkat. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor ini menjadi kunci untuk merancang strategi yang efektif dalam mengatasi dan mencegah kejahatan korupsi di Indonesia.

Dalam konteks perumusan kebijakan pencegahan kejahatan korupsi, pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip teori Differential Association dapat membantu merumuskan pendekatan yang lebih terfokus. Upaya-upaya pencegahan tidak boleh terbatas pada penegakan hukum semata, tetapi harus mampu memahami dan merespons faktor-faktor sosial dan budaya yang mendasari tindakan korupsi.Selain itu, pendidikan masyarakat mengenai konsekuensi korupsi dan memberdayakan individu untuk menolak budaya permisif terhadap perilaku koruptif dapat menjadi instrumen penting dalam upaya pencegahan. 

Masyarakat perlu bersama-sama bertanggung jawab untuk membentuk lingkungan yang tidak hanya menjatuhkan sanksi terhadap pelaku korupsi, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai integritas dan transparansi sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari.Sebagai langkah lanjutan, kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan sektor swasta menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang lebih kuat dan efektif dalam melawan kejahatan korupsi. Melalui kerjasama, mereka dapat merancang dan melaksanakan program pendidikan, pelatihan, dan advokasi untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap korupsi.

Dengan demikian, melalui pendekatan holistik yang menggabungkan pemahaman teoretis dengan implementasi praktis, Indonesia memiliki potensi untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam mengatasi fenomena kejahatan korupsi. Pemahaman mendalam terhadap konsep Edwin Sutherland bukan hanya sebagai kajian akademis semata, melainkan sebagai panduan untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya efektif namun juga berkelanjutan dalam upaya memerangi korupsi. Ini adalah panggilan untuk mengubah paradigma dan membentuk masa depan Indonesia yang bersih, transparan, dan berintegritas.

 

Canva by Alief Ramadhan
Canva by Alief Ramadhan

Langkah-langkah Strategis untuk Mengatasi Korupsi di Indonesia

Langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan korupsi di Indonesia mencakup serangkaian upaya konkret yang melibatkan berbagai elemen pemerintah, masyarakat, dan lembaga independen. Salah satu tonggak penting dalam upaya memperkuat integritas dan mengurangi dampak negatif korupsi adalah pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen. KPK memiliki kewenangan luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi, menciptakan landasan hukum yang kokoh untuk mengatasi kejahatan ini.

Selain itu, implementasi undang-undang anti-korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan kerangka hukum yang menyeluruh dan komprehensif dalam menanggulangi korupsi. Undang-undang ini mencakup aspek pencegahan, penindakan, hingga rehabilitasi, menciptakan landasan hukum yang kuat dan holistik.

Meskipun langkah-langkah ini telah memberikan dasar yang kuat, kompleksitas fenomena korupsi menuntut pendekatan yang lebih luas dan mendalam. Kesadaran moral masyarakat menjadi fokus utama dalam upaya pencegahan korupsi, dianggap sebagai kunci utama untuk mencegah terjadinya perilaku koruptif. Oleh karena itu, langkah-langkah seperti pendidikan moral di sekolah, kampanye antikorupsi, dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan dan anggaran negara menjadi krusial. Meningkatkan kesadaran moral secara menyeluruh menjadi suatu tantangan dan peluang untuk menciptakan perubahan budaya yang mendasar.

Selain kesadaran moral, kualitas pendidikan juga memegang peran krusial dalam membentuk karakter yang kuat dan resisten terhadap lingkungan koruptif. Upaya meningkatkan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, serta memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi adalah langkah-langkah strategis yang dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung pembentukan moral dan etika yang positif.

Penguatan sistem hukum menjadi kunci utama dalam menekan angka korupsi. Sistem hukum yang kuat dan tegas dapat memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Oleh karena itu, reformasi peradilan, penguatan penegak hukum, dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu menjadi langkah-langkah yang harus terus diupayakan guna menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif.

Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pengawasan. Pengawasan yang kuat, terutama oleh aparat penegak hukum yang menjalankan tugasnya dengan baik, dapat mencegah terjadinya korupsi. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, pemberian kewenangan yang lebih luas, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi langkah strategis dalam menciptakan sistem pengawasan yang efektif.

Selain langkah-langkah tersebut, upaya reformasi sosial dan pendidikan menjadi kunci dalam membentuk karakter dan etika masyarakat yang kuat. Menciptakan lingkungan sosial yang kondusif, yang mendorong perilaku jujur dan antikorupsi, serta meningkatkan peran pendidikan dalam membentuk karakter menjadi langkah-langkah yang tidak boleh diabaikan.

Perlu diingat bahwa upaya-upaya ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat dan sektor swasta. Kesinambungan dan konsistensi dalam pelaksanaan upaya-upaya ini menjadi kunci untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan terintegrasi, mungkin untuk mengatasi permasalahan korupsi yang masih menjadi masalah kronis di negara ini.

Dalam hal ini, beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh mencakup:

  1. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
    • Pendirian KPK sebagai lembaga independen adalah tonggak penting.
    • Penguatan peran, kapasitas, dan perlindungan independensi KPK menjadi prioritas.
  2. Implementasi Undang-Undang Anti-Korupsi
    • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan kerangka hukum komprehensif.
    • Evaluasi dan pembaruan terus-menerus diperlukan agar tetap relevan.
  3. Kesadaran Moral Masyarakat
    • Pendidikan moral di sekolah dan kampanye antikorupsi menjadi langkah kunci.
    • Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan kebijakan dan anggaran diperlukan.
  4. Peningkatan Kualitas Pendidikan
    • Meningkatkan kualitas guru, menyediakan sarana pendidikan yang memadai.
    • Memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi untuk menciptakan lingkungan mendukung.
  5. Penguatan Sistem Hukum
    • Reformasi peradilan, penguatan penegak hukum, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci.
    • Menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif sebagai deterrence.
  6. Peningkatan Pengawasan
    • Penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan transparansi pengelolaan keuangan negara.
    • Memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menciptakan sistem pengawasan yang efektif.
  7. Reformasi Sosial dan Pendidikan
    • Menciptakan lingkungan sosial yang mendukung perilaku jujur dan antikorupsi.
    • Meningkatkan peran pendidikan dalam membentuk karakter positif.
  8. Keterlibatan Aktif Masyarakat dan Swasta
    • Keterlibatan aktif dari masyarakat dan sektor swasta adalah kunci utama.
    • Kesinambungan dan konsistensi dalam upaya bersama untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan terintegrasi, diharapkan Indonesia dapat mengatasi permasalahan korupsi yang masih menjadi masalah kronis. Melalui sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, perubahan positif dapat terjadi, memberikan dampak yang berkelanjutan bagi kemajuan negara ke arah yang lebih adil, bermoral, dan berintegritas

PENUTUP


Artikel ini menggabungkan teori asosiasi diferensial Edwin Sutherland dengan konteks kejahatan korupsi di Indonesia, menyoroti kontribusinya dalam memahami akar penyebab perilaku kriminal. Teori Sutherland menekankan bahwa korupsi bukanlah hasil dari sifat bawaan, melainkan produk dari proses pembelajaran sosial melalui interaksi dengan individu yang terlibat dalam kegiatan ilegal.

Dalam pemahaman teori asosiasi diferensial, faktor-faktor seperti lingkungan sosial yang mendukung perilaku koruptif, tingginya toleransi terhadap korupsi, dan proses sosialisasi yang tidak tepat diidentifikasi sebagai pemicu utama terjadinya korupsi. Artikel ini menjelaskan bahwa individu tidak secara alamiah menjadi pelaku kejahatan; sebaliknya, mereka mempelajari perilaku kriminal melalui interaksi berulang dengan individu atau kelompok yang terlibat dalam praktik koruptif.

Penerapan teori asosiasi diferensial dalam konteks kebijakan pencegahan korupsi di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Strategi ini mencakup penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi dalam administrasi pemerintahan, reformasi kebijakan bisnis, dan peningkatan kesadaran moral masyarakat. Melalui pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor yang mendasari tindakan korupsi, langkah-langkah pencegahan dapat dirancang dengan lebih terfokus dan efektif.

Langkah-langkah strategis yang diusulkan untuk mengatasi korupsi mencakup penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), implementasi undang-undang anti-korupsi, peningkatan kesadaran moral masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, penguatan sistem hukum, peningkatan pengawasan, reformasi sosial dan pendidikan, serta keterlibatan aktif masyarakat dan sektor swasta. Kesinambungan dan konsistensi dalam upaya bersama menjadi kunci untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan dalam memerangi korupsi di Indonesia.

Artikel menekankan bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi merupakan tanggung jawab bersama untuk membentuk masa depan Indonesia yang bersih, adil, dan berintegritas. Dengan tekad yang kuat, kerjasama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta implementasi langkah-langkah strategis secara berkelanjutan, Indonesia memiliki potensi untuk mencapai kemajuan signifikan dalam mengatasi fenomena kejahatan korupsi. Ini adalah panggilan untuk perubahan paradigma dan kolaborasi aktif dalam menciptakan lingkungan yang menghargai integritas dan transparansi di seluruh negeri.

Sumber:

Bunga, M., Dg Maroa, M., Arief, A., & Djanggih, H. (2019). Urgensi Peran Serta Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Law Reform: Jurnal Pembaharuan Hukum, 15(1), 85--97. https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23356

Suhandi, M. F., & Agustin, S. (2023). Penddikan Anti Korupsi Pada Perguruan Tinggi. Nas Media Pustaka Makassar,6(11), 951--952., 01(Mi), 5--24.

Sutherland, E. H. (1945). Is "White Collar Crime" Crime? American Sociological Review, Vol. 10(No. 2), 132--139. http://faculty.washington.edu/matsueda/courses/371/Readings/White Collar Crime.pdf

Sudirman D. Hurry.(2020). PENCEGAHAN KORUPSI MELALUI PEMBANGUNAN KOMPETENSI SOSIO KULTURAL (INTEGRITAS) PNS.

Alatas, Syed Husein. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: Media Pratama.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun