Sang mentari muncul untuk menyambut dunia, burung-burung berterbangan melintasi langit yang mulai hangat, bunga Anggrek itu pun sudah mulai mekar. Tetapi aku masih saja terbaring diatas ranjang favorit itu dengan malas.
Aku terbangun setelah semalam begadang untuk menonton pertandingan bola. Saat itu, hari kedua bulan Januari, hari pertama masuk sekolah di Semester kedua. Dengan malasnya aku beranjak pergi ke kamar mandi, dengan berbagai persiapan sekolah yang sudah disediakan, aku masih malas ke sekolah. Mungkin karena post-holiday syndrome yang mengutukku kali ini.
Jam dinding menunjuk pukul enam pagi dan ku sudah bersiap untuk pergi sekolah. Tidak seperti biasanya aku berangkat sepagi ini. Tak lain hanya karena untuk menghindari macetnya jalanan Ibukota yang semakin parah, hari demi hari.
Suasana sekolah pun masih sepi, burung kakaktua kepala sekolah yang sesekali menanyakan kabar didalam kandang, para karyawan yang menyapu sekitaran kelas-kelas, dan aku pun masih sendiri. Tiada teman yang datang sepagi itu.
Pukul setengah tujuh pun berlalu, bel sekolah sudah berbunyi menandakan awal pelajaran telah dimulai. Bapak guru yang saat itu menjadi wali kelasku tiba-tiba masuk dengan seorang murid baru, perempuan.
Bapak guru berkata, "Anak-anak, ini teman baru kalian. Perkenalkan, namanya Nata. Dia berasal dari Tanjung Pandan, Belitung."
Seketika mataku terbelalak melihat raut mukanya. Dengan wajah yang putih dan manis telah membuatku terpesona, tingginya juga sama sepertiku. Saat memperkenalkan diri pula aku mendengarkan suaranya yang lembut.
Setelah memperkenalkan diri, dia duduk dengan Dita, bangku sebelah. Saat itu, aku merasa senang karena dia berada di dekatku. Aku mulai merasakan semangat bersekolah untuk memulai hari. Ketika pelajaran berlangsung, aku bersemangat dan tidak dapat berkonsentrasi memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Mungkin karena cinta pandangan pertama yang menjadikanku seperti ini.
Saat istirahat, Ani berkenalan dengan teman-teman perempuan lainnya. Aku juga ingin berkenalan dengannya. Tetapi, rasa malu itu sudah muncul terlebih dahulu. Sial. Aku berpikir bahwa berkenalan dengan dirinya bisa ditunda, karena aku tidak mau dijadikan bahan tertawaan anak-anak lainnya.
Ketika bel pulang sudah berbunyi, aku bergegas mengikutinya. Mengikutinya dari belakang merupakan perkara yang susah. Setiap kali diikuti, dia juga menoleh ke belakang dengan tersipu malu dan terheran-heran. Ketika menoleh, aku memasang muka polos tidak tahu tentang apa-apa.
Perjalananku terhenti di dekat gerbang sekolah karena dia menaiki mobil penjemputnya. Perasaan sedih merasuki diriku. Karena berpisah dengannya walaupun hanya pergi untuk pulang ke rumah. Aku pun pulang dengan wajah yang sedu.
Setibanya di rumah saat malam hari. Aku bergegas membersihkan diri dan langsung menuju kamar. Di meja belajar aku mulai memikirkannya. Sedang apa dia? Rumahnya dimana? Apakah dia baik-baik saja?
Purnama menyinari malam itu dengan terang, tidak ada burung yang berlalu-lalang diatas langit, hanya ada kelompok kucing yang saling tengkar merebut pasangannya saat musim kawin. Aku masih memikirkannya sehingga lupa belajar. Saat itu pula aku teringat akan belajarku untuk keesokan harinya. Akhirnya, aku belajar di tengah malam yang sunyi dengan ditemani oleh bayangan raut wajah yang lembut itu.
> Ditulis saat mengerjakan soal UAS tentang membuat cerpen tema bebas, 3 Desember 2018
https://alifmaulr.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H