Mohon tunggu...
Alifia Sekar Sriwijaya
Alifia Sekar Sriwijaya Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

Introvert learner who wants to stay for good in Melbourne, Aussie.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Harus Dilakukan oleh Amerika dan Cina untuk Mengakhiri Perang Dagang Jangka Panjang?

20 Desember 2019   12:30 Diperbarui: 20 Desember 2019   12:52 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.cnbc.com/

Perang dagang antara Amerika dan Cina kini telah memulai babak baru tertanggal per 1 september 2019 di mana Donald Trump resmi menaikkan tarif untuk pertama kalinya sebesar 15% untuk barang-barang impor dari Cina. Negara tirai bambu tersebut pun langsung melakukan retaliasi dengan memberlakukan tarif tambahan senilai 5% dan 10% untuk barang-barang tertentu dari Amerika (Fajrian, 2019).

Serangan kedua ini merupakan bentuk keberlanjutan aksi Trump yang dimulai resmi pada bulan Juli, 2018 setelah Ia mengeluarkan pernyataan bahwa Cina melanggar aturan main dalam WTO. Tampaknya, aksi saling menaikkan tarif ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat meskipun beberapa upaya negosiasi telah diinisiasi oleh kedua belah pihak. Ketidakefektifan negosiasi ini membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai solusi seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh Amerika dan Cina. Masalah ini penting untuk dicermati lebih dalam sebab hingga tulisan ini dibuat perang dagang di antara dua negara raksasa tersebut tak kunjung selesai, sementara kerugian ekonomi global yang ditimbulkan semakin membesar.

Perang dagang menurut Bekkers et al. (n.d.) adalah bentuk gangguan pada kerja sama hubungan dagang antara negara-negara atau koalisi-koalisi dalam beberapa negara yang ditandai dengan adanya proteksi pada produk tertentu. Melalui pengertian tersebut, selanjutnya penulis menggunakan landasan koseptual ekonomi perdamaian guna mendukung analisis terhadap argumen. Ekonomi perdamaian (Gilpin, 2017) adalah suatu studi investasi strategis yang dilakukan oleh negara untuk mempromosikan perdamaian positif. Menurut Caruso (2017) ekonomi perdamaian dapat diwujudkan apabila 3 pilar berikut---yang saling terkait satu sama lain---dapat dipenuhi oleh aktor-aktor yang terlibat.

Pilar pertama adalah sistem pertukaran atau sistem interaksi pertukaran barang dan jasa yang menjadi sumber utama dari kegiatan perekonomian. Dengan terjaganya pilar ini, kesejahteraan akan terus berlangsung sehingga ekonomi perdamaian dapat tercapai. Pilar kedua adalah sistem ancaman yang didefinisikan dengan adanya interaksi antar agen rasional yang dapat memunculkan ancaman yang kredibel---mengandung makna kontras dari pilar pertama. Terakhir adalah sistem integratif yang memiliki arti pertukaran secara unilateral di antara agen-agen rasional. Maksudnya agen yang memberi kebermanfaatan terhadap kegiatan ekonomi tidak secara langsung mendapatkan keuntungan tetapi akan didapatkan di masa depan selama Ia masih berkomitmen.

Konsep ini bisa dilihat dari bentuk hubungan negara dengan organisasi internasional di mana negara tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan langsung ketika Ia baru mulai bergabung ke dalam suatu organisasi. Implikasinya, apabila komitmen negara terhadap sistem integratif ini terus dipelihara, perekenomian yang berbasis pada perdamaian akan dapat tercapai sebab tatanan menjadi stabil. Hubungan antara ketiga pilar tersebut dengan ekonomi perdamaian dapat dilihat dari model berikut ini.

Melalui model tersebut, Caruso (2017) menyatakan bahwa "Peace is the scenario in which exchange and integrative systems dominate threat relationships between countries.".

Lebih lanjut lagi, apabila sistem ancaman meningkat maka akan mempengaruhi kemungkinan negara untuk menambah sumber dayanya guna menangkal ancaman tersebut---dalam bentuk investasi pada pemenuhan senjata atau kebutuhan militer lainnya. Apabila dikaitkan dengan kasus perang dagang, maka penulis percaya dibutuhkannya upaya-upaya untuk mewujudkan ekonomi perdamaian di antara Amerika dan Cina yaitu melalui peningkatan sistem pertukaran dan integratif serta menurunkan intensi untuk memberi ancaman satu sama lain agar probabilitas tereskalasinya masalah ini menjadi perang terbuka menjadi semakin kecil.

Teori ini dirasa cocok untuk menganalisis kasus perang dagang sebab penulis percaya bahwa satu-satunya jalan dalam menyelesaikan suatu konflik adalah dengan berusaha seaktif mungkin menciptakan upaya-upaya perdamaian. Argumen pertama dari artikel ini akan membahas mengenai aksi yang harus dilakukan dengan melibatkan dua aktor secara langsung sementara argumen kedua lebih mengarah pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing individu.

Pertama, Amerika dan Cina harus menyelenggarakan perundingan bilateral dengan memperhatikan etika yang baik. Kedua aktor harus benar-benar memperlihatkan itikad baik dalam setiap proses negosiasi. Hal ini penting dicermati sebab selama ini penyebab utama dari gagalnya negosiasi adalah tidak adanya niat baik yang ditunjukkan oleh Negeri Paman Sam dalam menghargai lawannya. Bisa dilihat dari negosiasi pada bulan April atau Mei tahun 2019 yang tidak mencapai kata mufakat sebab Amerika bukannya melakukan pendekatan secara halus, justru meminta Cina untuk membahas hukum mengenai pencurian kekayaan intelektual dan manipulasi mata uang yang diklaim Amerika telah dilakukan oleh lawan negosiasinya tersebut---padahal belum ada bukti valid (Tan, 2019).  Tuduhan yang tak berdasar tersebut menujukkan ketiadaan respek dari Trump.

Itikad baik ini juga tidak bisa diungkapkan saat negosiasi sedang berlangsung saja, tetapi harus dihabitualisasi terus menerus ke dalam segala aspek yang menyangkut hubungan kedua negara. Masalahnya adalah selama ini pihak administrator Trump selalu menunjukkan sikap konfrontasi seperti menggunakan gaya yang arogan baik di ranah publik maupun privat dalam menyampaikan statement mengenai kedaulatan negara lain (Jiming & Posen, 2018). Meskipun Amerika merasa berada di posisi atas terhadap relasi kuasa dengan Cina, seharusnya Ia lebih bisa menjaga sikap agar Cina tidak bereaksi keras pula.

Selain memperhatikan sikap, pokok bahasan dalam negosiasi juga perlu diamati dengan cermat. Seperti yang dikatakan oleh Jiming & Posen (2018) negosiasi harusnya tidak membahas hal-hal komersial---misal permintaan Trump agar Xi Jinping membeli produk agrikulturnya sebesar 50 miliar dolar sebagai salah satu syarat terhentinya perang dagang (Long, 2019)---yang bersifat jangka pendek. Jiming & Posen (2018) bahkan mengatakan "It is folly to have trade agreements target economic variables that can not be controlled". Negosiasi harusnya lebih terkait pada hal-hal yang bisa dikontrol seperti sikap dan tindakan melalui pembuatan kebijakan (Jiming & Posen, 2018) sehingga mekanisme penyelesaian dapat lebih jelas apabila salah satu pihak terbukti melakukan pelanggaran.

Melalui mekanisme itu, kemungkinan terjadinya aksi tit-for-tat---strategi dalam game theory yang merujuk pada retaliasi setara---akan lebih kecil terjadi. Jiming & Posen (2018) pun berkesimpulan "Hence the subject of China-US negotiations should be what behaviours to restrict, not what industries to protect.". Namun, apabila negosiasi bilateral ini tidak memberikan hasil yang efektif, maka bentuk solusi alternatif lainnya adalah dengan memberikan kewenangan pada WTO melalui mekanisme perselisihan dagang-nya. Meskipun begitu, satu hal yang perlu ditekankan adalah perlunya adaptasi rancangan WTO sebab perselisihan Amerika dan Cina tidak hanya melibatkan isu perdagangan saja, tetapi juga isu teknologi seperti hak kekayaan intelektual, internet, dan privasi data (Jiming & Posen, 2018).

Kedua adalah perlunya Amerika untuk menghentikan aksinya menuduh Cina. Dua penyebab besar yang menjadikan Trump menjatuhkan tarif kepada Cina untuk pertama kalinya adalah terkait tuduhannya terhadap kecurangan yang dilakukan oleh Cina---terutama pada kebijakan Cina untuk mensubsidi industri berorientasi ekspor dan mewajibkan perusahaan luar negeri melakukan transfer teknologi---dan sebagai upaya untuk mengurangi defisit perdagangan dengan Cina yang mencapai angka 376 juta dolar di tahun 2017 (Davis & Wei, 2018).

Padahal, apabila mengacu pada mekanisme peraturan di WTO, tuduhan Trump terkait masalah subsidi agar dapat mengekspor barang dengan harga lebih murah tersebut terbukti tidak berdasar pada hukum apapun. WTO selama ini tidak pernah sekalipun melarang negara-negara anggotanya untuk memberikan subsidi terhadap segala kegiatan perindustrian. Mereka hanya mewajibkan negara anggotanya untuk transparan dalam pelaporan jumlah subsidi yang mereka berikan dan Cina telah mematuhi persyaratan tersebut (Yu & Zhang, 2019). Fakta bahwa komoditas ekspor dari Cina lebih murah daripada Amerika sebenarnya bukan berasal dari pemberian subsidi ini.

Menurut data dari Qiu & Wei (2019), gaji yang diterima buruh di Cina setiap bulannya berjumlah sebesar 750 dolar, sementara di Amerika mencapai 4200 dolar per bulannya atau sekitar 5 kali lebih besar. Perbedaan mencolok ini juga didukung oleh produktifitas Cina yang lebih tinggi sekitar 45% dari pada Amerika. Sementara, mengenai tujuan Amerika untuk mengurangi defisit perdagangan global juga lebih efektif dilakukan dengan meningkatkan tabungan nasional (Jiming & Posen, 2018).

Apabila Amerika ingin secara spesifik mengurangi defisit dengan Cina, maka Ia bisa mengulangi kebijakan Barack Obama dengan menggandakan impor kedua negara dalam jangka waktu 5 tahun sehingga menciptakan win win solution (Yu & Zhang, 2019). Lebih lanjut mereka mengatakan "By expanding the size of trade, the gains from trade of the two countries also increase." . Oleh karenanya, Trump harus menyadari terlebih dahulu bahwa upaya menaikkan tarif justru akan merugikan perekonomian Amerika sebesar 0,7% atau 200 juta dolar dari total GDP saat ini (Guo et al., 2018) dan satu-satunya jalan yang bisa Ia lakukan adalah melalui kerja sama.

Sementara, untuk aksi jangka panjang, Amerika sudah seharusnya mengakui bargaining power Cina yang semakin meningkat. Sudah waktunya Amerika membagi beban kepemimpinan yang selama ini Ia pegang dalam sistem unipolar-nya kepada Cina demi kesejahteraan masyarakat dunia---bukan berarti sistem secara langsung berubah menjadi bipolar. Seperti yang dikatakan oleh Jiming & Posen (2018) bahwa "Failure to give China that voice and vote not only overburdens the United States but also diminishes the legitimacy and reach of the international institutions, unnecessarily restricts the views expressed in decision-making, leading to blind spots, and encourages China and others to go outside the system. By engaging further in the system China will not displace the United States from global leadership anytime soon and will not undermine the liberal values built into the rules-based system."

Ketiga adalah Cina harus menyetop aksi pencurian teknologi dari perusahaan asing. David Rennie, seorang jurnalis Inggris, mengatakan dalam tayangan The Economist tahun 2019 bahwa Cina telah melakukan pencurian terhadap teknologi perusahaan luar negeri untuk tujuan komersial---berbeda dengan Amerika yang hanya melakukan pencurian untuk kepentingan pribadi. Beberapa perusahaan di Amerika pun sempat melakukan survei yang dinisiasi oleh media CNBC mengenai seberapa besar kemungkinan IP mereka dicuri oleh pemerintah Cina (Rosenbaum, 2019). Berikut ini adalah hasilnya.

Sumber gambar : https://www.cnbc.com/
Sumber gambar : https://www.cnbc.com/

Meskipun belum ada bukti terkait hal ini, mengasumsikan bahwa apa yang diberitakan oleh media tersebut benar dan mewakili suara secara keseluruhan, maka besarnya presentase perusahaan yang telah mengklaim adanya pencurian oleh Cina membuktikan bahwa beberapa poin yang disampaikan Donald Trump terkait kasus perang dagang ini bukan tanpa dasar. Untuk itu, demi tercapainya ekonomi perdamaian, Cina sudah seharusnya segera menyetop segala tindakan curang yang melanggar peraturan WTO. Untuk membuktikannya, WTO perlu menyelenggarakan suatu investigasi terhadap sistem perekonomian Cina---tetapi dengan tetap memegang konsep kedaulatan negara.

Dalam mekanisme ini, Cina harus bersikap kooperatif dan transparan agar perang dagang dapat bisa menemui titik kejelasan dan mencapai kesepakatan. Melalui pemaparan beberapa argumen tersebut, penulis percaya bahwa apabila Amerika dan Cina dapat saling memulai itikad baik untuk kembali bernegosiasi dan saling menyadari kesalahan masing-masing, maka perang dagang dapat segera diakhiri dan ekonomi perdamaian yang dicita-citakan oleh Caruso (2017) dapat tercapai.

Referensi

Bekkers, E., Francois, J., Nelson, D., and Rojas-Romagosa, H. (n.d.) Trade wars and trade dispute : the role of equity and political support, [online]. Available at : https://wiiw.ac.at/rojas-romagosa-trade-wars-and-trade-disputes-the-role-of-equity-and-political-support-dlp-4880.pdf [Accessed 2 Dec.2019]

Caruso, R. (2017). Peace economics and peaceful economic policies. The Economics of Peace and Security Journal, [online]. Available at: https://www.epsjournal.org.uk/index.php/EPSJ/article/view/294 [Accessed 2 Dec. 2019].

Davis, B., and Wei, L. (2018). US pressures China with punitive trade, defense measures. The Wall Street Journal [online]. Available at : https://www.wsj.com/articles/u-s-expected-to-unveil-25-taris-onproposed-200-billion-in-chinese-imports-1533147299 [Accessed 5 Dec.2019].

Fajrian, Happy. (2019). Perang dagang memanas , hari ini AS terapkan tarif baru untuk Tiongkok. katadata.co.id [online]. Available at https://katadata.co.id/berita/2019/09/01/perang-dagang-memanas-hari-ini-as-terapkan-tarif-baru-untuk-tiongkok [Accessed 9 Dec. 2019]

Gilpin, R. (2017). Peace economics in a changing world. The Economics of Peace and Security Journal, [online]. Available at: https://www.researchgate.net/publication/320275873_Peace_economics_in_a_changing_world [Accessed 9 Dec. 2019].

Guo, M., Lu, L., Sheng, L., and Yu, M. (2018). "The day after tomorrow: evaluating the burden of Trump'S trade war." Asian Economic Papers 17 (1): 101--120. [online]. Available at : https://www.cuhk.edu.hk/hkiaps/news/pdf/working_papers/TrumpTradeWar.pdf [Accessed 9 Dec.2019]

Jiming, H and Posen, A.S. (2018). Economic thruts towards sesolving China-US trade conflict. US-China Economic Relations : From Conflict to Solutions, [online]. Available at : https://www.piie.com/publications/piie-briefings/us-china-economic-relations-conflict-solutions-part-i [Accessed 2 Dec.2019]

Long, H. (2019). Trump says China will buy $50 billion a year of US agriculture. That's not what China says. The Washington Post, [online]. Available at https://www.washingtonpost.com/business/2019/10/17/trump-says-china-will-buy-billion-year-us-agriculture-thats-not-what-china-says/. [Accessed 2 Dec.2019]

Rosenbaum, E. (2019). 1 in 5 corporations say China has stolen their IP within the last year : CNBC CFO survey. CNBC, [online]. Available at : https://www.cnbc.com/2019/02/28/1-in-5-companies-say-china-stole-their-ip-within-the-last-year-cnbc.html. [Accessed 2 Dec.2019]

Tan, W. (2019). Truce or genuine deal? analysts question if phase one of US-China trade pact will last. CNBC, [online]. Available at : https://www.cnbc.com/2019/10/14/us-china-trade-analysts-react-to-trump-substantial-phase-one-deal.html [Accessed 2 Dec.2019]

The Economist. (2019). America v China : why trade war won't end soon. Youtube, [online]. Available at : https://www.youtube.com/watch?v=ErwIlvQ_RVk. [Accessed 2 Dec.2019]

Yu, M. and Zhang, R. (2019). Understanding the recent Sino-U.S. trade conflict. China Economic Journal, [online] pp.160-174. Available at: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17538963.2019.1605678 [Accessed 2 Dec. 2019].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun