Tulisan ini sudah lama ingin kubuat, bisa dibilang sekitar enam bulan yang lalu. Namun, karena ada beberapa deadline yang harus dikerjakan, berimbas kepada tak siapnya tulisan ini. Sekarang, aku sudah tidak memiliki terlalu banyak deadline, segalanya sudah terselesaikan satu demi satu, hanya menunggu hasilnya di akhir tahun nanti. Semoga Tuhan memberkati.
Seperti judul tulisan ini, isinya tak akan jauh-jauh membahas perihal itu, benar, wartawan. Nampaknya, tak perlu penulis paparkan apa dan bagaimana sistem kerjanya, tentu pembaca sudah mengetahuinya, karena kerap sekali dengan kehidupan masyarakat. Bertugas sebagai kontrol sosial, kalau bahasa kerennya social control.
Namun, penulis mengetahui jika pembaca tidak semua pintar dan paham tentang apa itu wartawan. Karena penulis merasa iba, karena pembaca sangat dangkal wawasannya, penulis ingin memberikan penjelasan singkat mengenai apa itu wartawan. Sebelum itu, jangan marah jika di paragraf ini kata-kata dari penulis sedikit kasar, atau malah sangat kasar. Semua itu ada tujuan, yang tak bisa disebutkan apa tujuannya.
Dari ilmu yang penulis dapat selama berproses di dunia jurnalistik selama dua tahun terakhir, dilanjutkan dengan latar belakang pendidikan penulis yang sekarang mengambil studi komunikasi penyiaran Islam di salah satu Universitas yang katanya Islam ini, akan mencoba memaparkan apa itu dunia kewartawanan. Singkat kata, wartawan itu adalah pencari fakta, mulai dari prosedur awalnya pemilihan isu, mewawancarai narasumber, menggali informasi, hingga fakta dalam bentuk tulisan panjang ataupun singkat bisa sampai kepada pembaca/masyarakat.
Ketika di lapangan, tak menutup kemungkinan sistem kerjanya berubah, tak harus pemilihan isu diletakkan di awal pencarian fakta. Bisa jadi, menggali informasi lebih dulu atau langsung temui narasumber dan mengeluarkan senyum paling indah sepanjang masa, hahah.
Wartawan yang baik adalah ia yang selalu berpikir dan menebarkan senyum indah kepada narasumber, mengingat sistem hidup orang-orang berpangkat adalah suka dipuji, tentunya meilihat senyum dari wartawan akan membuat narasumber senang dan mau memberi informasi. Apa lagi senyum wartawan yang belum digaji, akan terlihat sangat ikhlas, sangat.
Namun, saya tak ingin panjang lebar dalam penjelas makna apa itu wartawan, nanti pembaca bosan membaca tulisan ini, mengingat dan menimbang bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Termasuk penulis, sayangnya, penulis bukan warga negara Indonesia, hanya numpang tinggal sebentar saja, sehabis itu akan mengunjungi Tuhannya, Aamiin.
Sakit Hati
Seperti sub judul ini, ah, banyak sekali judulnya. Di sini, penulis akan bercerita sedikit tentang dialog-dialognya dengan beberapa orang semasa penulis berkenalan dengan dunia jurnalistik. Tak sedikit mengatakan "Kalau nanti enggak dapat kerja, saya jadi wartawan dulu" bukan hanya itu, ada yang lebih pedih, seperti ini misalnya "Kelihatannya, wartawan itu sering dapat amplop, aku mau juga, nanti tes jadi wartawan ah". Sangat bangsat sekali kalian yang berpikir seperti ini, maaf, keceplosan.
Bukan hanya satu orang, sepanjang perjalanan di dunia jurnalistik, penulis menemukan lebih dari satu orang mengatakan demikian. Kenapa penulis hanya mengatakan lebih dari satu orang, karena jika disebutkan jumlahnya keseluruhan penulis takut salah, karena bawaan sejak lahir yang susah mengingat angka, kecuali tanggal lahir ibu, ayah, saudara dan uang.
Menanggapi hal itu, ada banyak cacian dan makian yang ingin penulis sampaikan, melalui tulisan ini, besar harap dibaca oleh mereka dan bisa menjadi bahan pertimbangan lagi.
Pertama, ingin mengingakan jika wartawan bukan kerja sampingan, jangan menganggap hidup menjadi seorang juru kabar itu adalah pelarian. Mungkin kau kurang bacaan atau malahan tak pernah membaca. Ada banyak hal yang harus dipahami sebelum terjun di dunia jurnalistik, namun yang paling awal adalah hati. Sesuatu yang dilakoni dengan hobi akan membawa dampak baik untuk kinerja. Jika hanya menjadikannya kerja sampingan, dapat kita lihat dampaknya sekarang, banyak wartawan amplop, tidak akan menulis jika tak ada amplopnya, makan uang haramlah keluarga kalian.
Menjadikan wartawan sebagai kerja sampingan, membuat dampak buruk yang sangat besar untuk arus informasi yang beredar. Karena tak dibuat dengan sepenuh hati, hanya dijadikan sampingan saja. Ada keilmuan yang harus dimatangkan lagi, ada relasi yang harus ditambah lagi, ada bacaan yang harus diperbanyak lagi. Tak putus hanya membuat karangan indah dengan imbalan amplop semata saja untuk menjadi wartawan ini.
Sesekali, saya merasa miris juga dengan konsolidasi yang dilakukan oleh wartawan dengan instansi pemerintahan, ataupun sebaliknya. Hal itu dapat membuat dampak buruk terhadap fungsi wartawan sebagai kontrol sosial, karena merasa takut atau segan dengan instansi yang ia dekati. Atau, bisa dikatakan juga instansi itu yang memberikan modal.
Beberapa tahun ke depan, penulis yakin bahwa akan banyak arus informasi yang bertebaran di setiap sisi masyarakat, dengan metode penyebaran yang berbeda pula, ada berbasis online dan ada yang cetak. Kenapa penulis masih yakin jika cetak akan tetap hidup? Karena semakin berkembangnya ranah online, seketika itu juga cetak akan sangat dirindukan.
Untuk itu, perlu adanya beberapa tokoh yang akan membawa media ini ke arah yang lebih baik, bersih, jujur dan menjadikannya sebagai ranah utama, bukan sampingan. Tentunya harus banyak juga yang harus dibenahi, misalnya wartawan yang diterima oleh media harus benar-benar paham ilmu jurnalistik dan sejahtera, jika tak sejahtera, tentunya hanya akan dijadikan sebagai ranah kerja sampingan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H