Mohon tunggu...
Alief Ramadhan Dwi Putra
Alief Ramadhan Dwi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Teknik Informatika - Universitas Mercu Buana

Nama : Alief Ramadhan Dwi Putra Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursis Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   02:13 Diperbarui: 15 Desember 2023   10:26 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, implementasi undang-undang anti-korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan kerangka hukum yang menyeluruh dan komprehensif dalam menanggulangi korupsi. Undang-undang ini mencakup aspek pencegahan, penindakan, hingga rehabilitasi, menciptakan landasan hukum yang kuat dan holistik.

Meskipun langkah-langkah ini telah memberikan dasar yang kuat, kompleksitas fenomena korupsi menuntut pendekatan yang lebih luas dan mendalam. Kesadaran moral masyarakat menjadi fokus utama dalam upaya pencegahan korupsi, dianggap sebagai kunci utama untuk mencegah terjadinya perilaku koruptif. Oleh karena itu, langkah-langkah seperti pendidikan moral di sekolah, kampanye antikorupsi, dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan dan anggaran negara menjadi krusial. Meningkatkan kesadaran moral secara menyeluruh menjadi suatu tantangan dan peluang untuk menciptakan perubahan budaya yang mendasar.

Selain kesadaran moral, kualitas pendidikan juga memegang peran krusial dalam membentuk karakter yang kuat dan resisten terhadap lingkungan koruptif. Upaya meningkatkan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, serta memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi adalah langkah-langkah strategis yang dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung pembentukan moral dan etika yang positif.

Penguatan sistem hukum menjadi kunci utama dalam menekan angka korupsi. Sistem hukum yang kuat dan tegas dapat memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Oleh karena itu, reformasi peradilan, penguatan penegak hukum, dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu menjadi langkah-langkah yang harus terus diupayakan guna menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif.

Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pengawasan. Pengawasan yang kuat, terutama oleh aparat penegak hukum yang menjalankan tugasnya dengan baik, dapat mencegah terjadinya korupsi. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, pemberian kewenangan yang lebih luas, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi langkah strategis dalam menciptakan sistem pengawasan yang efektif.

Selain langkah-langkah tersebut, upaya reformasi sosial dan pendidikan menjadi kunci dalam membentuk karakter dan etika masyarakat yang kuat. Menciptakan lingkungan sosial yang kondusif, yang mendorong perilaku jujur dan antikorupsi, serta meningkatkan peran pendidikan dalam membentuk karakter menjadi langkah-langkah yang tidak boleh diabaikan.

Perlu diingat bahwa upaya-upaya ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat dan sektor swasta. Kesinambungan dan konsistensi dalam pelaksanaan upaya-upaya ini menjadi kunci untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan terintegrasi, mungkin untuk mengatasi permasalahan korupsi yang masih menjadi masalah kronis di negara ini.

Dalam hal ini, beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh mencakup:

  1. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
    • Pendirian KPK sebagai lembaga independen adalah tonggak penting.
    • Penguatan peran, kapasitas, dan perlindungan independensi KPK menjadi prioritas.
  2. Implementasi Undang-Undang Anti-Korupsi
    • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan kerangka hukum komprehensif.
    • Evaluasi dan pembaruan terus-menerus diperlukan agar tetap relevan.
  3. Kesadaran Moral Masyarakat
    • Pendidikan moral di sekolah dan kampanye antikorupsi menjadi langkah kunci.
    • Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan kebijakan dan anggaran diperlukan.
  4. Peningkatan Kualitas Pendidikan
    • Meningkatkan kualitas guru, menyediakan sarana pendidikan yang memadai.
    • Memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi untuk menciptakan lingkungan mendukung.
  5. Penguatan Sistem Hukum
    • Reformasi peradilan, penguatan penegak hukum, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci.
    • Menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif sebagai deterrence.
  6. Peningkatan Pengawasan
    • Penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan transparansi pengelolaan keuangan negara.
    • Memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menciptakan sistem pengawasan yang efektif.
  7. Reformasi Sosial dan Pendidikan
    • Menciptakan lingkungan sosial yang mendukung perilaku jujur dan antikorupsi.
    • Meningkatkan peran pendidikan dalam membentuk karakter positif.
  8. Keterlibatan Aktif Masyarakat dan Swasta
    • Keterlibatan aktif dari masyarakat dan sektor swasta adalah kunci utama.
    • Kesinambungan dan konsistensi dalam upaya bersama untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan terintegrasi, diharapkan Indonesia dapat mengatasi permasalahan korupsi yang masih menjadi masalah kronis. Melalui sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, perubahan positif dapat terjadi, memberikan dampak yang berkelanjutan bagi kemajuan negara ke arah yang lebih adil, bermoral, dan berintegritas

PENUTUP


Artikel ini menggabungkan teori asosiasi diferensial Edwin Sutherland dengan konteks kejahatan korupsi di Indonesia, menyoroti kontribusinya dalam memahami akar penyebab perilaku kriminal. Teori Sutherland menekankan bahwa korupsi bukanlah hasil dari sifat bawaan, melainkan produk dari proses pembelajaran sosial melalui interaksi dengan individu yang terlibat dalam kegiatan ilegal.

Dalam pemahaman teori asosiasi diferensial, faktor-faktor seperti lingkungan sosial yang mendukung perilaku koruptif, tingginya toleransi terhadap korupsi, dan proses sosialisasi yang tidak tepat diidentifikasi sebagai pemicu utama terjadinya korupsi. Artikel ini menjelaskan bahwa individu tidak secara alamiah menjadi pelaku kejahatan; sebaliknya, mereka mempelajari perilaku kriminal melalui interaksi berulang dengan individu atau kelompok yang terlibat dalam praktik koruptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun